LEBARAN TERAKHIR JADI ISTRIMU
6
Bapak becak mengangguk. “Iya, ini nomornya. Betul, kan?”
Aku mengangguk pelan meskipun kurang yakin. Kuturunkan anak-anak dari becak, membayar dengan uang terakhir yang kupunya, lalu melangkah mendekat ke pagar.
Kutarik napas panjang. Kupencet bel sekali. Tak lama kemudian, terdengar langkah cepat dari dalam.
Seorang perempuan muda membukakan pintu.
Aku langsung mengenalinya. Mbak Fitri, istri Mas Ahsan. Wajahnya sedikit panik saat melihatku berdiri dengan dua anak kecil dan wajah kusut. Tapi sesaat kemudian, wajah itu berubah menjadi lega.
“Dilla?” serunya, kaget dan penuh cemas.
Aku mengangguk pelan. “Mbak... maaf... aku gak tahu harus ke mana lagi...”
Mbak Fitri langsung membuka pagar lebar-lebar dan memelukku erat. Tangisku pecah.
“Astaghfirullah... Dilla... kamu kenapa? Kamu kenapa, sayang?”
Aku mulai menangis. Akhirnya aku menangis lepas dalam pelukan Mbak Fitri.
“Mas Galih... dia... dia mukul aku, Mbak. Mereka semua... Satu keluarga gak ada yang belain aku... aku... aku takut... aku cuma mau... pulang...”
Mbak Fitri menangis juga. Ia memelukku lebih erat.
“Ayo, masuk dulu. Kamu aman di sini. Kamu aman sekarang. Mas Ahsan juga ada di dalam.”
Aku masuk dengan langkah limbung. Aska diambil alih oleh Mbak Fitri. Anakku dipeluk dan diciuminya dengan ekspresi rindu. Mbak Fitri dan Mas Ahsan memang belum dikaruniai anak hingga kini. Wajar jika ia begitu sayang pada anak-anakku.
Air mata tak henti mengalir. Tapi kali ini bukan karena sakit. Tapi karena lega. Karena akhirnya, aku merasa... pulang.
Dari ruang tengah, Mas Ahsan muncul. Matanya membelalak saat melihatku. Ia langsung berlari mendekat.
“Dilla?! Astaghfirullah... wajahmu kenapa? Kamu dipukul sama Galih?” tebaknya. Kedatanganku yang tiba-tiba pasti membuatnya terkejut.
Aku mengangguk sambil menangis. Anak-anak sudah duduk di sofa, diberi air dan roti oleh Mbak Fitri.
Mas Ahsan memelukku seperti dulu—hangat, penuh perlindungan. “Ya Allah, Dilla. Maafkan masmu ini. Mulai sekarang, kamu gak sendiri, Dilla. Kamu sama Mas. Kamu sama keluargamu di sini.”
Aku terisak dalam pelukannya.
Ternyata benar, rumah yang berubah tak selalu menakutkan. Kadang justru membawa harapan baru.
Dan hari itu... adalah awal dari kehidupanku yang baru.
*
Hari itu, setelah tubuhku sempat direbahkan, dan anak-anak tidur di kamar tamu yang diberi tempat ternyaman oleh Mbak Fitri, aku duduk berdua dengan Mas Ahsan di ruang tengah. Mbak Fitri menyiapkan teh hangat dan beberapa camilan, lalu membiarkan kami mengobrol berdua.
Di hadapanku, Mas Ahsan terlihat jauh berbeda dari yang kukenang. Dulu ia kurus dan terlihat selalu lelah. Kini tubuhnya lebih tegap, wajahnya bersih, dan ada pancaran tenang yang baru. Tapi matanya tetap sama. Hangat. Abangku yang dulu selalu jadi pelindungku.
Aku menatapnya, masih belum percaya aku duduk di rumah sebesar ini.
“Aku masih gak nyangka, Mas,” ucapku pelan. “Rumah ini... hidup Mas... semua berubah. Tapi kenapa... kenapa Mas gak pernah cerita?”
Mas Ahsan menunduk sejenak. Ia menggenggam cangkir teh yang sudah mendingin.
“Mas memang sengaja gak banyak cerita,” katanya akhirnya. “Bukan karena Mas lupa sama kamu, Dilla. Tapi karena Mas tahu, setiap kali Mas coba untuk menemui kamu, Galih selalu membatasi. Kamu ingat tahun lalu?”
Aku mengangguk. “Waktu Mas dan Mbak datang ke kontrakan kami ketika Galih mudik sendiri, ya?”
“Iya. Mas dan Mbak Fitri sengaja ke rumahmu, niatnya cuma mau silaturahmi. Kalau gak salah itupun sudah lebaran ketiga. Kami datang bawa sedikit oleh-oleh buat kamu dan calon keponakan kami yang sebentar lagi akan lahir. Tapi besoknya tiba-tiba Galih pulang, dan ia terlihat tidak senang. Wajahnya gak ramah sama sekali. Dari raut wajahnya itu, Mas tahu dia gak suka kami datang.”
Aku tertunduk. Air mataku mengalir tanpa kusadari.
“Sejak itu... aku dilarang Mas Galih buat sering-sering hubungi Mas. Katanya Mas cuma akan jadi benalu yang numpang hidup, takutnya nanti minta bantuan terus. Mas Galih bilang... 'udah cukup aku pernah bantuin waktu itu, sekarang giliran kita hidup mandiri, bilang sama masmu, jangan usik hidup kita'. Aku sempat sedih, Mas... Aku pikir... ya, mungkin memang saat itu keadaan ekonomi Mas belum stabil.”
Mas Ahsan menghela napas. “Mas tahu dia mengira Mas cuma lelaki gagal. Mas tahu dia merasa lebih beruntung, punya kerja di kota, anak kembar, rumah orang tuanya juga katanya besar. Tapi Dilla... hidup Mas berubah, Mas berusaha bangkit. Mas cuma ingin kamu hidup tenang. Dan selama ini, Mas pilih diam bukan karena gak peduli. Tapi karena Mas gak mau kamu semakin ditekan sama suamimu sendiri hanya karena berhubungan dengan Mas. Biarlah kamu jalani hidup dengan keluarga barumu.”
Aku tak mampu menjawab. Rasanya seperti tertampar kenyataan. Mas Ahsan pasti mengira aku dibahagiakan jika nurut dengan aturan Mas Galih untuk menjauhi saudara kandungku sendiri. Maafkan aku, Mas Ahsan.
Tayang di aplikasi KBM App
Sudah 17 bab
Judul: Lebaran Terakhir Jadi Istrimu
Penulis: Dianti W
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Lebaran Terakhir Jadi Istrimu"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker