Istri Tanpa Cinta

Istri Tanpa Cinta


 “Bu, titip Sari, ya. Aku mau ke luar kota.”


Suara Fery terdengar datar. Dingin. Seolah hanya menyampaikan titipan barang yang tak lagi penting baginya. Tidak ada tatapan hangat ke arah perempuan yang duduk diam di sudut sofa, perutnya membuncit, tangannya terus mengusap pelan perut yang sedang membawa darah daging mereka berdua. 


Tidak ada sorot mata yang menandakan kepedulian. Hanya sepatah dua patah kata yang meluncur kaku dari bibirnya, seperti sebuah kalimat hafalan yang entah sudah berapa kali diucapkan.


Sari mendongak pelan, berharap ada sepasang mata yang menoleh kepadanya. Tapi nihil. Fery bahkan tak meliriknya barang sekejap pun. Ia lebih sibuk merapikan kemeja, mengancingkan manset dengan gerakan cepat, dan membenarkan letak jam tangan di pergelangan kirinya. Gerakan-gerakan yang dulu terlihat memesona di mata Sari, kini terasa asing, dingin, dan membuat dadanya sesak.


Ibunya, wanita tua yang lembut dan berhati hangat, hanya mengangguk pelan. Tatapan matanya sempat singgah lama di wajah Fery—wajah yang dulu penuh semangat, penuh harapan, kini tampak dingin dan jauh. Ada yang berbeda dari putranya itu. Bukan hanya garis rahang yang semakin tegas, atau postur tubuh yang terlihat lebih dewasa. Tapi sesuatu di dalam sorot matanya… yang terasa asing.


Fery memang tampak lebih matang, lebih mapan. Tapi kedewasaan itu seperti cangkang kosong, menyimpan sesuatu yang rapat dan sulit dijangkau. Ia bukan lagi anak muda polos yang sering bercerita panjang lebar di meja makan, tentang mimpi-mimpi dan cita-citanya. Kini, ia lebih banyak diam. Lebih sering membuang pandang. Dan ibunya bisa merasakannya—ada sesuatu yang telah hilang dari dalam diri Fery. Namun, ia tetap berkata dengan suara lembut, seolah ingin mengingatkan.


“Jangan lama-lama, Fer. Begitu urusanmu di sana selesai, langsung pulang.” Matanya melirik Sari sesaat. Senyumnya lirih, tapi sarat makna. “Istrimu lagi hamil besar. Dia butuh kamu.”


Fery terdiam. Ada sesuatu yang menyelusup masuk ke sela-sela hatinya. Seperti tangan kecil yang mencolek rasa bersalah yang sudah lama ia kubur dalam-dalam. Tapi wajahnya tetap datar. Ia tidak menjawab. Tidak pula mengangguk. Ia hanya membuang napas pelan, lebih mirip sebuah helaan bosan daripada beban yang mengganjal.


Sari menunduk. Tangannya yang tadi mengusap lembut perutnya kini menggenggam kain gamisnya erat-erat, menahan getir yang hampir meluap. Di hadapan mertuanya, ia tetap berusaha tegar, meski hatinya nyaris remuk. Ia tahu, wanita tua itu baik, bahkan menganggapnya seperti anak sendiri. Tapi ada batas yang tidak bisa ditembus oleh siapa pun. Termasuk oleh ibu mertuanya sendiri.


Apa yang ibunya lihat adalah Fery yang lembut, sopan, tampak bertanggung jawab. Tapi Sari hidup bersama sisi gelap yang tak diketahui siapa pun. Sisi Fery yang dingin, yang tak pernah menganggap kehadirannya sebagai seorang istri. Bahkan mungkin… tak pernah ada sedikit pun cinta untuknya sejak awal.


Sari menarik napas panjang. Mengelus perutnya lagi dengan lebih perlahan, seakan menyalurkan kekuatan ke dalam rahimnya. “Nggak apa-apa, Nak…” bisiknya dalam hati. “Kita nggak butuh siapa-siapa. Ibu cukup buat kamu.”


Pagi itu, matahari baru saja naik malu-malu, mengintip dari sela-sela dedaunan, menyinari halaman rumah orang tua Fery dengan cahaya hangat yang semu. Angin berembus pelan, seperti membawa isyarat yang tak bisa dimengerti siapa pun.


Fery sengaja membawa istrinya ke rumah itu dengan alasan sederhana, yang dikemas rapi: sebuah pekerjaan mendadak di luar kota. Ia bicara kepada ibunya dengan tutur sopan, meyakinkan bahwa Sari akan aman di sana, ditemani tangan penuh kasih seorang ibu, sementara ia—katanya—harus menunaikan tugas penting. Semuanya terdengar wajar, bahkan terlalu wajar.


Sari hanya diam, duduk di sudut sofa dengan kepala tertunduk. Ia mendengar setiap kata yang terlontar, satu per satu, dan ia tahu persis—ini bukan sekadar perjalanan bisnis. Ada sesuatu yang Fery sembunyikan rapat-rapat di balik sikap tenangnya. Sesuatu yang sudah ia ketahui: Fery akan menikah lagi.


Hatinya bergetar hebat, tapi wajahnya tetap teduh. Ia sudah terlalu sering belajar menelan luka sendirian, hingga nyeri itu serasa hal yang biasa.


Usai berbasa-basi, Fery pamit pada ibunya. Ia mengecup punggung tangan wanita tua itu dengan takzim, seperti seorang anak yang berbakti. Lalu, tatapannya beralih kepada Sari. Hening sejenak. Fery menarik napas panjang, sebelum akhirnya melangkah mendekat ke hadapan istrinya.


“Aku pergi dulu,” ucapnya pelan, nyaris berbisik, seolah takut ada yang mendengarnya selain mereka berdua.


Sari mengangguk pelan. Senyum tipis tersungging di bibirnya, serupa retakan halus di kaca yang menunggu waktu untuk pecah. Ia berusaha tampak tegar, meski di dadanya ada bara yang membakar perlahan.


Saat Fery berdiri dan membalikkan badan hendak melangkah pergi, ia tiba-tiba berhenti. Ada jeda yang asing, sebelum akhirnya ia menoleh lagi.


“Sar?” panggilnya, suaranya datar. “Mau dibawain oleh-oleh apa?”


Sari sempat terpaku. Ada jeda yang panjang sebelum ia menjawab. Fery tidak pernah bertanya seperti itu sebelumnya. Bahkan, sekian kali Fery pergi ke luar kota, ia selalu pulang dengan tangan kosong—atau justru membawa beban luka di hati Sari, tanpa pernah tahu atau mungkin tanpa peduli. Kali ini berbeda, tapi anehnya... tak membuat Sari merasa lebih baik.


Dalam hatinya, ia bertanya: Apa karena ada ibumu di sini, Mas? Apa karena kau ingin terlihat baik di matanya?


Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya, tapi ia tahan dalam diam.


Sari menarik napas pelan, lalu kembali mengulas senyum. “Baju bayi saja, Mas,” jawabnya akhirnya, suaranya lembut namun tegas. “Nggak usah banyak-banyak. Cuma satu lusin aja. Yang penting oleh-oleh dari luar kota. Aku cuma mau itu... nggak butuh yang lain.”


Ada sedikit getar yang tertahan dalam kata-katanya. Fery terdiam sejenak, matanya seakan mencari sesuatu di wajah Sari, sesuatu yang mungkin dulu akrab, namun kini asing.


“Tapi aku nggak tahu soal baju bayi,” jawabnya pelan. Suaranya terdengar gamang, seperti seseorang yang kehilangan arah.


“Kamu tinggal datang ke toko perlengkapan bayi,” Sari membalas, senyumnya masih bertahan, meski matanya hampir berkaca-kaca. “Tanya sama pelayannya, mereka pasti bantu milihin.” Ucapannya ringan, namun hatinya terasa berat, seperti sedang menyerahkan sebuah tanda perpisahan.


Fery akhirnya mengangguk pelan, seperti robot yang kehilangan kendali. Ia membalikkan badan dan melangkah menuju mobil, namun baru beberapa langkah, suara Sari kembali menghentikannya.


“Hati-hati ya, Mas,” ucap Sari, nada suaranya jauh lebih hangat dari biasanya. Ada ketulusan di sana, tapi juga kepasrahan yang perih. “Aku doakan, semoga urusanmu lancar... tanpa sedikit pun halangan.”


Fery menghentikan langkahnya. Ia berdiri kaku sejenak, membiarkan ucapan itu menyelinap masuk jauh ke dalam pikirannya. Ia sudah sering mendengar kalimat itu dari mulut Sari tiap kali ia pergi. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Bukan sekadar doa, bukan sekadar pengingat, melainkan seperti sebuah... ucapan selamat tinggal.


Sejenak, hatinya terasa berat. Ada desir aneh yang mengusik. Namun, egonya terlalu tinggi untuk membuatnya berbalik lagi. Ia memilih melanjutkan langkahnya, meski kali ini terasa lebih berat dari biasanya.


Sari berdiri di ambang pintu, menyaksikan punggung lelaki yang pernah ia kagumi sepenuh jiwa itu perlahan menjauh. Ia tahu, tak ada lagi yang bisa ia tahan. Semuanya sudah cukup. Mungkin inilah akhir dari semua perjuangannya, semua kesabarannya.


Saat suara mobil itu menghilang di kejauhan, Sari membiarkan air matanya jatuh, tanpa suara, tanpa tangis. Hanya tetesan-tetesan hangat yang membasahi pipinya, membawa serta segala luka yang selama ini ia pendam sendiri.


Ia mengusap perutnya perlahan, menunduk, lalu berbisik dalam hati, “Nak... kita nggak butuh apa-apa lagi dari dia. Dia tidak menginginkan kita. Tapi kita akan baik-baik saja, kan?”


BERSAMBUNG...


Selengkapnya di aplikasi K BMapp novel 


Judul: Istri Tanpa Cinta 

Penulis : Yuliana


Baca selengkapnya DISINI 

Perhatian: kliksebanyak 3 atau 4 kali untuk melewati iklan



Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Istri Tanpa Cinta "

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel