Istri tanpa cinta

Istri tanpa cinta


 Langit mulai meremang, menggelap perlahan seolah ikut menahan napas atas apa yang baru saja terjadi. Sari berdiri di depan rumah mertuanya, dengan pakaian yang telah ia ganti sebelum kembali.


Perjalanan panjang yang baru ia tempuh terasa lebih berat dari apa pun yang pernah ia jalani. Tubuhnya letih, tapi pikirannya jauh lebih lelah. Ia baru saja menyaksikan suaminya—lelaki yang dulu ia yakini akan menua bersamanya—mengucapkan ijab kabul untuk wanita lain. Dan kini, langkah berikutnya telah ia pilih, meski kedua kakinya nyaris tak sanggup melangkah lagi.


Dengan sisa tenaga, ia mengetuk pelan pintu rumah itu. Ketukan kecil yang hampir tak bersuara, namun baginya terdengar seperti gemuruh di dada.


Pintu terbuka. Ibu mertuanya berdiri di sana, wajahnya terlihat lega, mungkin mengira Sari benar-benar akan tinggal di rumahnya. Ada sedikit cahaya di mata wanita paruh baya itu, seolah masih berharap bisa melindungi menantunya dari badai yang baru saja menerpa.


“Kamu nggak apa-apa, Nak? Kok, wajahmu kelihatan pucat?” tanyanya lembut, sambil menyingkir ke samping memberi jalan.


Sari tersenyum kecil, getir, seperti seseorang yang mencoba tetap sopan di tengah hatinya yang sudah hancur berkeping. Ia menunduk sopan, lalu melangkah masuk dengan pelan. Langkah yang seperti mengantarnya ke akhir dari semuanya.


“Sepertinya... aku nggak bisa nginep di sini, Bu,” ucap Sari, suara pelannya bergetar, meski ia berusaha terdengar mantap. “Rima... sahabatku waktu kerja dulu, mau datang. Dia sudah di perjalanan. Niatnya mau nemenin aku malam ini di rumah.” 


Sang ibu langsung mengerutkan dahi. Ekspresinya berubah. Ada kekhawatiran yang sulit disembunyikan di sana. “Lho, kenapa nggak di sini aja, Sar? Kan, lebih enak kalau kamu di rumah Ibu. Ibu jadi bisa lihat kondisi kamu.”


Sari menatap lembut ke wajah perempuan yang masih ia hormati itu, meskipun hatinya kini harus melepaskan semua ikatan yang ada. Ia berlutut di hadapan sang ibu, bersimpuh seperti biasa, berusaha sekuat tenaga terlihat tenang, meski seluruh raganya gemetar.


“Kasihan, Bu... teman saya sudah jauh-jauh datang. Katanya kangen, pengen nginap di rumah. Nggak enak kalau harus nginap di sini,” ucapnya pelan. Suaranya tetap lembut, meski di balik itu, ada dinding rapuh yang hampir runtuh. Dan untuk kesekian kalinya, ia terpaksa berbohong.


Sang ibu terdiam. Lama. Tatapannya menyapu wajah Sari yang pucat dan sayu, lalu turun ke perut yang membuncit pelan—nyawa kecil yang selama ini mereka nantikan bersama. Berat rasanya membiarkan perempuan itu pergi sendiri, tapi ada sesuatu dalam tatapan Sari yang membuatnya perlahan mengangguk. Keyakinan? Atau keputusasaan? Entahlah. Ia sendiri tidak tahu.


“Ya udah... asal janji ya? Kamu kabarin Ibu terus. Jangan sungkan kalau butuh apa-apa,” ucapnya akhirnya, meski nada suaranya masih sarat dengan kecemasan.


Sari mengangguk pelan. Senyumnya mengembang tipis, seolah ingin menenangkan, walau di hatinya justru amarah dan pilu saling berpelukan erat. “Makasih, Bu... nggak apa-apa. Insya Allah aman.”


Perlahan, ia mengulurkan kunci motor yang tadi digunakannya, meletakkannya di atas meja di hadapan mereka. Jemarinya tampak sedikit bergetar, seolah berat melepaskan sesuatu yang bukan miliknya.


“Ini... kunci motornya, Bu. Terima kasih banyak, ya...” Suaranya lirih, hampir tenggelam dalam udara yang mendadak terasa sesak. “Aku pamit pulang dulu.”


Ada jeda panjang sebelum Sari kembali membuka suara. Kali ini lebih lirih, namun ada getaran aneh yang membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.


“Aku pamit ya, Bu. Ibu jangan lupa makan... jaga kesehatan.”


Sekilas, kalimat itu terdengar seperti pamit biasa. Tapi tidak untuk Sari. Pamit itu adalah salam perpisahan, bukan hanya untuk malam ini, melainkan untuk selamanya. Ia berpamitan pada sebuah rumah, pada seseorang yang selama ini ia sebut keluarga, pada sepotong kehidupan yang sudah tak lagi memberinya tempat aman.


Sang ibu mengangguk berat. Ia mengantarkan Sari hingga ke teras, menahan tangis yang tiba-tiba ingin pecah. Wanita muda itu berdiri tegak, meski sorot matanya menunjukkan luka yang menganga. Tak lama, ojek online yang ia pesan tiba. Sari melangkah pelan, menaiki motor itu tanpa banyak kata. Ia tak menoleh ke belakang. Tak lagi. Motor itu melaju, membawa Sari pergi, menghilang di tikungan jalan, meninggalkan ibu mertuanya yang memandang punggungnya hingga lenyap ditelan kelam.


Sesampainya di rumah yang selama ini ia tempati bersama Fery, Sari berdiri di ambang pintu. Sunyi. Ia membuka pintu pelan, seolah takut mengganggu kesunyian yang mendadak terasa asing. Rumah itu kini bagai kuburan tanpa nisan—dingin, kosong, dan lebih menyakitkan. Bau parfum Fery yang biasa memenuhi udara, kini seperti racun yang menusuk-nusuk hatinya.


Sari melangkah ke kamar mereka. Masih rapi, seperti saat terakhir ia tinggalkan. Ia mendekat ke ranjang, duduk di tepinya. Tangannya mengusap seprai, lalu menarik napas yang berat.


Pelan-pelan ia membuka lemari pakaian. Tangannya gemetar. Satu per satu bajunya ia ambil, dilipat dengan rapi. Tidak banyak. Ia hanya membawa apa yang ia butuhkan. Setiap lipatan baju itu, diiringi isak tertahan. Air matanya menetes, jatuh di sela-sela pakaian yang telah ia lipat.


Tangannya kemudian mengusap perutnya yang sudah membesar. Ada gerakan lembut di sana. Seolah janin kecil itu merespons kegundahan ibunya.


“Maafin Ibu, Nak... Ibu pisahin kamu dari ayahmu...” suaranya pecah, serak, nyaris tak terdengar.


“Tapi Ibu janji... Ibu yang bakal jagain kamu. Ibu yang bakal jadi rumah buat kamu.”


Sari menarik napas panjang. Ia mengambil baju-baju bayi mungil yang pernah ia beli diam-diam. Baru beberapa potong. Masih ada labelnya, belum sempat dicuci. Ia lipat satu per satu dengan hati-hati, lalu memasukkan ke dalam tas kecil. Jemarinya bergetar hebat.


Setelah semua selesai, Sari duduk di depan meja kecil di sudut kamar. Ia membuka laci, mengeluarkan selembar kertas dan pulpen. Ia mulai menulis. Setiap kata adalah luka yang mengalir lewat ujung pena. Tangannya lelah, tubuhnya lelah, hatinya lebih-lebih lagi. Tapi ia tetap menulis hingga titik terakhir.


Setelah selesai, ia letakkan surat itu di atas meja rias, tepat di depan cermin—cermin yang dulu selalu menjadi saksi tatapan Fery yang dingin saat menilai dirinya.


Tangannya mengusap kaca cermin itu perlahan.


“Sampai di sini,” gumamnya.


Ia meraih tas, menggantungkan di bahunya. Sebelum benar-benar pergi, Sari menoleh sekali lagi ke seluruh sudut rumah itu. Rumah yang dulu ia kira ada cinta dan impian, kini tak lagi menjadi tempatnya kembali.


“Selamat tinggal, Mas Fery...”


Sari menatap lekat ruangan kosong di hadapannya, seolah sosok itu masih berdiri di sana, menatap balik dengan tatapan dingin yang dulu pernah membuat hatinya remuk. Udara di sekitar terasa berat, seperti menahan setiap tarikan napasnya.


Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir sisa-sisa kenangan buruk yang menggantung di dinding rumah itu. Tangannya mengepal erat di sisi tubuh, sementara perutnya yang membuncit perlahan diusap, memberi dirinya kekuatan terakhir.


“…semoga kau bahagia selalu… dengan istri barumu.”


Suara itu keluar lirih, namun ada ketegasan yang merambat dalam setiap katanya. Bukan lagi luka yang berbicara, tapi tekad untuk melepaskan. Ia menunduk sejenak, menahan gemetar di bibirnya, lalu berbalik tanpa ragu.


Langkah kakinya mantap menuju pintu. Tidak ada lagi keraguan. Tidak ada lagi penantian. Hanya ada kepergian yang ia pilih demi dirinya dan buah hati di dalam kandungannya. Namun, sebelum pintu itu tertutup rapat, Sari sempat melirik sekali lagi, mengukir senyum samar penuh getir. Daun pintu menutup perlahan… namun baginya, itulah suara paling lantang—tanda bahwa ia takkan pernah kembali.


“Aku pergi, Mas...” bisiknya dalam hati.


BERSAMBUNG...


Selengkapnya di aplikasi KB M app 


Judul : Istri Tanpa Cinta 

Penulis : Yuliana


#cerbungkbm #novelonlen

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Istri tanpa cinta "

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel