Istrinya Kabur Tinggalkan Anak Bayi, Pria Tukang Becak Ini Cuma Bisa Menggendong dan Menangis. 17 Tahun Kemudian …


___*___


1. Baju Batik Bapak


 "Pak, besok ada rapat wali murid, bisa datang?"


Suryadi baru akan menjawab ketika suara nyinyir dari tetangga, Bu Darmi, menyela, "Pakai baju bagus ya, Pak. Jangan pakai kaus kumal. Malu-maluin anak!"


Tini mengepalkan tangan, tapi Suryadi hanya menghela napas. "Iya, Bu," jawabnya tenang, meski hatinya sesak.


Suryadi masuk ke rumah mereka yang sederhana. Rumah itu hanya berukuran 4x6 meter persegi. Terdiri dari dua kamar petak, kamar mandi sepetak, dan ruangan di mana mereka menerima tamu, makan atau melakukan kegiatan lain seperti tempat Tini belajar. Ia mengambil handuk lusuh yang telah dicuci bersih oleh Tini. Lalu, mengambil topi satu-satunya yang dimiliki.


Tini menoleh saat ayahnya keluar dari pintu. Suryadi memakai kaus oblong lusuh berwarna putih kusam. Kaus yang memang biasa dipakai untuk bekerja menarik becak. 


"Kok, masih pakai baju itu?" tanyanya.


"Kan, bapak mau narik dulu, Tini. Kalau pakai batik nanti bau."


Tini terpaksa melepaskan lagi sepatu yang sudah terikat talinya. Ia langsung ke kamar ayahnya. Di dalam kamar hanya ada dipan kayu untuk dua orang dengan kasur kapuk yang sudah tipis di atasnya, dan sebuah lemari kayu tua yang salah satu pintunya sudah lepas engsel. Jadi, Tini hanya membuka pintu lain yang masih bagus engselnya. 


Lemari berbau apak. Tentu saja, mereka tak mampu membeli kamper untuk ditaruh di dalam lemari itu. Ada ruang kosong di dalamnya. Suryadi tak memiliki banyak pakaian memang. Yang masih bagus mungkin hanya satu-dua batik dan celana panjang kain. Biasa dipakai Suryadi untuk shalat Jumat.


Suryadi mengikuti anaknya itu ke kamar. Ruangan yang sudah menjadi tempatnya beristirahat selama lebih dari 30 tahun. Kediaman peninggalan orangtuanya.


"Pakai ini saja, Pak?" Tini mengambil salah satu batik. Lalu, melihat celana pendek yang dipakai ayahnya. "Bawa celana juga, ya, Pak?"


"Iya, iya, masukan saja ke kresek sana. Bapak tunggu di becak, ya."


Tini mengangguk. Suryadi keluar ke teras. 


Tini bergegas mencari kresek di dekat kompor. Ada satu kresek hitam yang sama lusuhnya. Tini langsung memasukkan pakaian Suryadi ke dalam kresek tersebut, lalu lari ke teras. 


Suryadi sudah duduk di sadel becak. Tini keluar menjinjing kresek hitam, lalu memakai lagi sepatunya yang sudah kesempitan di tumit. Mau beli sepatu baru nanggung. Beberapa bulan lagi ia ujian kelulusan. Lebih baik uangnya dipakai untuk hal lain. Hmmm, membeli baju untuk Bapak misalnya.


"Ayo, cepat nanti terlambat!" seru Suryadi ketika melihat anaknya menatapnya sambil bengong.


"Ah, iya, Pak!" Tini segera naik ke jok becak bagian depan.


Tiba di SMA Negeri 1, Banyumas, Tini bergegas turun. Lalu, mendatangi ayahnya yang sedang turun dari sadel. 


Tini meraih tangan ayahnya itu, lalu menciumnya. "Jangan terlambat nanti, ya. Baju Bapak ada di jok depan itu. Ganti dulu di masjid itu, ya. Jangan lupa!"


"Iya, Nak," sahut Suryadi sambil mengusap pucuk kepala Tini yang memakai kerudung segiempat berwarna putih.


Usai berpamitan, Tini langsung masuk ke area sekolah dengan riang. Beberapa teman menyapanya. Namun, ada juga temannya yang acuh karena perbedaan ekonomi mereka. Lihat saja dari pakaian mereka.


Seragam mereka masih terlihat putih cemerlang karena setiap tahun ganti. Sementara Tini, warna seragamnya sudah menguning. Seragam putih itu merupakan seragam SMP yang dulu beli kebesaran. Kata Bapak, ia akan tumbuh cepat nanti. Ternyata memang tumbuh, tapi tak secepat itu. Ukuran pakaiannya memang jadi pas dipakai, tapi tidak dengan bahan dan warnanya.


Tini tumbuhnya ke atas, alih-alih ke samping. Tubuhnya tetap ramping masih sama dengan sewaktu SMP. Paling-paling hanya tangannya saja yang sudah agak kependekan. Namun, hal itu tak menjadi kekhawatiran buat Tini. Ia memilih untuk membeli buku kalau memang punya uang.


Sementara itu, Suryadi mengayuh becak ke pusat kota. Sepagi itu, biasanya ada penumpang. Ada yang hendak ke pasar tradisional terdekat, atau ada yang mau berangkat sekolah seperti Tini.


Jalanan pagi belum ramai. Suryadi langsung mangkal bersama beberapa becak lainnya. Sesama teman seperjuangan. 


"Wes nganter bocah tah?" tanya lelaki berwajah keriput yang usianya lebih tua lima tahun dari Suryadi.


"Iyo, Mas. Kok, sampean wes mrene? Gasik men?"


Lelaki bernama Sarmin itu tertawa. "Bojoku neng pasar isuk-isuk mau."


"Oh, lagi akeh duite, Mas?" tanya Suryadi lagi setengah bercanda.


"Iyo, kae anakku mulih dari Semarang. Njajani mbok'e duit akeh. Alhamdulillah, isa nggo sahur ngemben karo iwak pitik."


Suryadi mendadak sesak. Ramadhan tahun ini mungkin akan masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tini akan sahur dengan tempe atau tahu plus sayur bening hasil memetik tanaman dalam pot. Itu pun Tini yang menanamnya biar pengeluaran mereka bisa ditekan.


"Anakmu wes dikek'i njajan durung, Yad?" tanya Sarmin lagi. 


"Durung, Mas," akunya sambil menghela napas. "Muga-muga nanti ana penumpang, terus aku bisa bawa uang ke sekolahnya."


"Oh, ana apa neng sekolahan?"


"Rapat wali siswa, Mas."


"Aku mau, disakui duit karo anake jare nggo ngopi," ucap Sarmin sambil merogoh saku celananya. 


Ada dua lembar lima puluh ribuan. Sarmin menyodorkan paksa salah satunya. "Noh, nggo Tini. Ngomong ae, anak Pakde Sarmin pulang bawa banyak rezeki."


Wajah Suryadi sudah lusuh semakin lusuh saja oleh air mata. Ia segera menyeka wajahnya dengan lengan kaus yang telah kumal. "Suwun, Mas."


"Iya, tuh, ana penumpang, Yad!" seru Sarmin.


Suryadi menoleh. "Kae penumpang'e Mas, tah? Aku keri ae."


"Aku capek, koen ae!"


Usai mengantar penumpang, Suryadi masuk ke masjid di dekat sekolah putrinya untuk shalat Dhuha. Mumpung bawa baju, ya, sekalian saja. Habis itu baru ke sekolah anaknya.


Dengan khusyuk, Suryadi shalat dan berdoa memohon ampunan dan keberkahan dalam mencari rezeki. Juga untuk masa depan anak perempuan satu-satunya itu.


Sebenarnya, Suryadi memiliki dua anak laki-laki. Namun, 15 tahun yang lalu, ketika Tini masih berusia tiga tahun, istrinya kabur membawa kedua anak lelakinya. Ia tak tahu harus mencari mereka ke mana. Di rumah orangtua istrinya pun tak tahu rimbanya. 


Kedua anak lelakinya, mungkin sudah berusia 30 dan 25 tahun sekarang. Rindu rasanya ingin melihat keduanya. Tak lupa, ia panjatkan doa juga untuk mereka dan berharap masih sempat untuk bertemu.


Suryadi selesai melipat sarungnya dan mengganti baju dengan batik yang dibawa Tini. Ia menghela napas, lalu keluar dari masjid dengan hati yang lebih tenang. Namun, langkahnya terhenti di pelataran masjid.


Di seberang jalan, seorang lelaki berdiri, tampak ragu. Wajahnya familiar. Mata itu. Rahang itu. Postur itu.


Langkah Suryadi terhenti. Tangannya mencengkeram plastik kresek lebih erat. Dadanya berdegup kencang.


Lelaki itu menatapnya sekilas, lalu berbalik pergi.


Suryadi buru-buru melangkah ke arah mobil yang terparkir.


"Bentar ... Itu ... Itu, kan—"


Suara klakson kendaraan memecah lamunannya. Lelaki itu sudah menghilang di antara kerumunan orang.


Suryadi masih terpaku. Lalu, tanpa sadar, bibirnya bergetar menyebut sebuah nama.


"Adam Sutono ...?"


Bisa dibaca di KBM apk

HannaOtaviani_Thee Ksiti Hanna 

Baju Lebaran untuk Bapak


https://read.kbm.id/book/detail/2a2cfa1c-3586-4c27-acfa-fae30992afe5?af=132112a6-28dd-5d42-5966-5d04a1f075cf

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk " "

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel