SENGSARA SETELAH MENDUA.

SENGSARA SETELAH MENDUA.


 "Mas? Tumben kamu pulang cepat? Ini siapa?" Anya menatap Jeni, lekat. Sejujurnya aku takut. Tapi, desakan Jeni membuatku terpaksa melakukan ini.


"Ada hal penting yang harus aku bicarakan, An." Kening perempuan yang sudah 18tahun aku nikahi itu berkerut. Namun, kembali tersenyum meski kudapat melihat senyumnya dipaksakan.


"Duduk dulu, yuk. Ini namanya siapa?" Jeni yang sedari awal bersikap dingin diam saja. Matanya liar melihat foto-foto keluarga yang terpajang di dinding.


"Ini Jeni, An. Dia sekretarisku. Anak Tante Chyntia, teman Mama. Sudah tiga bulan ini bekerja di kantor. Baru selesai kuliah dan pulang dari USA," jelasku.


"MasyaAllah, masih muda dan cantik. Pasti nanti suaminya juga pengusaha muda dan hebat, ya?" Jeni langsung menoleh. Aku tertunduk.


"Usia kamu berapa, Dek Jeni? Saya umur 19 tahun sudah menikah dengan Mas Heru. Kamu beruntung bisa kuliah dan bekerja. Nasibmu sangat beruntung." Entah apa maksud Anya. Selama ini Anya tak banyak bicara. Pembawaannya yang lembut seperti wanita bangsawan dari tanah Jawa.


"Jeni ini kesini mau berkenalan denganmu, An." Aku menjeda ucapan. Reaksi Anya masih sama, menyimak dengan seulas senyum dibibirnya yang tipis.


"Oh, MasyaAllah ... Boleh, mau kenalan sama istri bosnya ya? Tapi, pasti Dek Jeni ini akan jenuh dengan cerita saya. Soalnya saya hanya ibu rumah tangga biasa. Hanya di rumah melayani suami sepenuh hati dan ..."


"Ehem! An!" Potongku cepat. Aku menoleh lagi ke arah Jeni yang duduk disampingku. Perempuan itu mulai jengah dengan sambutan Anya yang mungkin membuatnya tak nyaman.


"Iya, Mas! Eh iya, kamu duduk disini, Mas. Kalian duduknya terlalu rapat. Ga baik, nanti dikira macam-macam sama orang." Anya menarik tanganku untuk pindah. Namun, dengan cepat Jeni menahan.


"Mbak, Mas Heru ini calon suamiku! Kami akan segera menikah." Lantang suara Jeni membuat Anya terdiam dengan wajah kaku.


"Jeni! Biar saya jelaskan dengan pelan," Bisikku.


"Kelamaan!" Sungutnya lalu menghempaskan tubuh ke sofa.


Anya masih terpaku. "An ... Anya!" Perempuan itu gelagapan.


"Eh, Ya Allah. Apa tadi?" Tanyanya dengan mengusap kening lalu kembali duduk. 


"Maaf, aku tadi sepertinya banyak ngelamun."


"Mbak, kita sudah sama-sama dewasa. Saya mencintai Mas Heru. Saya tak masalah untuk jadi yang kedua. Soal harta Mbak tak perlu khawatir. Setelah kami menikah, saya akan keluar dari perusahaan Mas Heru dan bekerja di perusahaan Papa saya." Cepat, tepat dan tegas. Jeni bicara sambil menatap Anya yang juga mengarahkan pandangan padanya.


Aku menyentuh lengan Jeni. Berharap dia bisa lebih berempati pada Anya yang pasti syok mendengar aku telah menduakannya.


"Gimana, Mbak?" Sentak Jeni. Setelah sekian lama Anya hanya diam.


"Terserah!" Lirih Anya tanpa menatap ke arah kami.


Aku dapat merasakan hati Anya yang hancur atas pernyataan Jeni. Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku juga tak mampu menolak pesona Jeni yang begitu menggoda. Terlebih dia sebentar lagi akan menjadi pewaris tunggal perusahaan Papanya. Itu artinya semua harta kekayaan mereka juga akan menjadi milikku.


Jeni menatapku, seulas senyum terukir di sana. "Baiklah, kalau gitu. Mbak, harus bisa meyakinkan anak-anak Mbak. Saya akan kembali dua Minggu dari sekarang. Anak-anak mbak, sudah harus bisa menerima pernikahan saya dengan Mas Heru. Karena kami akan mengadakan acara besar-besaran. Jangan sampai anak-anak mbak mengacaukan semuanya!" 


"Jeni ...!" Aku menyentuh tangannya. Perempuan itu melotot. Lalu dengan cepat menarik tanganku untuk berlalu. Tanpa bisa menolak apalagi memeluk Anya, kami pun pergi. Sekilas aku melihat ada air yang mengalir diwajah mulus Anya. Meski matanya menatap lurus ke arah jendela. Seakan enggan memandang kepergianku.


***


Malam ini terasa canggung. Anya lebih banyak diam tak seperti biasanya. Cerita anak-anak hanya ditimpali sesekali. Aku takut takut memandangi. Khawatir Anya marah-marah di depan anak-anak. Jelas saja, Aurel, Dini dan Faaz akan sangat marah jika tau aku akan menikah lagi. Mereka sangat dekat dan jelas sangat menyayangi Anya.


"Mama tumben banyak diam. Mama sakit?" Aurel memegang tangan Anya. Perempuan itu menggeleng sambil tersenyum. Kami baru saja selesai makan malam.


"Mama sepertinya lagi mikirin sesuatu nih?" Timpal Dini--gadisku nomor dua yang kini duduk di bangku SMP.


"Engga, Mama ga kenapa-napa kok. Mama mau istirahat lebih awal. Kalian bisa kan ngerjain PR sendiri." 


"Faaz, ga ada Pr, Ma. Hari ini aman." Sahut Faaz. Anya tersenyum. Lalu mendorong kursi ke belakang kemudian bangkit.


Sepeninggal Anya, anak anak ribut dengan perubahan mamanya.


"Sudah. Kalian juga istirahat. Mama mungkin kelelahan." Aku beralasan. Anak anak pun masuk ke kamar masing-masing. Sementara aku menyusul Anya yang sudah berbaring.


"Maafkan aku, An. Aku sangat menyesal telah menyakiti kamu." Tak ada jawaban. 


"An, bicaralah. Apakah kamu setuju aku menikahi Jeni?" Lama aku menunggu kalimat dari bibirnya.


"Terserah!" Jawaban sama yang dia lontarkan tadi siang.


"Jangan terserah mulu dong, An! Kamu harus menjawab sesuai dengan isi hatimu." 

Anya yang tadinya rebahan mendadak bangun.


"Kamu pikir aku harus jawab apa! Apapun jawabanku kau tetap akan menikahi gadis itu kan?" Teriaknya lantang. Seumur pernikahan kami baru kali ini Anya meninggikan suara. Aku terdiam. Anya bangkit dan berlalu ke kamar mandi. Suara air keluar dari kran yang masuk ke dalam tampungan terdengar kencang. Aku memilih merebahkan diri sambil menatap langit-langit kamar yang mendadak terlihat suram. Hingga tanpa sadar aku tertidur sampai pagi.


Keesokan harinya aku berangkat ke kantor. Anya tak menyapa, dia menyiapkan semua kebutuhanku tanpa suara. Bahkan, dia tak lagi menyalamiku seperti biasa. Aku tak begitu ambil pusing. Karena itu adalah reaksi normal bagi seorang wanita yang mengetahui suaminya akan menikah lagi.


Lagipula aku sudah ada janji dengan Jeni hari ini. Setelah rapat dengan klien kami akan ke hotel seperti biasa.


"Gimana istri kamu, Mas? Dia bisa kan meyakinkan anak-anak kamu?" Kami sudah sampai di kamar hotel tempat biasa kami singgah.


"Tenang saja. Itu perkara mudah," Sahutku sembari meraih tubuh Jeni. Perempuan itu tertawa renyah. Kami baru saja akan memulai petualangan, ketika ponselku berbunyi.


"Siapa sih! Ganggu aja!"rutuk Jeni. Aku tertawa kecil. 


"Anya! Kenapa dia telepon?" Gumamku. Sebuah senyum terbit begitu saja. Anya pasti sudah memberikan lampu hijau untukku. Padahal tadi dia melepasku dengan wajah datar. Sekarang sudah menghubungiku lagi.


Baru saja hendak kuangkat, Jeni meraih ponsel lalu menekan tombol power hingga benda itu mati sempurna.


"Kamu ini nakal, ya!" Jeni terkekeh. Kami pun kembali mengulang dosa yang seharusnya tak terjadi. Tanpa tahu, bahwa sesuatu yang besar tengah terjadi di rumah. Sesuatu, yang akan menjadi penyesalan terbesarku di kemudian hari.


Bersambung.


Di KBM app sudah Tamat.

Yuk mampir ke akun MUTIARA SUKMA.

Cari dengan judul SENGSARA SETELAH MENDUA.

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "SENGSARA SETELAH MENDUA."

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel