Bapak meninggalkan kami setelah ia menikah lagi. Ia juga membuat kamu terusir dari rumah peninggalan ibu. Setelah kami dewasa, ia datang dan berkata.
"Rawat Bapak, Bapak sudah tua."
Maaf, Bapak sudah ma ti setelah membuat kami hampir mati kelaparan
Bab 11 spoiler
Hari ini Bang Diki berjanji kepada adik-adikku. Ia akan membawa kami ke taman bermain.
"Apa kalian sudah siap?" tanya Bang Diki turun dari tangga.
Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, aku dan adikku tidur di kamar belakang. Nenek tak mengizinkan kami tidur di lantai atas.
Tak masalah kami tidur di atas atau bawah. Bukankah selama ini sudah terbiasa tidur di mana saja. Asalkan aman.
Hari ini Bang Diki tampak berbeda, ia tak kumal atau urakkan. Pakaiannya bersih, rapi dan juga aroma tubuhnya wangi. Aku sampai terpesona. Hingga pria itu menepuk bahuku.
"Shanum, kamu kenapa? Kok begong? Kamu terpesona sama Abang?" Bang Diki terkekeh. Wajahku langsung merah padam. Ah, kenapa pikiranku ke mana-mana.
"Ehm, enggak. Siapa yang terpesona. Abang GeEr banget. Aku cuma ...."
"Naksir?" potong Bang Diki diiringi tawa yang renyah.
"Ih, apaan coba?" Aku berpura-pura kesal, menutupi degub di dalam dada.
Beberapa hari ini Bang Diki selalu di rumah. Ia hanya pergi sebentar jika ada yang menghubunginya saja lalu langsung kembali dengan membawa aneka makanan kadang mainan untuk adikku.
Sedangkan Neneknya Bang Diki, Maya namanya entah ke mana wanita tua itu tak terlihat lagi.
"Ayo kita pergi!"
"Tapi ... Abang gak malu jalan dengan kami?" tanyaku tak percaya diri. Penampilan kami sudah berbeda bagai langit dan bumi.
"Ngapain malu. Kamu makan nasi juga sama kayak Abang. Kecuali makan rumput suaranya mbek mbek. Masa di bawa ke mall." Bang Diki menjawil daguku menirukan suara kambing.
"Sini, Tabita sama Abang."
Bang Diki memaksa kami untuk masuk ke mobil mewahnya. Aku tertegun sejenak.
"Bang, kenapa tak pakai mobil kemarin saja?" Aku ragu dan cemas. Apalagi mobil ini sangat mewah dan pasti harganya mahal. Bagaimana kalau kotor atau terjadi dengan mobil ini. Nenek bisa marah.
"Mobil kemarin punya teman Abang. Sudah dikembalikan. Pakai mobil yang ada saja." Bang Diki meletakkan Tabita di belakang bersama Bagas. "Kamu duduk di depan sama Talita."
"Tapi, Bang. Kalau kami mabok di jalan bagaimana? Nenek pasti marah. Mobilnya kotor. Kami ini orang kampung yang tak pernah naik mobil bagus begini."
"Tenang aja. Abang sudah siapkan kantung kresek dan ini." Ia menunjukkan obat anti mabok dan koyo untuk menutupi pusar kami. Ibu juga sering melakukan hal itu. Dari mana Bang Diki tahu.
Si kembar tampak senang. Ia menatap jendela tak berkedip. Jalan-jalan pertamanya setelah tiga tahun lahir ke dunia.
Mereka juga berceloteh ria dan Bang Diki menyambut celotehnya bahagia. Aku menatap pemuda yang selama ini membantuku walau aku tahu hanya sesaat. Bisakah waktu diputar kembali agar kami merasakan kebahagiaan ini lebih lama.
Dua minggu berlalu, Bang Diki memanggilku untuk ke ruang tamu. Sepertinya ada hal yang penting.
"Shanum. Abang minta maaf kalau selama ini Abang salah."
"Salah apa? Abang tak pernah salah. Justru aku yang selalu merepotkan. Abang tak perlu minta maaf."
Bang Diki seperti kesulitan untuk berkata. Ia lebih membuang muka dan netranya mengembun.
"Bang." Kupanggil namanya lembut.
"Lusa Abang akan pergi ke London untuk membantu Nenek di sana. Abang tak bisa menemani kalian lagi dan ...."
Aku menunggu pemuda itu melanjutkan perkataannya. Tak sabaran akhirnya aku bertanya.
"Dan apa, Bang?"
"Rumah ini akan dijual Nenek karena beliau tak butuh lagi." Suara Bang Diki pelan, tapi jelas.
Ya Allah baru saja aku merasakan kebahagiaan. Apakah aku tak boleh bahagia?
Bersambung
Baca selengkapnya di KBM
Judul : Setelah 100 Hari Ibu
Penulis ; Bellez LTF
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Setelah 100 hari ibu"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker