“"Sampai akhir""
Rumah kecil di sudut kampung itu selalu hangat. Ada aroma teh melati dan suara burung murai yang berkicau dari kandangnya. Di situlah Diah dan Lukman tinggal, sepasang suami istri yang telah melewati tujuh tahun pernikahan tanpa dikaruniai buah hati.
Setiap malam, mereka duduk berdampingan, berdoa dalam diam, menatap langit-langit sambil berharap Tuhan mengirimkan keajaiban. Mereka sudah mencoba segalanya—berobat ke dokter, terapi herbal, bahkan konsultasi ke tempat-tempat yang katanya sakti. Tapi rahim Diah tetap sunyi.
Hingga pada suatu hari, keajaiban itu datang... dalam bentuk lain.
Diah (pelan, penuh haru):
"Mas... bayi ini... matanya seperti danau. Tenang, tapi dalam... bolehkah kita...?"
Lukman (mengangguk sambil mengelus kepala bayi itu):
"Kita rawat dia seperti darah daging kita sendiri. Namanya... Haikal."
Hari-hari berubah menjadi pelangi. Haikal tumbuh sehat, cerdas, dan manis. Ulang tahunnya yang ketiga dirayakan sederhana dengan nasi tumpeng dan balon warna-warni. Diah tak berhenti menangis malam itu, tapi bukan karena sedih—karena terlalu bahagia.
Saat Haikal demam, Diah tak tidur semalaman, duduk menggigil di sisi ranjang anak itu sambil menggenggam tangannya yang kecil. Lukman berkali-kali membasuh kepala Haikal dengan air hangat, wajahnya penuh cemas.
Diah:
"Mas... andai anak ini tahu betapa berharganya dia buat kita..."
Lukman (pelan):
"Dia adalah doa kita yang dikabulkan. Mungkin bukan lewat rahim, tapi lewat takdir."
Waktu berlalu. Haikal selalu jadi juara kelas. Setiap kali pembagian rapor, Diah akan membawa bunga dan Lukman akan mengangkat Haikal tinggi-tinggi. Mereka bangga. Dunia mereka lengkap.
Sampai akhirnya... semuanya mulai berubah.
Haikal duduk di bangku kelas 2 SMP saat ia mulai pulang larut, enggan berbicara, bahkan kadang membentak. Diah mencoba memahami, memberi ruang. Tapi luka di hatinya mulai menganga.
Diah (pelan, menahan air mata):
"Mas... Haikal tadi... banting pintu. Dia bilang aku cerewet..."
Lukman (menatap kosong):
"Mungkin dia lelah... mungkin kita harus bicara baik-baik."
Namun keesokan harinya, telepon dari sekolah membuat hati Diah runtuh.
Guru di telepon:
"Ibu Diah, kami harus sampaikan bahwa Haikal tertangkap merokok di belakang sekolah... dan terlibat tawuran."
Tangannya gemetar. Air mata tak tertahan lagi. Lukman langsung pulang dari bengkel, mendapati Diah terduduk dengan mata sembab.
Diah:
"Mas... apa kita salah dalam mendidik dia...?"
Lukman:
"Bukan salahmu, bukan salah kita... kita hanya harus lebih dekat lagi dengannya."
Malam itu, mereka duduk bersama Haikal. Tak ada amarah, hanya harapan. Tapi Haikal, dengan tatapan dingin, berkata pelan namun tajam:
Haikal:
"Sudahlah... kalian bukan orang tua kandungku, jadi jangan sok atur hidupku!"
Seperti dihantam gelombang di dada yang kosong. Diah menunduk. Air matanya jatuh ke lantai tanpa suara.
Diah (bergetar):
"Mas... dia... dia sudah tak anggap kita orang tuanya..."
Lukman (menatap langit, mencoba menahan tangis):
"Tapi dia tetap anak kita... di mata kita, dia tetap anak kita, sampai kapan pun..."
Beberapa hari berlalu. Haikal mengurung diri. Namun suatu malam, ia mengintip Diah yang sedang duduk di ruang tamu, memegang album foto kecil. Di dalamnya, ada potret-potret dirinya sejak masih bayi hingga kini. Ia melihat bagaimana Diah selalu tersenyum dalam setiap foto... dan ada selembar surat kecil di samping album itu.
*"Untuk Haikal, anakku...
Ibu tahu, mungkin kau marah. Mungkin dunia membuatmu bingung.
Tapi ketahuilah, tak ada hari dalam hidup ibu yang lebih berarti selain hari kau datang ke pelukan kami.
Kau adalah jawaban dari tangisan kami selama tujuh tahun lamanya.
Kau adalah cahaya di rumah ini.
Ibu tak butuh darah yang sama, cukup kau tahu...
Ibu mencintaimu.
Selalu."*
Haikal menggenggam surat itu, dadanya sesak. Malam itu, ia mengetuk pintu kamar Diah dan Lukman.
Haikal (pelan, dengan suara bergetar):
"Bu... Ayah... maaf... boleh... boleh aku peluk kalian?"
Diah bangun, memeluk Haikal erat-erat, seolah tak ingin melepas lagi. Lukman menutup mata, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama... mereka bertiga menangis bersama.
Haikal, usia 27 tahun.
Langit sore mengguratkan warna jingga di cakrawala. Di depan makam sederhana bertuliskan Diah binti Marwan, seorang pria muda berdiri dengan kepala tertunduk. Tangannya memegang seikat bunga melati. Matanya sembab, tapi dalam diamnya, ada ketenangan yang perlahan meresap.
Haikal (berbisik pelan):
"Ibu... maaf aku datang telat. Tapi aku bawa kabar... aku lulus S2, Bu. Aku... jadi dosen seperti yang Ibu impikan."
Angin sore berembus lembut, seperti mengusap air mata yang menuruni pipinya.
Haikal (masih lirih):
"Aku ingat malam itu, saat aku menyakiti Ibu dengan kata-kataku...
Aku masih remaja bodoh, Bu. Penuh amarah. Penuh kebingungan.
Dan Ibu... Ibu hanya diam. Tapi diam itu lebih sakit daripada seribu pukulan."
Setelah malam Haikal membaca surat Diah, hidupnya berubah. Ia perlahan kembali ke jalan yang dulu dibentangkan dengan penuh cinta oleh Diah dan Lukman. Mereka tidak pernah memaksanya. Mereka hanya... tetap mencintainya, walau hatinya saat itu beku.
Lukman (suatu malam, saat mereka berdua duduk di teras):
"Kalau kau jatuh, Kal... rumah ini akan selalu jadi tempatmu kembali. Tak peduli berapa jauh kau pergi."
Haikal (menahan tangis):
"Ayah... terima kasih... untuk tidak pernah menyerah pada anak sekeras kepala aku."
Waktu terus berjalan. Diah wafat karena komplikasi jantung. Saat itu Haikal sedang kuliah di luar kota. Ia pulang dengan tubuh gemetar dan dada terasa hampa. Ia tak sempat berpamitan. Tapi di meja samping tempat tidur Diah, ada satu lagi surat... ditulis dengan tulisan tangan yang semakin goyah.
Untuk Haikal, anakku...
Ibu tahu kamu tumbuh menjadi pria hebat.
Maafkan Ibu kalau kadang terlalu cemas, terlalu banyak melarang. Itu karena Ibu terlalu takut kehilanganmu.
Jaga Ayah, ya. Dia lebih rapuh dari yang terlihat.
Dan kalau nanti kamu punya anak, ajari dia tentang cinta... seperti cinta yang dulu kamu ajarkan pada Ibu, lewat satu pelukan di malam itu.
Ibu bangga padamu. Selalu.
Kini Haikal berdiri di depan makam itu, bersama seorang perempuan muda dan bocah kecil laki-laki yang mirip dirinya sewaktu kecil.
Anak kecil itu (menarik ujung baju Haikal):
"Ayah... ini makam nenek, ya? Yang Ayah bilang sayang banget sama Ayah?"
Haikal (tersenyum sambil mengusap kepala anaknya):
"Iya, Nak... ini rumah nenek Diah. Kita doakan, ya. Bilang makasih ke nenek, karena kalau bukan karena dia, Ayah gak akan ada di sini."
Anak itu memejamkan mata kecilnya, lalu berbisik pelan,
"Makasih ya, Nek Diah. Aku janji bakal bikin Ayah bangga, kayak Ayah bikin Nenek bangga dulu."
Haikal menatap langit. Di sana, ia yakin, cinta tak pernah benar -benar pergi.
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Sampai akhir"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker