Aku iseng mengatakan pada calon istriku bahwa aku di-phk dan hendak jualan gorengan saja. Tak kusangka dia marah sampai menghina dan merendahkanku. Juga malah menyuruhku untuk menikahi adiknya saja yang hanya penjaga toko. Menurutnya kami lebih selevel karena sama-sama punya pekerjaan rendahan.
Kuturuti maunya. Kunikahi adiknya. Jangan menyesal kalau tahu aku siapa.
***
"Aku mau pernikahanku dibatalkan, Buk."
Pulang-pulang Mbak Mila tiba-tiba minta pernikahannya dibatalkan.
"Loh? Kenapa, Mila? Pernikahan kamu tinggal seminggu lagi, lho. Undangan juga sudah disebar." Ibu yang sedang mencuci piring sampai menghentikan pekerjaannya.
"Apa gunanya dilanjutkan, Buk? Mas Andreas sekarang pengangguran. Mau makan apa nanti aku kalau nikah sama dia? Belum lagi cicilan rumahnya belum lunas. Masa aku yang musti bayar? Ogah banget." Mbak Mila melepas sepatu kerjanya. Dia bekerja di sebuah bank swasta. Katanya jadi teller, dia dan orang tuaku sangat membanggakan pekerjaannya.
Berbeda denganku yang hanya bekerja di sebuah toko accesories. Gajiku sebenarnya lebih besar dari kakakku. Hanya saja mereka tidak tahu dan tidak mau tahu. Aku juga enggan menjelaskan. Intinya, menurut orang tuaku, pekerjaan kakakku jauh lebih bergengsi daripada pekerjaanku yang dianggap sepele dan rendahan.
"Andreas dipecat?"
"Iya, Buk. Sudah seminggu Mas Andreas nganggur." Bibir Mbak Mila muncu-muncu.
"Tapi 'kan Andreas sarjana, Mil. Pengalaman kerjanya juga bagus. Pasti gampang dia mendapatkan pekerjaan baru."
"Masalahnya Mas Andreas nggak mau cari kerja, Buk. Dia katanya mau jualan gorengan. Iyuh ... masa pegawai bank punya suami tukang gorengan. Malu lah, Buk aku sama temen-temenku nanti."
"Lah tapi undangan sudah disebar, Mil." Ibu nampak kebingungan.
"Hanum aja suruh gantiin aku, Buk. Aku pokoknya nggak mau. Najis banget punya suami tukang gorengan." Mbak Mila membanting pintu kamarnya. Ibu yang masih kebingungan menyusul kakakku ke kamarnya.
Aku yang sedang menggoreng pisang jelas kaget namaku dibawa-bawa.
"Mbakmu kenapa, Num?" tanya bapak yang baru pulang kondangan dari tetangga. Mungkin suara ribut Mbak Mila terdengar sampai di luar.
Aku hanya mengangkat bahu. Bapak tak bertanya lagi dan menyusul ke kamar kakakku.
Di rumah ini aku jarang sekali bicara. Paling satu dua patah kata saja. Sedari kecil suaraku selalu tak dianggap. Itu sebabnya aku memilih untuk bicara seperlunya saja.
"Kata mbakmu kamu mecahin gelas doraemonnya, Num." Waktu itu usiaku baru tujuh tahun.
"Nggak, Buk. Mbak Mila sendiri yang mecahin gelasnya." Aku melihat sendiri kakakku tak sengaja menyenggol gelas kesayangannya hingga hancur berkeping-keping. Tapi demi mendapatkan ganti baru, dia memakai namaku untuk menutupi kesalahannya.
"Halah kamu ini nggak ngaku. Mbakmu itu alus, nggak pecicilan kaya kamu."
Atau pernah ...
"Num. Kamu ngambil es krimnya mbakmu?" Kali ini bapak.
"Nggak, Pak." Bapak hanya beli es krim untuk mbak Mila. Padahal aku juga anaknya. Pas aku minta. Aku dimintanya untuk jadi juara kelas seperti kakakku supaya bisa dapat es krim juga.
"Terus yang ngambil siapa kalau bukan kamu? Yang tadi nangis kejer pengen es 'kan kamu." Bapak tak percaya sanggahanku.
"Tapi aku benar-benar nggak ngambil, Pak." Aku hampir menangis. Kakakku sangat rese, dia selalu mengerjaiku. Masalahnya orang tuaku percaya saja pada tuduhannya. Hanya karena Mbak Mila selalu juara kelas. Belum lagi selalu juara ketika diikutkan lomba-lomba. Entah modeling atau lomba apapun. Kakakku selalu menang. Dia seperti terlahir dengan banyak bakat di hidupnya.
Sementara otakku di tengah-tengah. Tidak pintar, tapi juga tidak bodoh. Tapi jangankan juara kelas, masuk sepuluh besar saja belum pernah. Aku selalu rangking sepuluh besar dari belakang.
Intinya kepintaran akademis kakakku membuatnya lebih disayang oleh orang tua kami. Setiap hari, dari kecil sampai sekarang usiaku dua puluh dua tahun. Aku selalu dibanding-bandingkan dengannya dalam hal apapun.
Aku juga tidak dikuliahkan seperti kakakku. Sejak lulus SMA aku bekerja di sebuah toko Accesories handphone di sebuah mall. Gaji pertamaku hanya satu juta lima ratus ribu rupiah. Aku ingat waktu itu kakakku menertawaiku habis-habisan. Saat aku mentraktir keluarga dengan gaji pertama yang aku terima.
"Gaji sejuta lima ratus dapat apa, Num, Num? Cuma habis buat ongkos sama makan doang," remehnya.
"Namanya adik kamu cuma lulusan SMA. Hanum juga nggak pinter-pinter amat waktu sekolah. Yang penting dia bisa ngasih makan perutnya aja ibu udah syukur. Berarti sekarang dia nggak ngerepotin kita lagi, ya, Pak." Bapak mengangguk-angguk. Setuju dengan omongan ibu. Sehina itukah hanya karena aku tidak sepintar Mbak Mila?
Padahal aku sudah berusaha belajar sebaik mungkin. Tapi entahlah, aku tidak pernah bisa setidaknya masuk sepuluh besar di kelasku.
"Ini uang buat ibu." Waktu itu aku berniat memberikan sedikit gajiku untuk menyenangkan ibu. Bagaimanapun aku ingin menjadi anak berbakti. Tapi karena gaji pertamaku masih kecil. Dan aku masih butuh uang bensin. Aku hanya bisa memberi lima ratus ribu saja. Tapi tak kusangka ibu menolak pemberianku.
"Udah kamu simpan aja. Lagian gaji kamu kecil. Buat makan sebulan juga nggak cukup itu."
Sedih sekali aku mendengar jawaban ibu waktu itu. Bahkan niat baikku pun tak mereka terima.
Orang tuaku dua-duanya guru. Mereka kadang suka sekali mempertanyakan kenapa aku ini tidak sepintar mereka? Padahal aku anak guru. Namun otaknya pas-pasan.
Sekarang, setelah enam tahun aku bekerja di toko tersebut. Gajiku naik menjadi sepuluh juta. Aku juga sudah diangkat menjadi kepala toko. Tapi orang tuaku sama sekali tidak tahu. Aku juga enggan memberitahu. Aku sudah trauma dengan berbagai olokan mereka. Biarlah, aku tidak lagi membutuhkan pengakuan. Yang penting sekarang aku bisa berdiri di kakiku sendiri dan tak merepotkan mereka.
***
"Num. Sini. Bapak mau ngomong."
Bapak memanggilku setelah keluar dari kamar mbak Mila. Wajahnya serius. Begitupun dengan ibu. Perasaanku jadi tak enak.
"Ada apa, Pak?" Aku duduk di hadapan mereka.
"Kamu pasti sudah dengar tadi, mbakmu nggak mau melanjutkan pernikahannya." Kali ini ibu yang bicara.
"Terus?" Perasaanku semakin tak enak.
"Kamu gantikan mbakmu di pernikahan nanti, ya."
"Maksud ibu?" Jelas saja aku kaget. Apa-apaan ini?
"Ya kamu gantikan mbakmu untuk menikah dengan Nak Andreas." Bapak yang bicara. Reflek aku menggeleng.
"Mbakmu itu pegawai bank. Apa kata orang nanti kalau dia nikah sama tukang gorengan. Kalau kamu 'kan cuma penjaga toko. Jadi cocok-cocok aja kalau nikah sama tukang gorengan."
Astaghfirullah ...
Sehina itukah pekerjaanku?
Baca selengkapnya di Aplikasi KBM KBM APP
Judul : Pura-Pura di-PHK, Padahal Aku Bosnya
Napen : Brakasena
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Pura-Pura di-PHK, Padahal Aku Bosnya"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker