SETELAH IBU PERGI

SETELAH IBU PERGI

Baca cerita selanjutnya DISINI 
                                                    ⬆️⬆️
Perhatian: klik 3 atau 5 kali untuk melewati iklan

 SETELAH IBU PERGI


Penulis: Seruni Baskoro 


Saat Edi dan Yuda datang ke Desanya Sundari dengan membawa bibit pohon andong merah untuk ditanam di pekarangan rumahnya yang lama, semua warga tampak emosi pada Edi. Sebab itu pertama kali warga desa melihat Edi sejak dulu mereka diusir dan kabur dari desa sebelum rumahnya dijarah dan dibakar warga desa. 


Memang beberapa hari lalu Edi datang ke desa itu untuk membuat nisan dari semen pada kuburan abu jasadnya Sundari yang dulu dikremasi dan dikubur di pekarangan rumah itu. Namun tak ada warga yang tahu, selain Pak RT dan Kepada Desa.  


"Edi, tolonglah bongkar saja rumahmu itu biar ndak jadi sarang setan dan meneror warga desa yang melintas di sekitar rumahmu itu. Tak hanya meneror, tapi setiap ada yang melihat setan di rumahmu itu pasti langsung sakit lalu mati!" ucap Pak Warno dengan sinis, lalu para warga ikut berteriak-teriak menyuruh bongkar bangunan rumah tingkat dua itu.


"Maaf Pak Warno, jika saja rumah itu bisa dirobohkan atau dibongkar, tentu sudah kami robohkan dan kami bongkar sejak dulu," jawab Edi dengan tenang.


"Gara-gara bojomu cari pesugihan sih, jadinya desa ini kena sialnya!" ucap salah satu warga dengan ketus.


"Iyo… Ndak cuma sedesa ini kena sialnya, tapi dulu empat warga desa ini sudah dijadikan tumbal pesugihan bojomu loh, belum lagi warga desa yang meninggal setelah melihat setan di bekas rumahmu itu!" sahut Bu Warno menyambung ucapan suaminya dengan sewot.


"Maaf Ibu-ibu dan Bapak-bapak. Apa sebenarnya selama ini kalian tidak sadar juga dengan kesalahan kalian semua? Dulu saat Sundari miskin dan hidup sengsara, apa ada dari kalian yang membantunya? Apa ada dari kalian yang sedikit bersimpati padanya? Tidak ada kan? Bahkan setiap saat kalian semua justru selalu menghina kemiskinan kami dan kadang mengejek dan mencaci kami!"


"Maaf jika iman Sundari sangat tipis saat itu, hingga akhirnya dia mencari pesugihan agar hidupnya tidak miskin lagi, agar kalian semua tidak menghina, mengejek dan mencacinya lagi. Maaf juga jika Sundari akhirnya dendam pada kalian semuanya, karena dari segala perbuatan kalianlah yang juga mendorong Sundari untuk cari pesugihan. Bahkan saat Sundari sudah kaya pun kalian juga menyerang dan merusak serta menjarah rumahnya ketika tahu Sundari punya pesugihan. Tindakan kalian itu sebenarnya tidaklah manusiawi!"


"Karena tindakan kalian itulah hingga akhir hayatnya pun Sundari masih menyimpan dendam pada semua warga desa ini yang sudah membuatnya seperti itu. Jadi dari sini kita tahu bahwa tidak akan ada asap jika tidak ada api. Jika apinya dari warga desa, kalau asapnya pun kembali lagi pada warga, anggap saja itu adalah timbal balik!" ucap Edi dengan lantang namun menyimpan banyak kesedihan, kedukaan, dan penyesalan mengingat semua yang terjadi pada keluarganya.


Mendengar ucapan Edi itu, sebagian warga terdiam, bahkan sebagian menunduk malu, lalu saling berbisik seolah memang membenarkan ucapan Edi saat itu. Tapi sebagian masih tetap sinis menatap Edi.


"Apa yang diucapkan Mas Edi itu memang ada benarnya meskipun sebenarnya itu juga salah. Tapi memang benar, saat Mbak Sundari miskin saya lihat semua warga desa ini tak ada yang simpati, bahkan terkesan menghina. Jadi saya sebagai Ketua RT baru di desa ini meminta maaf sedalam-dalamnya atas perlakuan warga saya dulu pada keluarga sampean, Mas Edi!" ucap Pak RT, yang RT kini memang bukanlah RT dulu saat Sundari masih tinggal di desa itu.


"Saya sudah memaafkan semuanya, Pak. Begitu pun saya juga meminta maaf atas apa yang terjadi dan atas kelakuan istri saya di masa lalu itu. Saya pun sudah berkali-kali mencoba merobohkan rumah itu agar tak jadi sarang lelembut, tapi memang tidak bisa." ucap Edi lalu menghela napas panjang.


"Menurut seseorang yang konon tahu, kelemahan makhluk yang bersemayam di rumah itu sebenarnya adalah pohon andong merah. Jika pekarangan itu banyak ditumbuhi pohon andong merah, mereka akan pergi sendiri. Dan hari ini saya serta ponakan saya datang ke desa ini membawa bibit pohon andong merah itu, karena kemarin jujur kami memang kesulitan mencari bibitnya. Alhamdulillah sekarang kami bawa banyak bibit pohon itu!"


"Semoga dengan ditanamnya pohon andong merah mengelilingi pekarangan ini dan seiring tumbuhnya pohon itu dengan subur, nanti makhluk-makhluk itu pun pergi dengan sendirinya," ucap Edi dengan serius dan memohon maaf dengan tulus, membuat semua warga mulai mengerti niat baik Edi.


"Kami akan membantu menanam pohon andong merah itu, Mas!" ucap salah satu warga yang diikuti anggukan dan kesiapan dari warga lain.


"Terima kasih, Mas, tapi saya mohon saat nanam pohon itu usahakan badan kalian semua di luar pekarangan ya, Mas. Jangan sampai masuk ke dalam pekarangan. Saya takutnya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan!" sahut Edi sambil tersenyum.


"Le Yuda, ayo kita keluarkan bibit andongnya dari bagasi!" ajak Edi sambil menepuk bahu Yuda yang sedari tadi fokus pada keramaian warga.


"Njeh, De, monggo!" balas Yuda sambil buru-buru ke mobilnya lalu membuka bagasi yang sudah penuh dengan batang-batang pohon andong merah itu.


Segera para warga bergotong royong membawa batang-batang pohon andong merah itu lalu menancapkannya mengelilingi pekarangan milik keluarga Edi dengan jarak satu meter per pohon sambil mengucap Asma Allah dan tetap berusaha badan mereka berada di luar pekarangan.


Saat Edi dan Yuda menanam pohon tepat di belakang rumah, berhadapan langsung dengan pintu dapur, Edi menatap samar-samar seperti wajah Sundari yang bersisik sedang menatapnya dari balik kaca jendela berwarna hitam dan berdebu. Sejenak mata Edi dan Sundari bertatapan.


"Maafkan Bapak, Buk. Bapak akan terus berusaha dan berdoa agar Ibuk bisa lepas dari iblis itu, meskipun itu sulit karena Ibuk sendirilah yang mengikat perjanjian dan pengabdian itu," batin Edi sambil terus menatap Sundari yang juga menatapnya dengan tatapan sayu dari balik kaca riben jendela dapur.


"Pakde kenapa?" tanya Yuda yang penasaran karena melihat Edi bengong dengan tatapan lurus ke jendela dapur. Lalu Yuda pun ikut menatap jendela dapur itu dan memperhatikan dengan saksama bahwa di balik kaca gelap dan berdebu di jendela dapur itu memang ada sepasang mata yang memperhatikannya juga Edi.


"Assalamualaikum Bulek Sundari, maafkan kami jika kami harus melakukan ini. Ini semua demi kebaikan kita semuanya, Bulek, agar semua kembali normal seperti semula lagi!" ucap Yuda lirih sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada, seolah memberi salam pada Sundari yang kini hanya sebatas arwah bersujud ular dan berkepala manusia.


"Ayo Pakde, sebentar lagi semua ini selesai dan kita bisa pulang!" ajak Yuda sambil menarik dan menuntun tangan Edi menjauh dari tempat itu.


Sementara itu Anggi yang menengok rumah siang itu untuk mengirim makan siang buat Bapaknya merasa cemas karena Bapaknya belum juga pulang, padahal pergi dari kemarin.


"Bapak ke mana lagi ya? Apa masih di pesantren Mas Yanto atau masih di rumah Mbak Dewi? Dari kemarin pagi sampai ini sudah jam dua siang gini kok belum pulang ya!" batin Anggi sangat cemas lalu meraih gagang telepon di ruang tamu kemudian menelepon Dewi.


"Halo Mbak Dewi, apa sekarang Bapak masih di rumah Mbak Dewi?" tanya Anggi lewat telepon tanpa basa-basi.


"Ini Dek Anggi, yo?" tanya Dewi dari telepon.


"Iya Mbak Dewi, ini Anggi!"


"Kamu ini Dek, mbok biasain kalau telepon itu pakai salam dulu gitu biar ndak bikin kaget!" tegur Dewi sedikit menasihati Anggi.


"Maaf Mbak, Anggi sedang panik ini, soalnya dari kemarin pagi Bapak belum pulang, Mbak!" jawab Anggi lirih.


"Pakde semalam nginep di sini, Dek. Sepulang dari pesantren kan sudah malam, jadi nginep di sini. Terus tadi pagi cari pohon andong merah banyak banget, katanya untuk ditanam di pekarangan rumah yang di desa, Dek. Sekarang Pakde sama Mas Yuda pergi ke desamu itu untuk menanam pohon andong merah di sekeliling pekarangan!" jawab Dewi dengan jelas.


"Apa? Nanam pohon andong merah di pekarangan rumah itu, Mbak?" tanya Anggi sedikit kaget.


"Iyo Dek, soalnya mumpung ini Mas Yuda masih libur kerjanya. Nanti kalau Mas Yuda sudah kerja, belum tentu bisa bantu Pakde loh, Dek!" jawab Dewi dengan santai membuat Anggi justru merasa takut.


"Aku ndak mau Ibuk pergi dari rumah itu. Kalau Ibu dibawa ke istananya Kanjeng Ratu, Ibu bisa jadi budak dan disiksa di sana!" batin Anggi mulai cemas.


"Ya sudah Mbak, nanti kalau Bapak sudah balik, tolong bilangin Anggi telepon gitu ya, Mbak!"


"Iya Dek, kamu jaga kesehatan selalu ya, Dek. Assalamualaikum!"


"Iya Mbak, waalaikumsalam," balas Anggi lalu menutup teleponnya.


"Kalau pohon-pohon andong merah itu sampai tumbuh, pasti Ibuk dan pesugihannya akan pergi dari rumah dan pekarangan itu, lalu Ibuk dibawa ke Segoro Kidul. Aku ndak mau Ibuk dibawa ke istana Kanjeng Ratu, lalu disiksa dan diperbudak, tak apa arwah Ibuk terpenjara bersama pesugihannya di rumah itu, daripada jadi budak di Segoro Kidul!" batin Anggi begitu cemas.


"Meskipun Ibuk jadi budak pesugihannya di rumah itu, tapi setidaknya Ibuk nyaman di sana, di rumahnya sendiri, tidak disiksa seperti para budak Kanjeng Ratu. Aku harus bagaimana ini?" batin Anggi sambil mondar-mandir di ruang tamu rumahnya itu.


"Malam ini juga aku harus mencabuti pohon andong yang ditanam Bapak dan Mas Yuda hari ini, agar Ibuk tetap berada di rumah itu!" batin Anggi dengan yakin, lalu segera keluar dari rumah dengan tergesa-gesa menuju mobilnya.


Beranikah malam-malam Anggi mendatangi pekarangan rumah lamanya di desa yang begitu angker dan kerap mencari tumbal nyawa manusia yang masuk pekarangan. Dan mampukah Anggi mencabuti sendiri semua tanaman andong merah yang baru ditanam mengelilingi pekarangan rumahnya dalam semalam? Baca kelanjutannya di link ini 👇👇


Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "SETELAH IBU PERGI"

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel