KAMPUNG HALAMAN SUAMIKU 7
Udara semakin dingin dan berhembus kencang, membawa desiran halus di tengkukku, membuat bulu-bulu lembut itu meremang. Kedua mataku semakin membulat, napasku memburu. Anak kecil berkulit hitam itu meliuk-liukkan tubuhnya...
Ada rasa yang tak bisa kuungkapkan. Dirga meregang nyawa untuk kedua kalinya, dan kali ini, dia mati di depan mataku sendiri. Astaghfirullah.
“Di-Dirga...?”
Anak lelaki itu menjerit sejenak, disertai kedua tangannya yang telah putus, kini mendekat kembali ke arahnya. Aku terkejut bukan main. Apa ini nyata? Ta-tangan yang terputus bisa kembali tersambung?
Wallahu a'lam.
“Sa-sakit, Bii...” lirihnya setelah perlahan bangkit.
Aku mendekat dengan tubuh bergetar. Aku tahu dia bukan manusia, tapi ada rasa kasihan di hatiku. Ya Allah...
“Di-Dirga...?” lirihku.
Dirga menunduk. Meski begitu, wajahnya masih terlihat jelas di tengah remang-remang.
Aku mencoba mendekat, memintanya untuk menjabat tanganku. Aku tahu, anak sekecil dirinya tak mungkin jahat padaku.
Perlahan, wajah pucat itu terangkat. Aku tersenyum. Dirga membalas senyumanku dengan seringai tajamnya.
"Ba-bantu aku...!"
"Sa-sakit, Bii...!"
Racaunya berulang kali. Aku mencoba memahaminya. Tak mudah mati seperti ini, terlebih Danisa bilang bahwa kelima anak lelaki, termasuk Dirga, ditemukan mati di tengah lautan.
Aneh. Seharusnya, mayat yang telah mengapung di atas air akan mengembang atau berbau tak sedap. Namun, lain halnya dengan Dirga yang berbeda.
Meski sudah mati untuk kedua kalinya, dia masih berdiri dengan kokoh, meski tubuh itu…
Sedikit hancur.
"Apa yang bisa kubantu...?" lirihku pelan.
Dirga menatapku tajam, bahkan lebih tajam dari tatapan Mas Arna.
Brakkk!
"Aww... Astaghfirullah!"
Dirga melompat tepat di atas tubuhku, membuatku terhempas ke belakang lagi. Dia merangkak, tersenyum dingin.
"Dirga...?" batinku.
Dirga mengusap wajahku dengan tungkai jarinya yang setengah patah. Bahkan, di leher sebelah kirinya terlihat bekas gigitan.
Gigitan ini...
"Bantu aku...!"
Deg!
Aku mencoba mendorong Dirga yang semakin menyeringai.
"Bantu aku!"
Aku menarik bajunya yang basah, berharap makhluk halus ini menyingkir. Terlebih, terdengar sorak orang ramai yang baru kembali dari ritual perkawinan. Di antara suara mereka, aku mengenali satu suara.
Arnawama.
"BANTU AKU!"
Deg!
"I-iya, baiklah! Lepas!" sentakku.
Dirga menyeringai. Sinar obor dari kejauhan semakin mendekat.
Astaghfirullah, tolong hamba, ya Allah...
Dirga mengusap wajahku, memaksa mataku terpejam. Degup jantungku tak beraturan. Dan kini, aku benar-benar tak ingat apapun lagi.
---
Ketukan pintu terdengar lembut, seiring dengan terbukanya pintu kamarku. Aku memicingkan mata. Silau matahari menerpa wajahku sesaat setelah Mas Arna membuka jendela. Aku menoleh ke arahnya yang tampak begitu bersemangat. Tubuhnya terlihat lebih berisi dan semakin bersih.
"Sudah bangun, sayang?" ucapnya, lalu beralih duduk di tepi dipan.
Aku merasakan sakit di kepalaku, terutama di bagian mata yang masih terasa berat.
"Tidurmu begitu nyenyak! Aku suka itu. Ayo, persiapkan dirimu. Hari ini kita akan berlayar!" ujarnya seraya mengelus rambutku.
Berlayar? Apa aku bermimpi?
"Jangan melamun. Cepat berbenah! Aku akan menunggu di bawah!"
Aku mengangguk. Mas Arna mencium keningku pelan, lalu berlalu pergi. Pintu perlahan tertutup, disertai senyumannya.
Berlayar?
Aku telah siap dengan dress hitam sepanjang mata kaki. Selendang hitam menjadi pilihanku. Tak apa, ini bukan jilbab yang akan membuat mood suamiku semakin rusak. Semoga setelah ini, Mas Arna mau menerima bahwa aku adalah seorang muslim.
Dan iya, harus mau menjadi imam terbaikku.
Beberapa perahu kano tersusun rapi di pinggir pantai, dengan jangkar menancap kuat ke dasar pasir terdalam.
Aku melirik ke arah Danisa di ujung sana. Lamat-lamat, kami saling pandang hingga akhirnya ia berlalu, membawa ibunya pergi mencari kerang.
"Sudah siap?"
Mas Arna berjalan mendekatiku. Aku mengangguk, lalu mengangkat tas jinjing di tanganku, memperlihatkan bekal yang akan kami makan selama berlayar.
Jika berlayar dari pulau ini ke seberang dermaga desaku, perjalanan membutuhkan tiga sampai empat jam. Itu pun dilakukan secara manual oleh para nelayan. Aku tak tahu kenapa pulau ini bisa dihuni, sedangkan para penghuninya tak memiliki pekerjaan selain menjadi nelayan.
Pernah, di awal perjumpaan, aku bertanya: Mengapa tak membeli perahu yang lebih modern atau lebih maju? Kenapa tak memakai mesin untuk menjalankan perahu ini?
Satu jawaban singkat yang kuterima dari suamiku:
"Tangan kami lengkap, Dek. Tak akan lepas jika hanya mendayung," ucapnya kala itu.
Kami berdua menaiki perahu. Mas Arna memintaku duduk di depannya. Aku menurut saja, agar tak terjadi pertengkaran di antara kami.
Mas Arna mulai mendayung perlahan, membawa perahu meninggalkan dermaga pulau.
Sepanjang mata memandang, hanya terlihat lautan tak berujung, seakan benar-benar jauh.
"Kok kayak jauh banget, ya, Mas? Perasaan nggak kelihatan pulau apa pun."
"Sebaiknya kamu cepat hamil, Dek!"
Astaghfirullah!
Aku menoleh ke belakang, melihat Mas Arna menundukkan kepala. Gerakan tangannya melambat, seakan tak bertenaga.
"Ada apa, Mas?"
Aku memutar tubuhku, duduk menghadap langsung ke arahnya. Desiran angin menyapu kencang, membuat selendang ku terbang terbawa angin.
"Aihh, kenapa harus melayang sih!" Bibirku menggerutu.
"Kamu harus hamil, Dek!"
Aku berbalik menatap Mas Arna yang masih diam, menunduk.
"Mas?"
Mas Arna mendongak, memperlihatkan wajahnya tanpa ekspresi sedikit pun.
“Ma-mas?”
Matanya kian memerah. Tubuhku mengejang, terlebih saat jari telunjuknya terangkat, menunjuk ke arah laut. Aku menoleh, dan melihat sesuatu yang di luar nalar.
Selendang yang melayang tadi jatuh ke air. Tapi, bukan itu yang membuatku membeku.
Selendang itu terangkat... seakan ada yang memakainya.
Astaghfirullah.
Apa itu?
“Ma-mas…!”
"Kamu harus hamil, Dek! Meski, bukan benihku!"
Byurrr!
Aku terjatuh ke dalam lautan yang menghitam. Mataku memerah, tanganku meronta, mencoba kembali ke atas.
Di atas sana, suamiku, dengan teganya, mendorong tubuh ini ke dalam kegelapan.
Tenggorokanku terasa tercekat, paru-paruku kesulitan menampung udara. Semakin aku berusaha berenang, semakin parah aku tenggelam.
Mataku mulai menggelap… seakan ada sentuhan kasar yang mencengkeram pinggulku.
"Malam ini, malam pengantin kita, Malayu."
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "KAMPUNG HALAMAN SUAMIKU 7"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker