Mas! Sepertinya anak kita ingin makan mie ayam! Rengekku pada Mas Pram, sambil mengelus perut yang sudah membuncit. "Alah! Alasan aja kamu itu! Mana ada bayi dalam perut bisa pengen makan mie ayam!" Ketusnya tanpa menoleh ke arahku.
Perih! Itulah yang kurasa, sudah hampir sebelas tahun aku menahan getirnya hidup bersama laki-laki yang tak peduli dengan istrinya. Baginya, ngidam, lelah menyusui, dan sakit setelah melahirkan itu hanya alasan untuk bermalas-malasan.
Aku meraih gelas yang ada di meja, dekat dengan lampu minyak yang kami gunakan sebagai sumber cahaya, menggantikan lampu yang sedang padam. Mas Pram melirikku sekilas, lalu membuang pandangan ke arah lain. Setelah membasahi kerongkongan dengan segelas air, aku menyusul kedua putraku yang sedang tertidur di kamar.
Begitu miris melihat anak-anakku hanya tidur beralaskan tikar usang yang sudah banyak lubang di sana-sini. Aku memejamkan mata, mencoba menetralisir dada yang terasa sesak. Kupandangi rumah yang sudah satu tahun belakangan kami huni, rumah yang lebih mirip dengan gubuk ini sudah menjadi tempat kami bernaung sejak Bang Pram mengikuti saran ibunya untuk membangun gubuk dekat dengan rumahnya. Ini tempat keempat yang kami huni sepanjang pernikahan. Sebelumnya, kami mengontrak rumah di dekat kampung yang sama dengan gubuk ini. Namun, biaya sewa yang semakin bertambah membuatku urung untuk meneruskan mengontrak.
"Bu! Ibu, Zidan haus." Putra keduaku terbangun karena merasa tenggorokannya kering. Aku menuangkan secangkir air untuk Zidan putraku. Ia meneguk air itu hingga tandas, kemudian kembali tidur di sampingku.
Aku menatap Gilang, putra sulungku yang kini sudah duduk di kelas empat sekolah dasar. Siang tadi, Gilang pulang dengan baju yang sangat kotor. Saat ditanya, ia menjawab bahwa teman-temannya menceburkan dirinya ke dalam parit; untung parit itu tak berisi air. "Kenapa teman-teman Mas mendorong Mas ke parit?" tanyaku siang tadi. "Teman-teman bilang kita orang miskin, Bu! Kita gak punya rumah seperti mereka. Rumah kita seperti kandang kambing," Gilang berucap sambil menangis.
Benar! Ukuran rumah kami sering dikatakan orang seperti kandang kambing ataupun sapi. Rumah berukuran dua setengah kali lima meter ini hanya ada sekat untuk kamar tidur saja. Sedangkan kamar mandi dan WC terpisah cukup jauh di belakang sana. Sungguh! Hatiku sangat teriris, anak sekecil ini harus menerima cemoohan akibat kemiskinan orang tuanya.
Aku membelai pipi putra sulungku, sesekali terdengar dengkuran halus dari mulutnya. Aku sungguh tak kuat rasanya menjalani hidup ini. Aku bertahan hanya demi mereka, anak-anakku.
Sebenarnya, Mas Pram bukanlah orang yang berasal dari keluarga kurang mampu. Bapaknya sebagai RT, sedangkan adiknya sudah menjadi guru dan perangkat desa. Semua biaya sekolah kedua adiknya kami yang menanggung saat masih ada di perantauan. Tapi, setelah kami kembali ke kampung halaman, mereka sedikit pun tak mengingat jasa kami. Sedangkan Mas Pram juga tak berani meminta sedikit pun haknya yang sudah ia korbankan untuk kedua adiknya. Bukan karena aku tak ikhlas, hanya saja saat ibu mertua meminta bantuan pada kami untuk membiayai sekolah adik-adik Mas Pram, Ibu berjanji akan memberikan kebun kelapa yang dimilikinya sebagai ganti biaya sekolah ketika mereka sudah lulus. Tapi, semua hanya bohong belaka; jangankan memetik hasilnya, meminjam berasnya saja aku tidak diperbolehkan.
Terkadang aku berkecil hati, melihat menantu yang lain selalu diistimewakan. Sedangkan aku, jangankan bertegur sapa, melihat wajahku saja Ibu Mertua merasa jijik. Entah apa salah yang pernah kuperbuat hingga hatinya begitu benci padaku.
Rumah ini berdiri di halaman belakang rumah mertuaku. Semua atas permintaan Bapak dan Ibu Mertua yang terus memaksa kami untuk membangun rumah dekat dengannya. Setelah perdebatan panjang dengan Mas Pram, akhirnya aku lagi yang harus mengalah untuk tinggal di tempat ini.
Dinginnya angin malam menembus dinding papan kayu rumah kami; aku mengambil kain jarik usang peninggalan almarhumah ibuku, kuselimuti kedua putraku agar tak merasa dingin. Angin bertambah kencang berhembus, membuat atap rumah yang jarang-jarang itu terangkat. Tak lama, hujan mengguyur bumi dengan begitu lebatnya. Aku segera berlari ke dapur, mencari ember untuk menampung air hujan dari atap yang bocor. Aku kewalahan mencari ember untuk diletakkan di lantai. Hampir setiap sudut ruangan ini kebocoran. Karena tidak hati-hati, aku hampir saja terpeleset. "Astaghfirullah!" ucapku mengelus dada.
"Ceroboh! Kalau sampai jatuh, bagaimana dengan kandunganmu?" Ucap Mas Pram di sudut ruangan sambil memindahkan lampu minyak yang hampir mati tertiup angin. Tak kubalas ucapannya yang hanya membuat hati berdenyut nyeri.
Aku ikut tidur di samping kedua putraku. Tak lama, Mas Pram ikut berbaring di sebelahku. Suasana malam itu begitu sunyi, hanya terdengar suara hujan yang terus mengguyur atap rumah kami. Aku mencoba untuk tidur, tapi pikiranku terus melayang pada kehidupan kami yang penuh dengan kesulitan.
Judul : Gubuk derita.
Penulis : Tikamaria SKMM
Selengkapnya baca di KBM app
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Gubuk derita"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker