Siapa Suruh Membuangku.

Siapa Suruh Membuangku.


 Namaku Menur Maharani, lulusan fakultas kedokteran di Jakarta. Saat ini, aku bekerja sebagai dokter spesialis obgyn di salah satu rumah sakit terbesar di Jakarta, di mana aku dikenal dengan nama dr. Maharani.


Ibuku meninggal ketika usiaku baru dua tahun. Tak lama setelah itu, Bapak menikah lagi dengan Ibu Rahmi, yang kemudian melahirkan adikku, Anggi. Sejak pernikahan Bapak, aku memilih tinggal bersama nenek. Namun, ketika aku duduk di bangku sekolah menengah pertama, nenek meninggal dunia. Sejak saat itu, ibu tiri menganggapku pembawa sial.


Saking bencinya padaku, ibu menyuruhku mengenakan cadar, katanya ia tidak tahan melihat wajahku yang mengingatkannya pada mendiang ibu kandungku. Dia juga tak ingin aku tinggal di rumah, sehingga aku dikirim ke pondok pesantren. Tak ada yang mau membiayai pendidikanku, tetapi aku tidak ingin hidup bergantung pada orang lain. Aku bekerja keras hingga akhirnya bisa masuk sekolah kedokteran. Alhamdulillah, aku mendapat beasiswa, sehingga tak perlu mengeluarkan banyak uang untuk pendidikan.


Bapak dan ibu tiri tidak tahu bahwa aku menjadi seorang dokter. Aku sengaja membiarkan mereka berpikir bahwa aku bekerja sebagai baby sitter di Jakarta, sekadar untuk menenangkan ibu tiri yang selalu iri jika aku melampaui Anggi. Tapi suatu hari nanti, aku akan memberi tahu mereka yang sebenarnya.


Setahun lalu, aku dijodohkan dengan anak temannya bapak tapi sebelum bertemu, pria itu menolakku. Tak lama setelahnya, aku kembali dijodohkan dan lagi-lagi aku ditolak. Alasan mereka sama. Mereka tak mau menikah dengan wanita bercadar karena mereka beranggapan bahwa wanita bercadar sangat jelek. Ketiga kalinya, pria itu bersedia menikahiku. Aku pun menerima, bukan karena cinta, melainkan karena rasa malu setelah ditolak dua pria sebelumnya. Namun, di malam pertama, Mas Deni justru menolakku dengan kasar.


"Jangan buka cadarmu, Menur. Aku tidak sudi melihat wajah jelekmu itu. Aku juga tidak sudi menyentuhmu. Kau sudah bukan perawan lagi. Aku menikahimu hanya karena orang tuaku memaksa."


Kata-kata itu keluar dari mulutnya di malam pertama kami. Dia menuduhku tidak suci dan memperlakukanku dengan hina.


"Aku berjanji pada ayahku untuk menikahimu, tapi aku juga bersumpah pada diriku sendiri untuk menceraikanmu di malam pertama."


Dia menjatuhkan talak padaku di malam pertama kami tanpa sedikit pun rasa bersalah. Pernikahan kami pun berakhir dengan perceraian.


Setelah berpisah dari Mas Deni, aku kembali ke Jakarta. Namun, setahun kemudian, ibu menghubungiku, meminta agar aku pulang ke Bandung karena Bapak sakit. Setibanya di sana, aku langsung ke rumah sakit.


Saat itulah aku mendengar kabar bahwa Anggi akan menikah. Aku memutuskan untuk tetap tinggal sampai hari pernikahannya. Namun, aku tak pernah menyangka bahwa di hari pernikahan Anggi, aku akan menyaksikan sesuatu yang begitu menyakitkan—mantan suamiku bermesraan dengannya. Aku pun sadar bahwa Mas Deni menceraikanku karena dia menyukai Anggi. Aku sangat sedih tapi aku tidak sehancur calon suami Anggi yang katanya sudah lama berpacaran dengan Anggi.


Lalu bapak tiba-tiba memintaku untuk menikah dengan Kaelan. Aku kaget mendengarnya. Aku mau bersuara untuk menolaknya tapi Kaelan lebih dulu menolak menikah denganku. Aku lega tapi bapak malah menarikku ke tempat lain. Ternyata bapak dan ibu membujukku untuk menikah dengan Mas Kaelan. Aku sempat menolak karena aku tidak mau menjadi janda dua kali.


"Bapak mau Menur jadi janda dua kali?"


"Apa maksudmu?" tanya bapak tajam.


Aku pun menjawab dengan tegas. "Dulu Menur ditolak dua pria karena mereka tidak suka Menur pakai cadar. Mas Deni juga begitu. Dia malah menceraikan Menur. Laki-laki ini juga pasti tidak suka sama Menur. Apalagi dia calon suaminya Anggi, Pak."


Ibu menyela dengan nada tajam. "Itu salahmu sendiri! Kenapa kamu tidak bisa seperti Anggi yang cantik dan seksi? Kalau kamu lebih memperhatikan penampilanmu, kamu pasti tidak akan ditolak!"


Aku menahan napas. Hatiku terasa ditusuk ribuan jarum tapi aku tetap berusaha tenang. "Maaf, Pak… Bu… Menur gak bisa. Menur gak mau diceraikan di malam pertama seperti Mas Deni dulu meneraikan Menur di malam pertama kami."


Ibu mendengus sinis. "Jelas saja diceraikan. Kamu sudah berhubungan dengan laki-laki lain sebelum menikah. Makanya Deni tidak mau menyentuhmu di malam pertama. Kamu ini pakai cadar, tapi kelakuanmu tidak mencerminkan kesucian!"


Aku terperanjat. Mataku mulai berair. Tapi aku tidak membantah, tidak mencoba membela diri. Aku tidak mau suasana semakin tegang.


"Bapak tidak mau tahu. Kamu harus menikah dengan Kaelan. Bapak sangat malu kalau pernikahan ini batal gara-gara Anggi selingkuh," uap bapak yang tidak mau dibantah.


"Ini juga bagus untukmu. Kamu tidak akan digosip orang janda gatal kalau kamu sudah punya suami," tambah ibu.


Memang ada benarnya yang dikatakan ibu. Setahun ini aku memang selalu difitnah sebagai janda penggoda suami orang. Jika aku menikah, orang-orang mungkin akan berhenti memfitnahku. Aku juga sebenarnya kasihan pada calon suaminya Anggi.


"Baik, Pak… Menur akan menikah dengan Mas Kaelan."


Akhirnya aku berakhir duduk di pelaminan, di sisi seorang pria yang bahkan tidak pernah kubayangkan menjadi suamiku. Kaelan. Aku tahu siapa dia—pria tampan yang selama ini menjadi kekasih adikku. Aku tahu bagaimana Kaelan memperjuangkan Anggi selama tujuh tahun terakhir, bahkan merantau jauh ke Kalimantan demi bisa memenuhi permintaan Anggi dan ibuku. Tapi hari ini… Aku yang duduk di sampingnya. Aku yang akan menjadi istrinya.


Bagaimana bisa aku sampai di titik ini? Aku bahkan tak tahu harus merasa senang, marah, atau sedih. Rasanya kosong. Mungkin karena aku sudah cukup lelah menghadapi kehidupan ini. Setelah Deni menceraikanku dengan hinaan yang menyakitkan, aku pikir hidupku sudah selesai. Aku sudah memutuskan untuk tidak lagi berharap. Namun, di saat aku merasa pasrah, aku justru dipaksa menjadi pengantin.


Tadi, saat bapak dan ibu membujukku, aku ingin pergi, menjauh dari semua kekacauan ini. Tapi saat aku mengingat ketika Kaelan melihat Anggi dan Deni. Matanya yang memerah karena kemarahan dan pengkhianatan Anggi. Aku tahu dia sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Dan entah kenapa… aku tidak tega menolak.


Aku menutup mata saat mendengar kalimat sah itu. Rasanya seperti mimpi. Aku benar-benar telah menikah lagi. Tapi entah kenapa, dadaku terasa begitu kosong. Aku tidak merasa bahagia, tapi aku juga tidak merasa sedih.


Kaelan melepaskan napas panjang setelah ijab kabul itu diresmikan. Aku masih menunduk, tak berani menatap siapa pun. Lalu aku merasakan tangan Kaelan menyentuh jemariku dengan pelan. Aku terkejut, tapi aku tidak menarik tanganku. Jemari Kaelan terasa dingin, mungkin karena gugup, atau mungkin karena emosi yang masih berkecamuk di dalam dirinya.


"Selamat, Kaelan," ucap penghulu dengan senyum ramah. "Sekarang, silakan cium kening istri Anda."


Aku terkejut. Aku bisa merasakan Kaelan membeku di sebelahku. Aku hampir berharap dia akan menolak, tapi setelah jeda yang panjang, aku merasakan gerakan pelan di sampingku.


Kaelan berdiri, lalu perlahan menyentuh wajahku. Aku bisa merasakan tatapan semua orang yang tertuju ke arahku. Aku tahu apa yang mereka pikirkan—tentang bagaimana aku terlihat, tentang bagaimana aku telah ditinggalkan dan diceraikan di malam pertama.


Kaelan menatapku dalam diam. Aku berani menatap matanya untuk pertama kalinya sejak tadi. Aku bisa melihat kebingungan dan ketegangan di sana. Aku tahu, dia mungkin membayangkan kata-kata Anggi tadi—bahwa aku adalah wanita jelek yang tidak pantas untuknya.


Kaelan menatapku cukup lama, sebelum akhirnya dia menunduk dan mengecup keningku dengan lembut. Aku terkejut. Aku pikir dia akan melakukannya dengan terpaksa, tapi ciumannya terasa begitu lembut.


Saat Kaelan kembali duduk di sampingku, aku bisa merasakan detak jantungku semakin cepat. Aku melirik ke arah Anggi yang kini terlihat tegang, matanya menyipit. Aku tahu Anggi tidak pernah menyangka Kaelan benar-benar akan menikahiku. Dan jujur saja… aku juga tidak pernah menyangka.


Kaelan menoleh ke arahku, suaranya pelan dan dingin. "Aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan, tapi terima kasih karena sudah menyelamatkan harga diriku hari ini."


Aku tersenyum kecil di balik cadar. "Aku tidak melakukan ini untuk menyelamatkan harga dirimu, Kaelan."


Dia memandangku, alisnya berkerut. "Lalu, untuk apa?"


Aku menatap lurus ke depan. "Karena aku tahu rasanya dikhianati. Dan aku tidak ingin kamu merasakan itu sendirian."


Kaelan terdiam. Aku bisa merasakan tatapannya masih tertuju padaku. Tapi aku tidak menoleh. Aku tahu pernikahan ini dimulai dari sebuah keterpaksaan. Tapi mungkin, di dalam keterpaksaan ini akan ada sesuatu yang tumbuh di antara kami.


Judul: Siapa Suruh Membuangku.

Penulis: Dewi Mutia.

Tamat di KBM


L 1 n k dikolom komentar ya

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Siapa Suruh Membuangku."

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel