Jejak Terakhir di Puncak

Jejak Terakhir di Puncak


 "Jejak Terakhir di Puncak "


Empat sahabat—Rino, Ferdi, Ardi, dan Irwan—sudah lama merencanakan pendakian ini. Puncak Gunung Halimun adalah impian masa kecil mereka. Mereka ingin menaklukkannya bersama-sama, sebagai simbol persahabatan yang telah terjalin sejak SMA.


Perjalanan awal berjalan lancar. Mereka tertawa, saling mengejek, bahkan sempat membuat vlog kecil-kecilan. Namun, saat malam mulai turun di hari ketiga, langit berubah muram. Awan gelap menyelimuti langit, angin menderu. Badai pertama datang.


Ferdi: "Kita harus cari tempat berlindung. Cepat!"


Mereka menemukan cekungan batu besar yang cukup menahan angin. Malam itu, hujan mengguyur tanpa henti. Tenda mereka robek sebagian. Makanan basah, sebagian rusak.


Keesokan paginya, rute yang mereka hafal tertutup kabut dan longsoran kecil. Kompas rusak, sinyal HP hilang. Mereka tersesat.


Hari berganti. Mereka mulai berjalan tanpa arah. Persediaan makanan habis di hari keenam. Rino, yang paling kuat, rela berbagi sisa rotinya pada Ardi yang mulai lemah.


Rino: "Makan ini, Di. Gue masih kuat. Lo butuh tenaga buat jalan."


Ardi: (lemah) "Lo gila? Lo juga butuh makan, No..."


Rino: "Gue kuat karena punya kalian. Ayo bangkit."


Namun badai berikutnya datang lebih dahsyat. Hujan es turun, suhu turun drastis. Irwan mulai batuk parah, menggigil semalaman.


Irwan: "Kalau gue enggak bangun besok... jangan berhenti jalan. Temuin jalan keluar."


Ferdi: "Jangan ngomong kayak gitu, Wan. Kita semua keluar dari sini. Bareng."


Malam itu, Irwan tak pernah bangun lagi.


Pagi harinya, mereka bertiga menggali tanah dengan tangan kosong, menguburkan sahabat mereka dengan air mata dan doa.


Ardi: (terisak) "Maaf, Wan... Kita enggak bisa jagain lo..."


Rino: (menunduk) "Gue janji, lo enggak mati sia-sia. Kita akan keluar. Kita akan cerita ke dunia kalau lo pahlawan kita."


Hari-hari setelah kepergian Irwan menjadi yang paling kelam. Rino, Ferdi, dan Ardi terus berjalan dengan tubuh yang mulai melemah. Nafas mereka pendek, langkah terseok. Tubuh kurus tinggal tulang, wajah kotor dan luka-luka.


Ardi: (terduduk, putus asa) “Gue gak sanggup lagi... Udah cukup. Kita gak bakal keluar, No…”


Rino: (memegang pundaknya) “Lo pikir Irwan bakal setuju lo nyerah? Bangun, Di... demi dia.”


Ferdi menatap langit yang terus mendung. Ia terjatuh ke tanah berlumpur, lalu tertawa miris.


Ferdi: “Kita makan apa sekarang? Ranting? Batu?”


Mereka mulai makan rumput lembut di pinggir sungai, daun-daunan yang tidak pahit. Rino, yang paling nekat, berhasil menangkap seekor kadal kecil.


Rino: “Maaf kadal… tapi gue harus jaga mereka hidup.”


Ia membakarnya seadanya dengan api kecil yang susah payah dibuat dari gesekan batu dan ranting kering. Daging gosong, amis, namun mereka makan dengan air mata menetes.


Di hari ke-11 mereka tersesat, Ferdi terperosok ke dalam jurang kecil sedalam tiga meter. Kakinya terkilir.


Ferdi: (menjerit) “AAARGH!! Tolong!!”


Rino dan Ardi turun menariknya dengan akar pohon sebagai tali. Mereka menangis bersama malam itu. Dingin menggigit tulang. Perut kosong. Harapan hampir habis.


Sementara itu, di rumah masing-masing, keluarga mereka seperti kehilangan akal. Ponsel mereka tidak aktif sejak hari ketiga. Ibunya Rino menangis setiap malam di depan televisi yang menayangkan berita tentang empat pendaki yang hilang.


Ibu Rino (di telepon, suara gemetar): “Bu, anak Ibu juga ikut mendaki kan? Mereka temennya Rino… Tolong bantu cari…!”


Ayah Ardi pergi dari satu pos pendakian ke pos lainnya, berteriak, menunjukkan foto anaknya.


Ayah Ardi: “Tolong, siapa pun yang lihat anak saya… dia pakai jaket abu-abu! Namanya Ardi!”


Keluarga mereka saling menghubungi, membuat grup pencarian, menyewa relawan. Air mata, doa, dan harapan mereka menggantung pada kabar yang tak kunjung datang.


Di tengah hutan itu, Rino mulai menggambar nama mereka di batang pohon besar dengan batu.


Rino: “Kalau ini akhir kita… orang lain harus tahu kita pernah ada.”


Namun jauh di kejauhan… suara helikopter mulai terdengar. Tapi tubuh mereka terlalu lemah untuk berteriak.


Suara helikopter itu seperti mimpi. Ferdi membuka mata lemas, menatap ke langit penuh harap.


Ferdi: (berbisik) “Lo denger gak... itu... helikopter?”


Ardi: (setengah sadar) “Gue pikir gue halusinasi…”


Rino, meski lututnya gemetar, bangkit berdiri. Ia mengambil sisa baju dalam tasnya, mengikatnya ke ranting panjang, lalu mengangkatnya tinggi ke udara sambil melambai dengan putus asa.


Rino: “TOLOOONG!! KAMI DI SINI!!”


Tak ada respon. Helikopter berlalu begitu saja di kejauhan, tertutup kabut.


Rino jatuh bersimpuh, menangis keras. Di sisinya, Ferdi memeluknya, menggenggam tangannya yang kotor dan berdarah.


Ferdi: “Gak apa-apa, No… kita udah nyoba…”


Malam itu mereka tidur dalam pelukan dingin dan keputusasaan. Namun pagi harinya, sesuatu berbeda. Ada suara... langkah kaki. Sorotan cahaya.


SAR: “ADA ORANG! HEY! ADA ORANG DI SINI!!”


Mata Rino terbuka lebar. Ardi langsung bangkit meski terpincang. Ferdi menangis sejadi-jadinya.


Ardi: (tersedu) “Tolong... tolong teman saya... dia udah gak kuat...”


Tim SAR datang berlari, membungkus mereka dengan selimut hangat, memberikan air, makanan ringan, dan pertolongan pertama. Rino sempat menahan tangan salah satu petugas.


Rino: (suara pelan) “Tolong… Irwan... kami kubur dia... tiga hari yang lalu…”


Tim SAR hanya menunduk hormat. Salah satu dari mereka meletakkan tangan di bahu Rino.


SAR: “Kami akan pastikan Irwan pulang juga. Kalian selamat. Kalian pahlawan.”


Mereka dievakuasi menggunakan tandu. Saat helikopter lepas landas membawa mereka turun dari hutan, mereka bertiga menatap hutan itu sekali lagi.


Ferdi: “Irwan... kita pulang…”


Beberapa minggu kemudian, berita tentang perjuangan mereka menjadi viral. Banyak yang menangis, banyak yang terinspirasi. Keluarga mereka berkumpul dalam pelukan haru. Dan sebuah tugu kecil didirikan di kaki gunung, bertuliskan:


"Untuk Irwan, sahabat sejati yang tak pernah ditinggalkan, dan persahabatan yang bertahan di ujung nyawa."

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Jejak Terakhir di Puncak"

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel