Mengejar Cinta Mia

Mengejar Cinta Mia


 "Lain kali, kalau kamu susah dihubungi, jangan salahin aku kalau aku menghubungi keluarga kamu. Aku nggak mau ma ti konyol cuma karena suami susah dimintai pertolongan," kata Mia dengan dingin, masih berbaring di tempat tidur sambil memunggungiku.


"Aku bisa jelasin kenapa semalam handphone nggak aktif, kenapa aku nggak pulang." Aku hanya duduk di tepi tempat tidur, menatapnya. Jelas dia masih marah.


"Kamu nggak perlu jelasin apa-apa, Mas. Udah kejadian juga. Lain kali, kalau ada apa-apa, aku nggak akan menghubungi kamu lagi. Lebih baik langsung menghubungi Ayah atau Ibu aja." Mia tidak menoleh, bahkan tidak ada tanda-tanda dia tertarik mendengar penjelasanku.


"Ngancem ceritanya?" tanyaku, mencoba meredakan ketegangan.


"Nggak, siapa yang ngancem? Tapi memang kenyataannya mereka lebih bisa diandalkan daripada kamu. Buktinya, saat aku hampir kehilangan nya wa, kamu malah lebih memilih bersama mbak Hana di apartemen."


Mendengar namanya disebut, aku langsung tegang. "Berapa kali sih aku bilang sama kamu, aku nggak tau apa-apa soal insiden semalam, Mia. Kamu pikir aku segi la itu pacaran?"


"Memang udah segi la itu," jawabnya dengan sinis, tanpa sedikit pun rasa ragu.


Kata-kata Mia mulai membuat emosiku mendidih. "Terserah deh mau percaya atau nggak. Aku nggak peduli," kataku sambil berdiri, mencoba menjauh dari perdebatan yang hanya akan memperparah suasana. Tidak ada gunanya berdebat dengan Mia saat dia sedang seperti ini.


"Kalau kamu beneran nggak tau apa-apa, berarti pacar kamu yang kurang ajar," lanjutnya dengan ta jam.


Aku berhenti di tengah langkah, menoleh ke arahnya dengan tatapan marah. "Jaga bicara kamu!" suaraku meninggi, tidak mampu lagi menahan amarah.


"Kenapa? Marah karena aku bilang yang sebenarnya?" balas Mia dengan tenang tapi menusuk.


"Ini masalah kita, tapi kamu selalu melibatkan Hana. Semalam, dia sakit dan nggak berani pulang ke rumah orang tuanya karena kemaleman. Aku cuma nungguin dia, takut terjadi apa-apa."


Mia menyingkapkan selimutnya dan bangkit dari tempat tidur. Dia duduk menghadapku, menatapku dengan sorot mata penuh kebencian.


"Kalau dia nggak tau apa-apa, semalam yang jawab telepon aku siapa? Kalau kamu nggak tau tentang kejadian semalam, berarti pacar kamu itu nggak amanah."


Aku menatapnya, bingung dan marah sekaligus. Bagaimana bisa dia berpikir seperti itu? Apa dia benar-benar berpikir aku dan Hana…?


"Bisa ya, dalam keadaan seperti ini kamu memfitnah orang lain? Kenapa, kamu cemburu?" tanyaku dengan nada dingin, mencoba menyudahi perdebatan ini.


Mia tertawa. "Fitnah? Cemburu? Kamu pikir aku memfitnah mbak Hana karena rasa cemburu?"


Aku terdiam. Dia tertawa lagi, kali ini lebih dingin dan pahit. "Iya, kalau bukan karena cemburu, apa lagi?"


Mata kami bertemu, dan aku bisa merasakan kelelahan di tatapannya. Ini bukan hanya tentang cemburu atau rasa sakit. Ada sesuatu yang lebih dalam. Dia lelah, dan mungkin, aku juga.


"Bisa tinggalkan aku sendiri? Aku mau istirahat," katanya akhirnya, dengan suara yang lebih lembut tapi tetap dingin.


Aku tidak menjawab. Aku keluar dari kamar, menutup pintu dengan sedikit keras. Berdebat dengannya sekarang tidak akan ada gunanya.


Aku tahu aku bersalah. Seharusnya aku tidak membiarkan Mia pulang sendirian malam itu. Tapi apakah itu alasan yang cukup baginya untuk menuduh Hana seperti ini? Aku sudah berulang kali menjelaskan, tapi dia tetap dengan keyakinannya.


Hari-hari berlalu dan hubungan kami semakin memburuk. Kami tidak lagi berbicara, bahkan tidak bertatap muka.


Kami tidur di kamar terpisah, dan tidak pernah lagi makan di meja yang sama. Aku merasa ada jurang yang semakin lebar di antara kami, dan aku tidak tahu bagaimana cara untuk menyeberanginya.


Suatu malam, aku mengetuk pintu kamar Mia. "Mia," panggilku.


Pintu terbuka sedikit, dan Mia muncul di ambang pintu. "Ada apa?"


"Kita harus bicara," jawabku.


Mia melirik jam dinding di kamarnya, lalu menatapku. "Udah malem, Mas. Kalau ada yang mau dibicarain, tinggalin memo aja di atas meja. Nanti aku baca," katanya dingin.


"Memo? Apa-apaan ini, Mia?"


"Kamu dengar kan, aku bilang aku sibuk. Ada banyak tugas yang harus diselesaikan. Tinggalkan memo, mau di meja makan, di pintu kulkas, di mana aja."


Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Jangan bercanda, Mia. Aku serius."


Mia tertawa kecil. "Serius? Memangnya kita pernah bercanda selama ini, Mas?"


Aku terdiam. Mia kemudian berkata lagi, "Aku juga serius, Mas. Malam ini aku nggak ada waktu untuk diskusi. Silakan tinggalkan memo, nanti aku baca."


Sebelum aku sempat melanjutkan pembicaraan, Mia menutup pintu dengan keras, meninggalkanku berdiri sendirian di luar. Aku mengepalkan tangan, mencoba menahan amarah yang membara.


"Buka pintunya, Mia. Kita harus bicara!" seruku sambil mengetuk pintu.


"Aku mau tidur," jawabnya dari dalam.


Aku menghela napas panjang, merasa kalah. Tapi sebelum aku pergi, aku berkata dengan suara tenang.


"Orang tuanya Hana mengundang aku makan malam. Mereka akan menentukan tanggal pernikahan kami."


Mendengar itu, Mia tidak menjawab. Tapi aku tahu, kalimat itu pasti meninggalkan bekas di hatinya, sebagaimana setiap kata-katanya juga terus membekas di hatiku.


***


Judul: Mengejar Cinta Mia

Karya: Bintang

Aplikasi: KBM

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Mengejar Cinta Mia"

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel