Om Misterius (2)
.
Bau minyak telon.
Aku membuka mata perlahan, mengerjap-ngerjap. Bau minyak telon menusuk hidung. Ah, sepertinya aku pingsan—entah berapa lama.
Om Yayam!
Di mana Om Yayam?
Aku bangkit duduk. “Huwaaaaaaaa!”
Ternyata bukan mimpi. Aslinya Om Yayam memang segede buto ijo. Dia duduk ngejuplek kayak anak Krakatau. Om Yayam yang ganteng, tinggi, sixpack delapan kotak, bercambang, berambut gondrong. Hilang sudah. Menguap sudah.
Oh, mimpi indahku.
Hancur sudah!
Ibarat taman bunga yang tiba-tiba dilalap api, diterjang tsunami, diguncang gempa bumi, kemudian tenggelam oleh lahar panas dari Gunung Merapi. Hancur. Luluh lantak. Tak berbentuk lagi. Ya, seperti itulah hatiku sekarang ini. Rusak parah.
Emak! Peluk!
Aku memeluk Emak.
Maafkan anakmu yang durhaka ini, Mak. Aku bersikeras menolak lamaran Asep demi Om Yayam. Tak tahunya ... Om Yayam sangat jauh dari ekspektasi. Nggak apa-apa nggak ganteng, tapi kan nggak harus segede gajah obesitas jugak.
“Saya datang ke sini bukan buat melamar kamu, kok. Kamu tenang ajah, nggak usah syok begitu. Saya nggak akan maksa kamu buat menikah dengan saya. Saya juga nggak akan menarik kembali barang-barang atau apa-apa yang sudah diberikan.” Om Yayam tersenyum, bibirnya jadi tambah monyong.
Oh, Om Yayam, manisnya! Kata-katanya manis, bentuknya pait kayak patrawalik.
Sungguh, aku memang jatuh cinta sama Om Yayam. Namun, tidak dengan bentuk badannya. Aku takut mati ketindih. Sungguh!
Tok! Tok! Tok!
Pintu diketuk orang dari luar.
“Siapa?” tanya Emak sembari tetap memelukku.
“Asep, Mak,” jawab orang dari balik pintu.
Huh? Asep!
Mau apa dia datang ke sini?
Asep itu teman aku dari kecil. Usia kita terpaut sekitar lima tahun. Dia orangnya baik. Waktu masih di kampung, dia suka kasih aku makanan. Segala makanan di kasih. Ya martabak, kerupuk udang, nasi kotak, dodol. Pokoknya dia punya makanan apa, pasti dibagi sama aku.
Ya, Asep memang orangnya baik.
Pas aku naik ke kelas dua SMP, Asep lulus SMA. Dia kuliah di Jakarta. Setelah itu kita masih sering kabar-kabaran. Namun, setahun kemudian putus kontak. Aku kesepian banget waktu itu. Untunglah, secara misterius Om Yayam muncul menawarkan pekerjaan—jadi pacarnya.
Om Yayam, dia memang seperti obat. Di saat aku sedang kesepian-kesepiannya, dia datang mengisi kekosongan. Memberi ini-itu, memberi perhatian. Aku sayang banget sama dia. Dia seperti pahlawan dalam benak aku.
Tapi ... kenapa bentuk Om Yayam mirip raksasa, lebih besar dari pegulat dan pesumo. Entar kalau aku mati ketindih di malam pertama, gimana?
Kereket!
Suara derit pintu membuyarkan lamunanku.
Sepatu pantofel mengilat. Celana katun formal warna abu-abu gelap mendekati hitam. Kemeja biru lembut dan dasi hitam. Jas hitam dengan bros manikam berwarna zamrud di bagian atas sebelah kiri. Tubuh tegap. Kemeja ketat menampilkan sedikit otot dada yang keras di baliknya. Sempurna.
Asep berdiri di ambang pintu dengan segala pesona dan kesempurnaannya. Kulit sawo matang yang bersih eksotis. Alis tebal dan hitam. Hidung bangir di atas bibir tipis yang merah gelap. Rambut gondrong sebahu.
“UASEPPP!” jeritku, muncrat ke mana-mana.
Asep membungkuk melepas sepatu pantofelnya, kemudian masuk dengan sopan—sedikit membungkuk badan.
Aku memerhatikan dengan mata melotot, nggak berkedip.
Pangeran impian!
Asep!
“Emak, Bapak ... Asep datang ke sini teh buat mengajukkan lamaran untuk terakhir kali. Soalnya dua lamaran Asep sebelumnya ditolak mentah-mentah sama Emak sama Bapak. Tapi ... Asep teh pengen dengar dari mulut Neng Yiyi sendiri.”
Selama ini aku memang menolak bertemu Asep—atau siapa pun yang mengajukan lamaran—karena aku sudah sangat yakin hanya ingin melabuhkan hati untuk Om Yayam seorang. Hanya Om Yayam.
Namun, sekarang?
Aku masih melotot menatap otot dada Asep yang terlapis kemeja. Ya Allah, pengennn!
“Ya Emak sih terserah Yiyi ajah.”
Bapak yang sedari tadi duduk bersila mirip orang semedi mangut-mangut. “Bapak juga terserah Yiyi ajah. Kan yang mau berumah tangga Yiyi. Jadi, biar Yiyi yang memutuskan segala sesuatunya.”
Aku mengusap iler yang hampir menetes.
Asep! Sejak kapan coba kamu teh berubah begini ganteng. Perasaan dulu badan kamu tuh mirip congcorang, kurus, langeng.
Aku menatap Asep, kemudian menatap Om Yayam.
Aku sayang Om Yayam, tapi Om Yayam kayak raksasa.
Om Yayam jelek, tapi aku cinta.
Tapi kayak raksasa.
Tapi cinta.
Tapi jelek.
Tapi cinta.
Tapi kayak raksasa.
Tapi cinta.
Tapi jelek.
Tapi cinta.
Asep ganteng!
Tapi aku cintanya sama Om Yayam.
Huwaaaaaaaaaaa!
Kenapa kalian nggak tukeran tubuh ajah, sih!
Aku bingung.
“Yiyi ... Asep teh sebenernya udah sayang kamu sejak masih SMP. Asep selalu mikirin kamu selama ini. Asep menghilang beberapa tahun terakhir ini biar fokus kuliah sama kerja. Biar pas lamar Neng Yiyi, Asep punya uang.” Asep mengeluarkan kotak berisi cincin dengan hiasan intan—sepertinya.
Logat Sunda Asep nggak sekental dulu lagi ternyata. Mungkin karena dia lama hidup di Jakarta.
Om Yayam tersenyum. “Kalau kamu pilih dia, saya enggak akan menyalahkan kamu. Saya akan kembali dan tidak akan pernah mengganggu hubungan kalian.”
Oh, Om Yayam!
Aku menatap cincin mahal di tangan Asep kemudian menatap perut Om Yayam yang lebih besar dari ibu hamil. Gusti Allah, berilah hamba-Mu petunjuk. Mana yang harus dipilih? Cinta atau sosok pangeran impian.
“Kamu pilih siapa, Neng?” Ibu mengelus rambutku.
Bismillah. Sambil mewek aku menjawab, “Aku ... aku pilih Om Yayam, Mak. Huwaaaaaaa ....” Aku memeluk Emak lagi, melesakkan wajah ke purutnya. Nangis kejer gegerungan. Selamat tinggal Asep, selamat tinggal pangeran impian.
Mungkin perut buncit Om Yayam juga empuk. Iya, kan. Kan cinta itu buta, tuli, dan lumpuh. Gimana pun aku cintanya sama Om Yayam. Lagian, Om Yayam udah baik banget sama aku selama ini. Soal gimana caranya supaya aku nggak mati ketindih di malam pertama, bisa dipikirkan dan dicari solusinya nanti-nanti.
“Kalau begitu Asep pamit pulang ya, Mak, Pak, Yiyi.”
Pintu berderit.
Aku tetap menangis gagaukan (sesenggukan) dipelukkan Emak, tapi aku tahu Asep sudah pergi.
Ya Allah, jangan biarkan hamba menyesali keputusan ini. Kuatkan hati hamba. Jadikan Om Yayam sebagai pembawa berkah bagi kehidupan hamba. Aamiin.
Huwaaaaaaaa!
Asep!
Maaf!
***
Asep mengembuskan napas. Ia melangkah menuju mobil hitam yang terparkir di halaman. Ia melangkah ke sisi kiri dan berdiri di sisi pintu. Kemudian terdengar bunyi lirih.
Clik!
Asep membuka pintu dan masuk ke mobil.
Di kursi sebelah kanan—seorang pria dengan cambang tipis tercukur rapi menghiasi area rahangnya—menyambut Asep dengan senyum misterius. Pria ini memiliki jari-jari panjang yang bersih terawat. Cincin hitam mengilap dengan batu safir kecil menghiasi tengah cincin, melingkar di jari manisnya.
Asep mulai bercerita.
Pria di sebelah kanan mendengarkan dengan terus menyengir kuda tiada hentinya.
🐣🐣🐣
Di KBM App sudah tamat.
Judul: Om Misterius
Penulis: Nona Li
Link KBM App: https://read.kbm.id/book/detail/e197ef12-3a52-3d3d-c882-3650cc9e24ef
Bisa dibeli juga pdf/telegram berbayarnya.
Link pembelian pdf/telegram berbayar:
https://bit.ly/nonalinona
Bisa dibayar pakai pulsa atau e-wallet lainnya (gopay, ovo, shopeepay, dana, linkaja, atau transfer BRI)
Harga promo cuma 25 ribu ajah sampai tamat.
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Om Misterius (2)"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker