KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK

KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK


 KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK 


Part : 13


POV Bu Rahma


Kakiku benar-benar rasanya masih lemas. Tungkai lutut ini serasa tak mampu menopang tubuh, begitu mendengar Nia--mantan menantu yang selalu kuhina. Tak tanggung-tanggung, bahkan bapak dan ibunya pun tak luput dari hinaan yang  ke luar dari bibir ini. Kenyataannya dia bos dari pabrik yang selama ini menjadi tempat kami memasok batik.


"Ibu ngapain sih pakai pingsan segala? Bikin malu tahu nggak," omel Ima.


"Namanya juga ibu shock dan terkejut mendengar si Nia itu ternyata pewaris tunggal dan bos dari Surya Pradana Grup. Seperti mimpi rasanya." Aku tersandar sambil menatap kosong ke arah plafon.


"Makanya, Bu, jangan pernah memandang orang lain dari status kaya atau nggak. Malu sendiri 'kan?" tukas Bang Wahyu.


Mendengar itu, aku sontak langsung duduk tegak di kursinya. 


"Eh, kamu tuh diam saja ya, Bang. Suara kamu nggak dibutuhkan. Kerja  saja kamu nggak becus. Lihat, toko dan kebun teh bukannya semakin maju, malah semakin merugi," rutukku kesal. "Bikin kesal saja."


Bang Wahyu terdiam. Begitulah dia, tak pernah berani melawan. Apa saja yang diperintahkan, pasti dia turuti. Tentu saja, karena semua harta ini pemberian kedua orangtuaku. Sementara dia dulunya hanya pegawai toko biasa yang beruntung mendapatkanku sebagai istri.


Pandanganku tak sengaja mendarat pada putra keduaku. Tatapannya kosong ke depan, seakan menyimpan kesedihan.


"Arman, kamu kenapa?" tegurku yang membuatnya tersentak kaget.


"Nggak ada apa-apa, Bu," lirihnya sambil menggeleng.


"Jangan bohong! Kamu mikirin si perempuan kampung itu 'kan?"


"Sudah 'lah, Bu. Jangan hina Nia lagi. Dia bukan perempuan kampung seperti yang kita bilang ke dia dulu. Ibu nggak dengar tadi kalau Dewi Kania itu pemilik Surya Pradana sekarang ini?"


Aku agak sedikit kaget. Arman tidak pernah bersuara tinggi seperti itu.


"Kamu bentak ibu?"


"Siapa yang bentak Ibu? Aku cuma mengingatkan kalau Nia bukan perempuan kampung seperti yang kita hinakan padanya selama ini," tegas Arman lagi.


Dalam hati sebenarnya aku membenarkan ucapan Arman. Tapi gengsi rasanya untuk mengakui posisi Kania saat ini. Orang yang kuhinakan justru posisinya berada jauh di atas. Belum lagi toko banyak berutang pada pabrik batiknya. 


Aarrggghh ..., aku terus merutuk diriku sendiri. Kenapa semua jadi seperti ini sih?


❣ HM ❣


Laporan dari pegawai kebun teh di Mekarsari Bandung, barusan menelepon, pihak bank sudah datang berkali-kali untuk menagih utang. Sementara keuangan kebun juga sedang tidak baik-baik saja. 


Terkadang aku bingung, sebagai direktur Bang Wahyu benar-benar tidak bisa diharapkan. Masalah begini saja harus aku yang turun tangan.


Pukul sepuluh pagi aku berangkat ke Bandung menggunakan mobil carteran. Karena mobil yang satu lagi sudah dijual Bang Wahyu untuk menutupi utang katanya.


Perjalanan dua jam dan akhirnya sampai di lokasi di mana kebun teh seluas 1200 ha itu berada. Dulu kebun teh ini dirintis oleh ayahku sampai bisa sebesar ini.


Mobil berjalan pelan melintasi kebun teh yang menghampar luas dan hijau. Apa 'kah aku akan kehilangan kebun teh ini? Karena alasan Bang Wahyu sewaktu menggadaikan kebun ini, karena penjualan yang menurun dan kualitas daun yang tidak baik. Sehingga kebun mengalami kerugian cukup besar waktu itu.


Kubuka kacamata kemudian meraih tisu dari dalam tas. Aku tidak menangis, hanya saja mata yang berkaca-kaca saat memandangi hamparan kebun tadi, menimbulkan air di sudut mata. 


Mobil mini bus carteranku berhenti di sebuah bangunan ruko yang digunakan sebagai kantor. 


Bang Wahyu sama sekali tidak mengetahui kedatanganku. Lupa untuk mengabari lelaki itu tadi. Ah, nanti juga ketemu, batinku.


Suasana kantor sepi. Kebetulan aku sampai tepat di jam istirahat makan siang. Pasti pegawai kantor sedang ke luar makan siang saat ini.


Di depan pintu ruangan direktur, langkahku terhenti. Suara tawa cekikikan wanita terdengar dari dalam. 


Kurang a-jar! Darahku mendidih seketika mendengar suara wanita dari ruangan suamiku.


❣ HM ❣


Kulihat Bapak bersiap-siap memasukkan pakaiannya ke dalam ransel.


"Bapak mau ke mana?"


"Bapak mau ke Jambi. 'Kan mau mengurus pembayaran kebun sawit kita yang sudah terjual."


"Bukannya Bapak bilang mau ditransfer saja."


"Pembeli kebun sawit kita ternyata mau sekalian mengurus balik nama. Jadi bapak harus ke sana. Setelah itu, kita akan segera mencari tahu soal kebun teh ibunya Arman. Kemarin bapak dengar kabar dari salah satu karyawan mereka, pihak bank sudah menagih karena utang mereka sudah jatuh tempo. Kebun teh mereka sudah berada di ujung tanduk."


Aku tersenyum. "Reputasi mereka pun sudah buruk di mata publik, Pak. Berita tadi malam cepat banget tersebar di sosial media." Kuarahkan ponselku ke hadapan Bapak.


"Kamu menyimpan dendam sama mereka, Nduk?" 


Aku terdiam. Pertanyaan yang membuatku agak berpikir.


"Kamu boleh membenci mereka. Tapi, Bapak harap kamu jangan sampai menyimpan dendam pada mereka ya, Nduk. Itu nggak baik. Bapak nggak pernah mengajarkan kamu seperti itu. Kita cukup membalas saja kesombongan mereka."


Kutarik napas panjang. Memang benar, aku menyimpan rasa benci yang mendalam kepada Bang Arman dan keluarganya.


❣ HM ❣


Hari minggu yang cerah. Mas Abimanyu mengajakku dan Indah ke sebuah mall besar di Jogja. Waktu untuk gadis kecil itu memang agak sedikit terkikis sejak waktu lebih banyak dihabiskan di pabrik atau toko. Indah lebih sering tinggal bersama Mas Darmo dan istrinya.


"Sini sama bunda, Nak," ajakku sambil meraih tangan gadis kecil berusia empat tahun itu.


"Nggak ah. Indah maunya digendong sama Ayah Abi aja."


Aku terperangah mendengar panggilan yang disebut Indah barusan. "Kamu panggil Om Abi apa, Nduk?" 


"Ayah. Boleh 'kan, Yah?" tanyanya dengan tatapan polos pada Mas Abi. 


Mas Abi tersenyum lantas membawa Indah ke dalam gendongannya.


"Ya, boleh dong, Sayang. Indah boleh panggil ayah kok." Mas Abi menciumi pipi Indah gemas. Gadis kecil itu sampai cekikikan karena menahan geli. "Kita masuk yuk."


Aku mengikuti langkah Mas Abi yang menggendong Indah dalam dekapannya. Terbit rasa haru melihat kedekatan mereka. Ayah kandungnya saja tidak pernah peduli.


"Maafkan Indah ya, Mas," ucapku.


Mas Abi yang tengah mengawasi Indah yang tengah asyik bermain di kolam bola menoleh. Lagi-lagi lelaki berhidung bangir itu melempar senyumnya. Ada yang berdenyut di dada ketika lelaki itu tersenyum padaku. Perasaan macam apa ini?


"Nggak apa-apa dong, Kania. Melihat Indah bahagia, aku juga bahagia. Kasihan dia, ayahnya nggak pernah peduli padanya."


"Iya sih, Mas. Sejak dia baru lahir sampai kami terakhir bersama, ayahnya nggak pernah peduli."


"Makanya, kamu jangan merasa nggak enak seperti tadi ya. Biar Indah merasakan sosok ayah dari aku."


Puas bermain, Mas Abi mengajak kami makan siang di sebuah restoran cepat saji. 


Hatiku trenyuh melihat Mas Abi memperlakukan Indah benar-benar seperti anaknya. Karena dari pernikahannya dulu, Mas Abi belum memiliki anak. Istrinya meninggal karena kanker payudara.


Kami pulang setelah makan. Indah terlihat senang dan sangat bahagia. Terpancar jelas di raut wajahnya.


Mas Abi mengantar sampai ke rumah eyang. Aku yang tinggal di rumah ini sejak di Jogja. Ditemani Mas Darmo dan istrinya. Paklek Yanto--adik Bapak sudah meninggal karena sakit, sewaktu masih duduk di bangku sekolah menengah atas.


Dari kejauhan, aku melihat Bang Arman sudah menunggu di teras. Ternyata dia masih berada di Jogja.


"Apa-apaan ini? Hebat kamu ya, Nia," ketusnya tiba-tiba. 


"Apa-apaan apa maksud kamu, Bang?" balasku tak kalah ketus.


"Kita baru saja bercerai, kamu sudah jalan dengan laki-laki lain. Hebat banget kamu."


"Memangnya masalahnya dengan kamu apa? Kamu itu cuma mantan suami aku. Kamu nggak berhak ngatur-ngatur aku!"


"Kamu jangan lupa, Nia, Indah itu anakku. Dan aku nggak suka kalau anakku dekat-dekat dengan orang lain." Ia menunjuk ke arah Indah yang berada di dalam gendongan Mas Abi.


"Baru sadar kamu kalau punya anak? Selama ini ke mana saja kamu, Bang?"


"Terserah kamu mau bilang apa, Nia. Aku ke sini cuma mau mengambil Indah."


"Hei, kamu lupa, Bang? Pengadilan sudah memutuskan, bahwa hak asuh Indah itu ada di tanganku."


"Aku nggak peduli! Pokoknya aku mau membawa Indah. Siniin anak aku. Kamu siapa berani-beraninya menggendong anakku." Bang Arman berusaha menarik paksa Indah.


"Nggak mau, Indah nggak mau!" Indah menolak sambil menangis.


"Indah, kamu jangan ngeyel, Nak. Ayo, ikut ayah."


"Maaf, Mas. Sabar, sabar. Jangan paksa Indah. Kasihan, dia ketakutan," pungkas Mas Abi yang tak tega melihat ketakutan Indah.


"Diam kamu! Kamu bukan siapa-siapa. Jangan ikut campur." Bang Arman terus berusaha menarik paksa Indah yang ketakutan dan semakin medekap erat Mas Abi.


"Indah, ayo, ikut ayah! Bandel banget sih!"


❣ Bersambung ❣


DI KBM APP sudah tamat guyyss💜


#ceritafiksi

#novelonline

#ceritaonline

#fyp

#jangkauanluas

#photo

#fotoai

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK "

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel