20 Ribu Sehar

20 Ribu Sehar


 ""20 Ribu Sehari ""


Sudah tiga tahun Yona dan Robi menikah. Mereka punya satu anak laki-laki yang baru genap satu tahun. Dulu, Yona adalah karyawan di sebuah perusahaan swasta, tapi ia memutuskan untuk resign begitu mendekati waktu melahirkan.


"Aku cuma ingin fokus sama anak kita, Bi... Biar aku yang urus rumah dan si kecil," kata Yona waktu itu, penuh harap, yakin kalau Robi akan mengerti.


Robi mengangguk singkat. "Iya. Tapi jangan boros ya, aku cuma bisa kasih uang belanja 20 ribu sehari."


Yona terdiam. Tapi ia tersenyum kecil. "Aku coba, ya..."


Awalnya Yona tidak mempermasalahkan. Ia masih punya tabungan dari hasil kerja dulu. Setiap kali uang dari Robi tak cukup, ia diam-diam menambal dari sisa tabungannya.


Tapi waktu berjalan. Harga kebutuhan naik, anak makin besar. Tabungan itu pun perlahan menipis, dan akhirnya... habis.


Suatu malam, saat nasi hanya cukup untuk satu piring kecil, Yona memberanikan diri bicara.


"Bi, uang belanja boleh aku minta tambahan? Sekarang semua serba mahal, beras aja sudah naik."


Robi yang sedang sibuk bermain ponsel hanya melirik. "20 ribu itu cukup. Kamu aja yang nggak bisa ngatur."


Yona menunduk. "Aku sudah berusaha... Tapi sekarang benar-benar sudah nggak ada lagi yang bisa aku pakai."


Robi berdiri. Suaranya meninggi.


"Jangan ngeluh terus! Udah enak di rumah aja, nggak kerja, minta tambahan uang pula!"


Plak!


Tamparan itu mendarat di pipi Yona. Anak mereka yang tertidur pun terbangun dan menangis.


Yona menggigit bibirnya, air matanya jatuh, bukan karena sakit... tapi karena hatinya remuk.


Sejak malam itu, pertengkaran makin sering. Yona makin sering makan nasi putih saja, sementara Robi makan enak di luar bersama teman-temannya.


"Bro, gue traktir deh! Baru gajian nih!" ujar Robi sambil tertawa di sebuah kafe mahal, menggenggam ponsel keluaran terbaru.


Sementara di rumah, Yona duduk lemas di lantai dapur, memeluk anaknya yang rewel karena lapar.


"Aku kuat... aku pasti bisa... demi kamu, Nak..." bisiknya sambil menahan lapar.


Suatu pagi, Yona memberanikan diri melangkah keluar rumah, menggendong anaknya, menyisakan keberanian terakhirnya. Ia melamar kerja di sebuah laundry kecil.


"Aku bisa nyetrika, cuci, apa aja. Tapi... aku harus bawa anakku," ujarnya pada pemilik laundry.


Beruntung, pemiliknya berbaik hati.


Hari-hari Yona pun berubah. Ia bekerja keras sambil menggendong anaknya. Terkadang anaknya menangis saat ia tengah menyetrika, tapi ia tetap sabar.


Gaji yang ia terima tak seberapa, tapi cukup untuk membeli sayur dan beras.


Bulan berganti tahun. Dari jerih payahnya, Yona mulai menabung lagi. Ia belajar, bertanya, dan akhirnya membuka usaha laundry sendiri.


"Kamu yakin, Yon?" tanya sahabatnya.


Yona tersenyum. "Aku harus yakin. Demi masa depan anakku."


Usahanya berkembang. Ia mampu menyewa tempat, membeli mesin cuci sendiri. Ia mulai berdiri tegak.


Dan di satu sore yang sunyi, ia menatap langit lalu berkata lirih, “Aku sudah cukup kuat. Aku nggak perlu terus bertahan dengan luka.”


Dengan tenang, ia menggugat cerai Robi.


Robi tak melawan. "Silakan. Kamu juga udah nggak nurut," ucapnya dingin.


Mereka resmi berpisah.


Tak lama, Robi menikah lagi. Istrinya kini jauh berbeda dengan Yona. Boros, cerewet, selalu minta ini itu. Tabungan Robi ludes. Bahkan ponsel barunya pun dijual.


Hingga suatu malam...


"Mas, aku capek hidup susah. Aku pergi," ujar istri barunya sambil mengemasi barang.


"Ke mana kamu mau pergi?"


"Ke tempat yang lebih layak. Sama orang yang bisa kasih aku hidup enak."


Robi ditinggal. Sendirian. Tak ada uang, tak ada istri, dan tak ada anak yang bisa ia peluk.


Ia duduk di ruang tamu yang kosong, menatap dinding sambil menggenggam foto Yona dan anaknya.


“Yona... maaf. Ternyata... kamu yang paling kuat dari kita semua.”


Tapi semuanya sudah terlambat.


Robi kini hanyalah bayang-bayang dari sosok yang dulu begitu percaya diri. Rumah kontrakan kecil yang ia tinggali terasa dingin dan sepi. Makanan di meja hanya mie instan yang sudah lewat tanggal kedaluwarsa. Ponsel barunya sudah dijual demi bertahan hidup. Teman-teman yang dulu selalu ia traktir, menghilang satu per satu.


Malam itu, ia duduk di lantai, menatap kosong ke arah foto lama. Di foto itu, Yona tersenyum sambil menggendong bayi mereka, sementara Robi berdiri di belakang, tangannya di bahu Yona.


“Bodoh... Aku yang bodoh…” gumamnya, lirih.


Sementara itu, Yona tak lagi sama. Wanita yang dulu sering menangis diam-diam di sudut dapur itu kini berdiri gagah sebagai pemilik laundry yang semakin berkembang. Ia mempekerjakan ibu-ibu rumah tangga lain yang butuh penghasilan. Tempat laundry-nya tak pernah sepi pelanggan.


Suatu sore, seorang pelanggan datang. Wanita setengah baya, ramah, membawa setumpuk pakaian.


“Mbakyu ini hebat ya... Sendiri, tapi usahanya maju. Saya dengar dari tetangga-tetangga juga, katanya dulunya susah banget?”


Yona tersenyum. "Iya, Bu... Tapi Allah kasih kekuatan luar biasa kalau kita mau bangkit dan berjuang. Saya cuma ingin hidup layak, terutama buat anak saya.”


Di ruang belakang, anak Yona—kini sudah tiga tahun—berlari kecil, tertawa sambil membawa mainan kecil. Tawa anak itu adalah musik paling indah di dunia bagi Yona.


Beberapa minggu kemudian, saat Yona baru selesai menutup laundry, sebuah motor tua berhenti di depan. Dari kejauhan ia mengenali sosok itu. Robi.


Ia tampak jauh berbeda. Kurus, kusam, dan canggung. Ia berdiri diam di depan pintu.


Yona keluar, menggendong anak mereka.


"Yona..." panggilnya pelan.


Yona memandangnya tenang. "Ada apa, Bi?"


Robi menunduk. Ada getaran di suaranya. "Aku… aku cuma mau lihat anak kita. Boleh?"


Anak itu memeluk erat leher Yona, seakan tahu siapa pria di depannya.


Yona mengangguk kecil. "Lihat boleh. Tapi jangan ganggu hidup kami lagi, Robi. Aku sudah terlalu jauh berjalan untuk kembali ke masa lalu."


Robi mengangguk cepat. Matanya berkaca-kaca. "Aku… salah. Semua ini salahku. Aku terlalu egois, terlalu buta… Aku nggak pernah benar-benar lihat kamu… perjuangan kamu…"


Yona tak menjawab. Ia hanya menatap mata Robi, mata yang dulu penuh amarah, kini penuh sesal.


"Aku nggak minta kembali. Aku tahu aku nggak pantas. Tapi... terima kasih karena kamu pernah jadi istri yang luar biasa."


Yona menghela napas. "Dan kamu... adalah pelajaran paling berharga dalam hidupku."


Robi menahan air mata. Ia memandangi anaknya sekali lagi sebelum membalikkan badan dan berjalan pergi. Langkahnya berat. Tapi ia tahu, tak semua yang rusak bisa diperbaiki. Beberapa hanya bisa dikenang... sebagai penyesalan.


Yona menutup pintu. Ia memeluk anaknya erat, mencium kening kecil itu.


“Kita sudah melewati badai, Nak. Sekarang... kita pantas untuk bahagia.”


Dan hari-hari Yona pun terus berlanjut, bukan lagi dalam luka—tapi dalam kemenangan yang lahir dari luka itu sendiri.

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "20 Ribu Sehar"

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel