Tanah yang Tak Lagi Ditanami

Tanah yang Tak Lagi Ditanami


 "Tanah yang Tak Lagi Ditanami"


Matahari mulai merayap naik di ufuk timur, menyinari ladang-ladang yang menghampar luas di kaki Gunung Slamet. Di sebuah gubuk kayu tua, hiduplah sepasang suami istri, Pak Darto dan Bu Sarmi. Sejak muda mereka menggarap tanah warisan orang tua Pak Darto. Tanah yang kering, penuh batu, namun dengan tangan mereka yang keras dan doa yang tak pernah putus, tanah itu jadi ladang subur.


Mereka punya tiga anak: Arif, si sulung yang cerdas dan ambisius; Lilis, anak tengah yang lembut dan penuh kasih; dan Bimo, si bungsu yang manja namun berhati hangat. Mereka bertiga dibesarkan dengan penuh cinta, meski setiap sen yang dihasilkan dari menjual hasil panen harus disisihkan demi uang sekolah.


"Bu, kalau beras tinggal segini, makanlah kamu dan anak-anak saja. Aku cukup dengan singkong rebus," kata Pak Darto suatu malam, saat mereka hanya punya dua genggam beras.


"Pak, kita ini orang tua, tapi kita harus kuat. Biar anak-anak sekolah tinggi. Kalau mereka sukses nanti, mereka pasti ingat kita."


Dan itu yang mereka percaya.


Tahun demi tahun berlalu. Pak Darto dan Bu Sarmi menanam padi, jagung, kadang tembakau jika musim cocok. Mereka menjual hasil panen, menyekolahkan anak-anak hingga ke kota. Arif jadi insinyur, Lilis jadi dokter, dan Bimo bekerja di perusahaan besar di Jakarta. Warga desa kagum. Tak sedikit yang iri. Tapi kebanggaan itu tak pernah membuat Darto dan Sarmi sombong.


Namun ketika rambut Pak Darto mulai memutih dan tangan Bu Sarmi mulai gemetar, yang datang bukanlah balasan manis.


Anak-anak mereka jarang pulang. Telepon pun hanya datang saat Lebaran. Pak Darto dan Bu Sarmi sering duduk di beranda, memandang jalan setapak, berharap ada mobil berhenti, ada suara “Mak, Pak, ini aku...”


“Mereka sibuk, Pak…  Lilis katanya sedang di luar negeri. Arif juga… Bimo entah, katanya proyek di Kalimantan.”


"Iya, Bu... Mungkin nanti kalau panen raya, mereka datang.” Pak Darto tersenyum, meski matanya redup menahan kecewa.


Suatu malam, Bu Sarmi jatuh sakit. Stroke. Rumah yang sepi jadi makin sunyi. Pak Darto merawatnya dengan penuh kasih, seperti saat mereka masih muda. Tapi karena tak ada kendaraan dan rumah sakit terlalu jauh, Bu Sarmi meninggal dalam tidurnya.


Arif, Lilis, dan Bimo datang ke pemakaman. Pakaian mereka rapi. Mobil mereka mahal. Tapi hati mereka... entah di mana.


Usai tahlilan hari ketujuh, mereka berkumpul di ruang tamu rumah tua itu.


"Pak, kami sudah bicarakan ini. Kami tidak bisa gantian merawat Bapak. Rumah kami kecil, kerjaan kami sibuk..." ujar Arif, datar.


"Maksud kalian apa?" Pak Darto menatap satu-satu wajah anak-anaknya.


"Kami sudah daftarkan Bapak ke panti jompo terbaik di kota. Biar dirawat profesional. Kami bayar bulanan, tenang saja."


Pak Darto terdiam. Suara jangkrik di luar lebih nyaring dari degup hatinya.


"Jadi... tanah ini? Rumah ini? Semua perjuangan kita?"


"Sudah terlalu tua, Pak. Nanti kami jual, hasilnya bisa bantu biaya perawatan Bapak juga," timpal Bimo sambil menatap layar ponselnya.


"Lalu untuk apa Ibu menahan lapar, Bapak bekerja sampai tulang remuk, kalau akhirnya kalian anggap Bapak ini beban?"


Lilis menunduk, meneteskan air mata. Tapi tetap diam.


Akhirnya, di usia  yang kini 76 tahun, Pak Darto tinggal di panti jompo. Setiap pagi ia duduk di taman kecil, memandang pepohonan yang tak ia kenal. Kadang ia mengobrol dengan perawat, menceritakan ladang-ladang di kaki gunung, istrinya yang suka menanam melati, dan tiga anaknya yang kini terlalu sibuk untuk menoleh ke belakang.


"Pak Darto, Bapak ingin pulang?" tanya perawat suatu hari.


"Bukan ingin, Nak... Aku hanya berharap, saat aku mati nanti, anak-anakku datang. Bukan untuk menangisi aku, tapi untuk minta maaf, karena tak sempat menjadi anak."


Langit senja menggantung sendu. Di antara kabut tipis dan desir angin, ada jiwa yang tak tenang. Bu Sarmi Seolah  berdiri di sisi pohon jambu di depan rumah tua mereka. Ia menatap Pak Darto yang duduk sendiri di beranda panti jompo, dengan wajah tua yang tak lagi sekuat dulu.


"Pak... aku di sini. Aku tak pernah benar-benar pergi..."


Tapi Pak Darto tak bisa mendengarnya. Ia hanya terdiam, menatap langit sore. Tak ada anak-anak yang menemuinya hari ini. Seperti hari-hari sebelumnya. Seperti minggu-minggu yang telah berlalu.


"Pak, aku tahu kau lelah... Tapi kenapa mereka tega begitu?" bisik Bu Sarmi, pilu.


Lalu, pada suatu malam yang hening, Pak Darto memeluk selimutnya erat-erat. Tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tapi karena mimpi buruk yang datang: mimpikan rumahnya dijual, tanah ladangnya dihancurkan untuk bangunan mewah, dan suara anak-anaknya tertawa bukan karena bangga, tapi karena tak peduli.


Ia terbangun. Menangis. Pelan.


"Bu... maafkan aku. Aku tak bisa menjaga mereka jadi anak-anak yang tahu balas budi..."


Dan malam itu, Bu Sarmi mendekat, duduk di sisi ranjangnya. Ia tahu Pak Darto tak bisa melihatnya. Tapi ia menyeka air mata suaminya dengan ujung kain khayal.


"Pak,kau bukan gagal... Kau sudah jadi suami terbaik, ayah paling kuat. Tapi tak semua hati bisa tumbuh subur, meski kau pupuk dengan cinta."


Sementara itu, jauh di kota, Lilis duduk di ruang praktiknya. Ia memandangi foto almarhum ibunya di dinding.


"Bu... kenapa aku merasa gelisah terus, ya?"


Malam itu, Lilis bermimpi. Ia melihat ibunya duduk di beranda rumah tua. Tersenyum. Tapi matanya sembab. Di sampingnya ada Pak Darto, menggenggam tangan istrinya.


"Lilis," suara Ibu di dalam mimpi itu lembut, "kau ingat waktu kau jatuh dari sepeda dan Bapak menggendongmu pulang? Ia tak pernah tidur semalaman karena kau demam."


Lilis terbangun dengan keringat dingin. Paginya, ia ambil cuti. Naik mobil ke panti jompo tanpa pikir panjang.


Ketika sampai, ia temui ayahnya sedang duduk, menatap kolam kecil.


"Pak..." Lilis berbisik.


Pak Darto menoleh, matanya menyipit. "Lilis...? Kamu... kamu datang?"


Lilis berlutut. Mencium tangan ayahnya yang sudah penuh keriput.


"Maafkan Lilis, Pak... Kami semua salah. Kami lupa... bahwa sebelum kami jadi orang, kami ini cuma anak-anak petani yang hidup karena keringat dan doa kalian..."


Pak Darto tak bisa berkata apa-apa. Air matanya mengalir. Tapi entah karena bahagia atau karena luka lama yang terlalu dalam.


Di kejauhan, Bu Sarmi tersenyum. Perlahan-lahan, sosoknya mulai meredup. Ia tahu... saat penyesalan datang, luka memang tak bisa sembuh seketika. Tapi ia percaya, kasih seorang ibu dan cinta seorang ayah akan terus membekas, walau dunia telah berubah.


"Kini aku bisa tenang, pak.... Lilis pulang. Semoga yang lain segera menyusul..."


Created By Putri

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Tanah yang Tak Lagi Ditanami"

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel