SECENTONG NASI DARI IBUKU
Aku hanya meminta segenggam beras pada ibuku namun yang diberikan ibuku padaku hanyalah...
🍂
Part 1. Beras Terakhir
“Mas, beras tinggal segenggam. Besok malam sudah mulai sahur, apa ada u a ng untuk beli beras?”
Dengan wajah melas, Gendhis meminta u ang kepada suaminya yang sedang duduk di kursi kayu, di rumah sederhana mereka yang hampir mirip gubuk.
Sebuah rumah kayu yang dibangun oleh suaminya sendiri beberapa hari setelah mereka menikah, delapan tahun silam. Rumah kayu yang kini atapnya sering bocor. Tentu saja, atap yang terbuat dari tumpukan jerami itu kerapkali bo cor karena hujan lebat.
Dinding yang terbuat dari anyaman bambu juga mulai menggelembung, bahkan saat malam hari terasa dingin karena angin bisa menyusup di sela-sela dinding.
“Wak Wadak belum ngasih u pah hari ini, pengepul batu kali gak jadi datang. Besok kemungkinan akan datang, tunggu saja ya, Dek,” ucap Ramlan, suami Gendhis dengan wajah sendu.
Setiap hari, Ramlan bekerja sebagai pencari batu kali di desanya. Ia bersama teman-teman di desanya pergi dari pagi hingga menjelang siang untuk mengumpulkan batu di bantaran sungai Desa Ngaliduwih.
Menyusuri di sepanjang bantaran sungai, mengambil sebongkah batu berukuran besar dan memecahnya dengan menggunakan palu berukuran raksasa.
Tubuh kekar, warna kulit menghitam dengan telapak tangan yang me le puh sudah menjadi makanan sehari-hari bagi mereka yang mendapatkan uang dengan cara mencari batu kali.
“Apa u p ah minggu lalu juga masih belum dibayarkan, Mas?” tanya Gendhis lagi karena mengingat sudah seminggu suaminya belum memberinya u a ng sepeserpun karena belum diberi u pah oleh Wak Wadak.
“Belum, Dek. Kata Wak Wadak, besok kalau gak besok lusa baru dibayarkan karena menunggu pengepul datang. Besok aku akan mencoba mencabut rumput di kebun Pak Kaji, sepertinya kebun milik Pak Kaji sudah dipenuhi rumput gajah. Besok pagi setelah Subuh aku akan menemuinya, setidaknya aku bisa diberi u pah untuk membeli beras atau lauk untuk makan sayur besok malam,” ucap Ramlan.
“Semoga saja, ya Mas. Meski sedikit tapi setidaknya kita ada u a ng untuk pegangan,” ucap Gendhis sambil berdoa dalam hati, berharap besok suaminya diberi jalan rejeki lain.
“Atau bagaimana kalau kamu minta Ibumu beras?” saran Ramlan.
Gendhis terdiam seketika, hal yang paling ia takutkan adalah harus meminta bantuan kepada orang tuanya sendiri meski hanya meminta secanting beras.
Bagaimana bisa ia meminta beras pada orang tuanya, apalagi Ibunya sangat membenci Ramlan, menantu yang tidak pernah diharapkan oleh keluarganya untuk mendampingi hidupnya.
“Aku takut, Mas,” ucap Gendhis lirih.
“Aku saja yang minta, hanya beras tapi nanti saja kalau misalnya aku tidak berhasil mendapatkan uang yang cukup. Semoga saja besok Pak Kaji mau mempekerjakanku sebagai pencabut rumput di kebunnya,” ucap Ramlan.
Sepasang suami istri itu membisu, menyelami pikirannya masing-masing. Ramlan memikirkan bagaimana cara agar besok bisa mendapatkan u a ng untuk makan istri dan anaknya, apalagi besok malam sudah harus sahur di Ramadhan pertama.
Sedangkan Gendhis merenungi nasibnya, bukan, bukan karena ia menyesali pernikahannya dengan Ramlan namun ia bersedih karena Ibunya tidak pernah menyetujui pernikahannya dengan Ramlan dulu.
Jika tidak karena Ayah Gendhis menyetujui hubungan mereka, Gendhis tidak mungkin bisa menikah dengan Ramlan, laki-laki yang berani memperjuangkannya sampai di pelaminan.
Gendhis bangkit dari tempat ia duduk, ia melangkah gontai menuju dapur. Langkahnya berhenti di depan daringan, seperti gentong yang berukuran kecil, tempat untuk menyimpan beras.
“Hanya cukup untuk bikin bubur buat besok,” ucapnya lirih.
Ia teringat dengan tanaman singkong yang tumbuh subur di halaman belakang rumahnya, sepertinya sudah penuh dengan umbi yang bisa ia gunakan untuk masak esok hari.
“Besok bikin singkong rebus aja sepertinya, berasnya bisa dipakai untuk sahur. Tapi lauknya pakai apa? Duh Gusti, paringi jalan keluar,” ucap Gendhis, bermonolog dengan dirinya sendiri.
🍂
Pagi-pagi buta, Gendhis bergegas menuju halaman belakang untuk mencabut singkong. Ia memutuskan untuk membuat sarapan singkong rebus pagi ini. Wajahnya berseri ketika ia berhasil mencabut satu pohon singkong dengan umbi yang cukup besar.
“Kamu ngapain, Dek?” tanya Ramlan.
“Aku nyabut singkong, Mas. Lihat singkongnya besar-besar, kita bisa makan singkong rebus pagi ini. Daunnya bisa aku masak tumis, kita bisa makan cukup hari ini,” seru Gendhis dengan girang.
“Alhamdulillah, sini aku bersihkan dulu singkongnya. Kamu siapkan dandang untuk masak singkongnya, semoga Faisal mau ya, Dek,” ucap Ramlan, berharap anak semata wayangnya yang berumur tujuh tahun juga mau makan singkong rebus.
“Mau kok, Mas. Faisal mau makan apapun yang aku masak,” ucap Gendhis.
Saat Gendhis menghidangkan singkong rebus di meja makan lengkap dengan tumis daun singkong, Faisal menatap makanan buatan Ibunya dengan dahi mengernyit.
“Apa Ayah tidak punya u ang hari ini, Bu?” tanya Faisal menatap wajah Ibunya dengan iba.
“Maaf ya, Le. Hari ini kita makan singkong rebus dulu, berasnya dimasak buat sahur besok. Hari ini Ayah akan berusaha nyari tambahan biar kita bisa beli lauk, biar kamu kuat puasanya,” jelas Gendhis berusaha tetap tersenyum.
“Hari ini Ayah mau ke Pak Kaji, mau nyari kerjaan tambahan buat nyabut rumput gajah. Siapa tahu rumput gajahnya bisa dikasihkan ke Ayah dan bisa dijual ke peternak sapi,” celetuk Ramlan sambil mengelus rambut Faisal.
“Aku boleh ikut? Mau bantu Ayah buat kerja, biar dapat uang lebih banyak,” pinta Faisal sambil menarik ujung kemeja Ayahnya.
“Kamu kan harus sekolah, ingat kamu sudah kelas satu dan harus banyak belajar,” cegah Gendhis.
“Apa aku gak usah sekolah saja ya, Bu? Biar bisa bantu Ayah nyari u a ng,” ujar Faisal dengan polosnya.
“Loh, justru kamu harus sekolah karena sekolah itu gratis, kamu harus pintar agar bisa mengangkat derajat Ibu dan Ayahmu. Tugasmu adalah belajar, kita makan seadanya dulu ya. Singkong juga termasuk karbohidrat pengganti nasi, sudah lengkap sama sayur juga. Kamu makan yang banyak biar besok bisa puasa dengan keadaan yang sehat dan kuat,” ucap Ramlan berusaha menyemangati anak semata wayangnya.
Faisal hanya mengangguk lalu duduk di kursi dan mengambil satu potong singkong rebus serta melahapnya.
“Alhamdulillah,” ucap Gendhis dalam hati, ia bersyukur memiliki anak laki-laki yang tidak banyak menuntut dalam hal makanan.
“Nanti malam aku mau ke rumah Ibu, siapa tahu Ibu mau ngasih beras meski hanya segenggam,” ucap Gendhis pada Ramlan.
“Apa kamu yakin, Dek? Aku coba cari uang dulu hari ini, kalau gak dapat baru kamu ke Ibu,” ujar Ramlan ragu.
“Tenang aja, Mas. Aku bisa nemuin Ayah, setidaknya kalau Ibu gak mau ngasih beras, Ayah pasti mau bantu kita,” jawab Gendhis.
“Kita sudah sering merepotkan Ayah, seringkali Ayah memberi kita u ang tapi…” ucapan Ramlan menggantung ketika ia ingat kejadian beberapa minggu yang lalu.
Saat itu Ramlan bertemu dengan Ayah mertuanya di jalan dan ia diberi u ang seratus ri bu ru piah namun sialnya uang terjatuh saat ia mencari batu di sungai.
“Sudah, jangan dipikirkan kejadian itu. Memang belum rejeki kita, nanti pasti akan diganti dengan rejeki yang lebih baik lagi,” ujar Gendhis sambil menepuk-nepuk pundak suaminya.
“Ya sudah, gak ada gunanya meratapi nasib. Sekarang aku mau ke Pak Kaji, mau nyari
u a ng. Do'akan ya, Dek!” seru Ramlan dengan segurat semangat di wajahnya.
“Pasti, Mas. Semoga dapat rejeki berlimpah hari ini,” ucap Gendhis.
Ramlan memutuskan untuk pergi ke rumah Pak Kaji, berharap ada kerjaan yang bisa ia garap pagi ini. Dengan langkah cepat dan penuh semangat, Ramlan menyusuri jalan setapak yang menghubungkan rumahnya dengan jalan utama di desa ini.
Rumah Pak Kaji tidak jauh dari rumahnya, hanya sekitar dua ratus meter ia bisa sampai di depan sebuah rumah gedhong yang cukup besar. Rumah yang beraksen kuno dengan ukiran kayu jati di bagian depan serta berbagai macam jenis pohon seperti mangga, belimbing dan kelengkeng berjajar rapi di halaman rumahnya.
Tentu saja, karena Pak Kaji terkenal dengan sebutan Tuan Tanah di desanya. Sawah yang ia miliki berhektar-hektar dan kebun durian yang sangat luas.
“Assalamu'alaikum, Pak Kaji!” seru Ramlan.
“Wa'alaikum Salam!” sayup-sayup terdengar sahutan dari dalam rumah yang cukup besar itu.
“Loh, ada apa kamu pagi-pagi begini ke rumah, Ram?” tanya Pak Kaji tergopoh-gopoh menghampiri Ramlan.
“Maaf Pak Kaji, saya kesini mau… anu,” jawab Ramlan dengan malu-malu.
“Ada apa, Ram?” tanya Pak Kaji penasaran.
“Apa Pak Kaji butuh orang untuk babat suket (bersih-bersih rumput) di kebun?” tanya Ramlan dengan hati-hati.
“Owalah, kamu mau ngarit di kebunku? Tapi gimana ya, barusan aku sudah nyuruh Pak Jawar buat ngarit disana, jadi maaf ya, Ram,” jawab Pak Kaji merasa tidak enak karena menolak Ramlan.
“Oh, gak apa-apa Pak Kaji. Kalau begitu saya pamit, terimakasih banyak,” ucap Ramlan undur diri.
“Siapa, Bah?” tiba-tiba Bu Kaji muncul dari balik punggung Pak Kaji.
“Ramlan gitu loh, Mi. Masak lupa sama tetangga sendiri, dia mau ngarit di kebun kita tapi aku sudah nyuruh Pak Jawar buat ngarit,” jawab Pak Kaji.
“Kasihan ya, si Ramlan itu. Hidupnya semakin susah saja semenjak menikah dengan Gendhis,” celetuk Bu Kaji.
“Apa maksudnya, Mi?” tanya Pak Kaji.
“Ya pernikahan mereka kan gak dapat restu, padahal si Ramlan itu… .” ucapan Bu Kaji menggantung.
“Ramlan kenapa memangnya, Mi?”
💕pf KBM A-p-p
Judul :
SECENTONG NASI DARI IBUKU
Penulis :
Noviyanti
Mohon dukungannya dengan rate bintang 5 ya gaes... 😘
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "SECENTONG NASI DARI IBUKU"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker