Lanjut baca

Lanjut baca

 

“Neng, itu tadi beneran harga kepitingnya lima ju ta?” tanyaku saat berada di kamar bersama si menantu bungsu.


“Iya, Bu. Jangan dipikirin, ya. Salma beneran beli pakai ua ng hal al, kok.” Sambil tersenyum menantuku itu berujar, tangannya terasa lembut mengusap bahu yang sudah renta ini.


“Tapi, Neng. Neng punya ua ng dari mana? Ga ji suamimu saja gak sampai segitu. Kalau punya ua ng lebih baik ditabung saja, biar Neng bisa pisah dari rumah ini dan bikin rumah yang lebih layak,” saranku.


“Hehe, iya, Bu. Salma lagi punya ua ng lebih aja, Salma pengen bahagiain Ibu. Gimana tadi, kepitingnya enak, gak?” tanyanya membuat pelupuk ini terasa panas. Bagaimana bisa seorang menantu memiliki sikap yang baiknya melebihi an ak kandung sendiri.


“Terima kasih banyak, ya, Neng.” Bukannya menjawab, aku malah tersedu sembari memeluknya erat.


***


Jam di dinding menunjukkan puk ul tujuh, macam-macam pula pemandangan yang menghiasi mata di pagi ini.


Menantu pertamaku nampak tengah rebahan di sofa butut sambil bermain ponsel, sedangkan menantu keduaku terlihat menonton televisi. Sementara Salma, dia mondar-mandir di depan teras sambil menyirami bunga.


Jujur saja, aku kagum pada gadis itu. Sedari dulu sikapnya tak pernah berubah, selalu manis dan ramah. Selalu mau belajar dan bertanya perihal pekerjaan rumah tangga jika dia belum mengerti.


Sebenarnya aku tak menyangka an akku, Akbar, akan berjodoh dengannya. Dulu an ak bungsuku sempat bertunangan dengan Mahira, an ak juragan sawah di kampung ini. Tapi tanpa kejelasan apapun Mahira memutuskan hubungan mereka.


Satu bulan setelah itu, aku kembali dikejutkan dengan pengakuan an akku, katanya hendak menikahi cucu Mak Enih yang batal menikah padahal undangan sudah tersebar. Aku yang awalnya ragu hanya bisa mengiyakan, hingga pernikahan an ak dan menantu bungsuku akhirnya terjadi.


“Bu? Lagi apa, sih? Kok bengong di situ?” Suara Aliyah menyadarkan pikiranku yang terbang ke mana-mana.


“Oh, enggak, Neng.”


“Ibu sudah masak?” tanyanya dengan nada ketus seperti biasa.


“Belum, Neng. Gasnya habis, padahal nasinya sudah Ibu rendam.”


“Habis? Perasaan baru kemarin deh beli.” Devi yang sedang menonton televisi menyahut.


“Tiga minggu lalu, ‘kan?” timpal Aliyah.


“Iya, biasanya juga cukup sebulan.” Devi mengomel lagi, dia memang selalu begitu setiap gas habis, merasa berjasa karena tiap bulan dia yang bertugas membeli gas serta galon air di rumah ini.


“Bu, jangan boros-boros, lah. Masa gas gak cukup sampai sebulan? Kalau mau masak air atau yang ringan gak usah di kompor, di belakang saja ‘kan ada tungku. Kang Edwin bulan-bulan sekarang tuh lagi gak ada lemburan. Kalau begini terus bisa bon cos!” omelnya membuat telingaku terasa berdenging.


“Iya, Neng. Maaf.”


“Teh, bisa gak sih bicaranya pelan-pelan. Ibu itu orang tua, bukan bo cah yang bisa kamu omeli sesuka hati!” Tiba-tiba Salma datang.


“Gak usah ikut campur, deh. Tahu apa kamu sama kebutuhan di rumah ini? Baru tinggal sebulan di sini saja sudah sok!” sahut Devi, mulut menantu keduaku itu memang pedasnya melebihi cabai rawit berjenis caplak.


“Biar aku aja yang beli.” Salma berujar.


“Punya ua ng dari mana kamu? Gak usah sok-sokan kayak semalam. Pasti kamu pi njam ua ng dari aplikasi, ‘kan?” tandas Aliyah.


“Sudah, sudah. Neng, gak apa. Biar Ibu masak di tungku saja dulu. Kalian ‘kan sudah pasti lapar.”


“Gak apa, Bu. Salma beli gasnya dulu, ya.” Menantuku itu langsung balik kanan, lalu berjalan ke arah dapur. Tak lama dia kembali dan membawa tabung gas melon keluar rumah.


***


Aku yang tengah memasak nasi di atas tungku langsung menghentikan aktivitas saat mendengar suara heboh di depan.


Tergopoh-gopoh aku keluar, jelas aku terkejut saat melihat beberapa barang yang masih terbungkus kardus berdiri di teras yang lantainya masih beralaskan acian semen.


“Sekalian dimasukkin ke dalam bisa, ya, Pak?” ujar Salma.


“I-ini punya siapa, Neng?” tanyaku bingung.


“Punya Ibu.” Salma menjawab sambil tersenyum.


Sementara Aliyah dan Devi masih heboh sembari menyentuh barang itu satu persatu.


“Salma, kamu ngapain, sih? Disuruh beli gas malah pulang bawa banyak barang? Pakai acara kre dit segala, dari mana kamu ba yarnya nanti?” ucap Aliyah dengan logat jawanya yang masih terdengar.


“Maaf, Bu. Bu Salma tidak kre dit, beliau beli semua ini cash,” tutur seorang lelaki berbaju seragam khas toko elektronik.


Sementara aku hanya bisa mematung melihat benda seperti kulkas, mejikom, dispenser, bahkan mesin cuci yang terlihat begitu mewah ini.


“Sekarang Ibu gak perlu susah-susah lagi masak nasi di kompor, Ibu juga gak harus nyuci pakai tangan. Sama satu lagi, gak perlu khawatir gasnya habis dalam sebulan, Salma udah beliin yang besar,” katanya seraya menunjuk gas berwarna biru yang baru saja sampai.


“Salma! Terus siapa yang mau ba yarin lis triknya nanti? Ini wattnya gede semua!” ucap Aliyah lagi.


“Saya.” Suara lelaki membuat kami semua menoleh.


“A-Akbar?”


Judul : Rahasia Menantu Bungsu

Penulis : Azu Ra Ra

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Lanjut baca "

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel