Part 3 "Kamu yakin mau menikah dengan sa ya? Kamu sudah dengar sendiri, saat ini saya belum bekerja, masih harus melunasi cicilan ru mah dan mo bil. Rencana ke de pan, saya ingin mulai usaha kecil-kecilan j u-al go re ngan."
Aku berusaha jujur dan terbuka. Aku ingin tahu, apakah Ha-num akan seperti kakaknya dan orang tua mereka, yang menilai seseorang dari apa yang dimiliki.
"Saya yakin, Mas. Saya terima Mas Andreas apa adanya," jawabnya dengan tenang dan penuh keyakinan.
"Kamu nggak khawatir kalau hidup kita nanti serba sederhana?"
"Kenapa harus khawatir? Saya juga masih kerja, kok."
"Halah. Gajimu cuma sejuta lima ratus, buat bayar listrik sama wifi aja habis," sahut Ka mila sambil berjalan keluar ka-mar. Sepertinya ia akhirnya mau ikut duduk bersama dalam perbincangan ini. Mungkin dia khawatir kalau tidak ikut, akan terjadi kesepakatan yang tak sesuai harapannya.
"Berapa pun gaji saya, yang penting saya ikhlas. Saya siap menerima Mas Andreas apa adanya. Saya percaya Mas Andreas orang yang bertanggung jawab. Mas punya semangat untuk bekerja dan tidak berp4ngku tangan," Hanum mem be laku.
Meski belum ada rasa cinta padanya, aku tak bisa memungkiri, ucapannya membuatku ka-gum. Dia percaya padaku tanpa merendah kanku.
Namun Kamila malah tertawa. Suaranya keras dan men c o lok, membuat beberapa orang yang hadir jadi salah tingkah. Sang calon ibu mertua bahkan tampak tidak nyaman dan menyenggol Kamila perlahan, mengisyaratkan agar ia menjaga sikap.
"Maaf, Buk. Bukan maksud saya tidak sopan. Tapi lucu saja, katanya menerima apa adanya?" Kamila menahan tawanya.
"Apa yang lucu dari ucapannya?" tanyaku, mencoba tetap tenang meski hatiku mulai terganggu.
"Jawabannya itu loh, Mas. Klise banget. Kayak jawaban wanita yang udah terlalu lama sendiri," sindir Kamila.
"Hanum belum tua, dia adikmu. Artinya, dia lebih muda darimu," ujarku datar.
"Iya, tapi sampai sekarang dia belum juga menikah. Pernah pacaran aja enggak, kan? Coba tanya. Kalaupun ada yang pernah dekat, mungkin cuma Donny, tukang antar p a-ket itu," e jek Kamila lagi, tawa kecilnya masih terdengar.
Aku tercengang. Tidak menyangka Kamila bisa berucap seperti itu. Kukira dia sosok yang lembut dan bijak, ternyata perkataannya bisa sangat meny4kitkan.
"Alhamdulillah kalau memang Hanum belum pernah pacaran. Itu berarti saya akan menjadi orang pertama dan satu-satunya dalam hidupnya," ucapku mantap.
"Aduh, Mas. Jangan terlalu percaya diri, deh. Menikah itu nggak cukup dengan kata-kata manis. Coba nanti kalau kalian sudah hidup berumah tangga. Modal ju4lan gorengan dan gaji kecil itu nggak cukup buat beli kebahagiaan," katanya sinis.
Aku melihat Hanum. Wajahnya diam, namun jelas ter ga-mbar rasa tidak nyaman. Aku bisa memahaminya. Siapa pun pasti tersinggung jika disudutkan di depan keluarga.
Kamila juga bukanlah seseorang yang begitu mapan. Dia hanya seorang teller yang baru beberapa bulan bekerja. Tapi nadanya seolah-olah sudah berada di puncak karier.
"Aku siap hidup sederhana bersama Mas Andreas. Kalau ada kesulitan nanti, biarlah kami yang menghadapinya. Aku tidak akan membebani Bapak, Ibu, atau Mbak Kamila," ujar Hanum tegas.
Kamila mendengus pelan. "Jangan sampai kalian pinjam uang dariku, ya," ucapnya pelan namun penuh sindiran.
"Saya berani jamin. Kami tidak akan pernah memi-njam sepeser pun dari siapa pun di keluarga ini," balasku, menahan emosi.
Agar suasana tidak semakin keruh, kami pun langsung mengalihkan pembicaraan untuk membahas teknis resepsi pernikahan yang rencananya akan dilangsungkan minggu depan.
---
Pura pura di P H K padahal aku bosnya
Author brakasena
Selengkapnya KBM app
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk " "
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker