“Tuan, saya izin ke kamar mandi dulu.” Aku memberanikan diri berbisik, Tuan Farraz hanya mengangguk.
Perasaanku sudah campuraduk, apa lagi mengetahui mantan suami beserta istrinya menjadi bagian dari acara reuni ini. Beberapa makanan di meja yang terlihat mahal bahkan tak bisa kunikmati dengan baik.
Akhirnya aku bisa masuk ke dalam toilet setelah cukup sulit menemukan ruangan ini.
Di depan cermin yang memanjang, aku menatap diri sendiri. Kesunyian di dalam sini membuatku bisa menenangkan diri, walau tatapan Bang Sandi masih terasa menusuk kalbuku.
Bukan masih mencintai, apa lagi mengharapkan dia kembali. Hanya saja jika bertemu lelaki itu, segala luka yang sudah kukubur lama ibarat bangkit kembali. Apa lagi mengingat keluarganya yang tak menyukaiku, bahkan setelah Luna hadir, rasa benci mereka tak berkurang sedikit pun.
Bang Sandi memang orang berada, berbeda denganku yang sebatangkara saat dipinang menjadi wanitanya. Dia lulusan sarjana, dan aku hanya tamatan SMA. Kami tak sepadan, maka dari itu kedua orang tuanya tak pernah menyetujui hubungan kami, dan pada akhirnya aku harus mengalah, membiarkan Bang Sandi menikah dengan Celine.
Perempuan yang katanya lebih pantas bersanding dengan Bang Sandi. Perempuan yang lebih pantas menjadi bagian dari keluarga mereka.
“Pantas saja nggak pernah minta uang, ternyata sudah menemukan lelaki yang super kaya raya, toh?” Aku terhenyak mendengar suara itu dari arah luar.
Rupanya Bang Sandi tengah berdiri di ambang pintu toilet sembari menatapku.
“Seharusnya, tak kuminta pun, kamu tetap memenuhi kewajiban sebagai seorang Ayah.” Aku berujar memendam kesal.
“Aku banyak pekerjaan, wajar kalau lupa,” katanya dengan enteng. Aku hanya tersenyum miris pendengar penuturannya.
“Aku pernah mengirimmu pesan, tapi istrimu yang balas,” ucapku membuat raut wajahnya berubah.
“Jangan berbohong, Rum.” Dia tak percaya, aku tak langsung menyahut, namun mengeluarkan ponsel dari tas slempang pemberian orang butik tadi.
“Ini,” ucapku sambil memperlihatkan layar berisi pesan antara aku dengan Celine.
Bang Sandi terdiam, tangannya mengambil ponsel dariku kemudian membacanya dari jarak dekat.
“Tapi tidak apa, Bang. Biar aku berjuang sendiri untuk Luna. Kamu fokus saja dengan keluarga barumu,” kataku sambil mengambil kembali ponsel dari tangannya.
“Permisi, dong, Mas. Jangan berdiri di pintu toilet wanita,” ucap seorang perempuan yang baru datang, membuat lelaki itu akhirnya menjauh tanpa bersuara.
***
“Ini.” Di dalam mobil, Tuan Farraz memberikan sebuah amplop cokelat.
“Apa ini, Tuan?” tanyaku.
“Uang. Terima kasih sudah membantuku.” Dengan ragu aku menerimanya, akhirnya besok aku bisa membayar uang bulanan sekolah Luna.
“Terima kasih kembali, Tuan.” Dia tak menjawab, hanya fokus mengemudikan mobil di jalanan lurus.
Tak ada lagi percakapan di antara kami, kecanggungan kembali menyelimuti. Untuk mengusir rasa itu, aku memalingkan wajah, menatap langit berwarna jingga yang begitu indah.
Sebenarnya aku ingin sekali tahu, kenapa Tuan Farraz menyewaku sebagai kekasih bayaran. Kenapa dia tak mencari kekasih betulan saja? Walau berpenampilan urakan, sebenarnya lelaki itu cukup tampan. Akan sangat mudah baginya menemukan wanita cantik dan sepadan untuk dijadikan pasangan.
Setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh lima menit, kami pun sampai di pekarangan rumah. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu Luna, takutnya dia merepotkan Bu Diana. Walau memang Luna bukan anak nakal, tetap saja aku tidak enak sudah menitipkannya dengan majikan sendiri.
Walau semua itu peraturan dari Tuan Farraz, dan dengan semringahnya Bu Diana menerima permintaan si anak sulung. Beliau memang orang yang sangat baik, tak bisa kujabarkan segala kebaikannya itu.
“Maa Syaa Allah. Cantik sekali kamu, Rum.” Itu kalimat pertama yang kudengar saat aku masuk ke rumah untuk menjemput Luna.
“Terima kasih, Ibu. Mohon maaf sekali saya sudah merepotkan. Luna, kamu tidak nakal ‘kan, Sayang?” ucapku sambil berjongkok mengusap rambutnya. Aku baru sadar kalau Luna sudah berganti pakaian, namun bukan dengan baju miliknya. Bahkan rambutnya yang biasa dikuncir kuda, kini nampak terurai indah bak putri raja.
“Nggak nakal sama sekali, Rum. Anakmu selain cantik, pintarnya masyaallah.” Bu Diana memuji.
“Kamu lebih baik tinggal di sini saja, Rum. Jadi nggak usah pulang pergi setiap hari. Dan Luna, bisa diantar sekolah dengan Pak Slamet.” Bu Diana menampilkan kembali kebaikan sudut hatinya.
“Terima kasih banyak, Bu. Selama ini Ibu sudah terlalu baik pada saya, pada Luna.” Aku berujar lembut.
“Karena kamu sendiri orang baik, Rum. Anak cantik, tinggal di sini saja sama Oma, ya. Jadi cucu Oma.” Mata penuh kelembutan itu menatap putriku. Diana hanya tersenyum.
“Kalau begitu, Rum dan Luna pamit ya, Bu. Luna, ganti bajunya dulu ya, Sayang.”
“Kok diganti, Rum? Itu baju untuk Luna. Ini juga,” katanya sambil menunjuk sebuah tas yang entah apa isinya.
“Farraz. Antar Rumaya dan Luna, ya,” titah Bu Diana, membuat lelaki yang sudah terduduk di sofa sambil memainkan ponsel itu terperanjat.
“Tidak perlu repot-repot, Bu. Kami bisa naik angkot.”
“Nggak bisa, Rum. Ini sudah malam, bahaya. Farraz, ayo.” Aku tak bisa menolak lagi, kalau sudah kukuh dengan pendiriannya, Bu Diana takkan kembali goyah. Bahkan lelaki sedingin Tuan Farraz sendiri tak bisa membantah.
Tanpa kata, Tuan Farraz berjalan terlebih dulu keluar. Aku pun mengekor bersama Luna sembari terus berbincang dengan majikan baik hati ini.
“Jangan kebut-kebutan, Raz.” Bu Diana berpesan saat aku dengan Luna sudah duduk di kursi mobil, tepat di samping Tuan Farraz. Karena kendaraan ini hanya memiliki dua kursi saja.
“Bu, Ibu Diana baik sekali. Luna suka.” Tiba-tiba anak gadisku berujar dengan polosnya, aku hanya bisa tersenyum dengan perasaan tak enak.
“Mohon maaf, Tuan. Kami sudah merepotkan,” ucapku.
“Nggak,” balasnya enteng.
“Ibu. Ibu habis dari mana, sih?” tanya Luna kembali, tanpa mengerti keadaan yang sebenarnya membuat ibunya ini tak nyaman.
“Habis bertemu teman-teman, Sayang.”
“Teman-teman? Memangnya Ibu punya teman?” katanya lagi membuatku terpejam sesaat karena merasa malu.
Walau sedari tadi diam saja dan fokus menyetir, tapi pasti lah Tuan Farraz mendengar celotehan Luna.
Belum sempat aku menjawab, perhatian Luna teralih pada atap mobil yang terbuka. Mungkin Tuan Farraz memang merasa gerah.
“Waaaah!” Luna bersorak sambil terus menatap ke atas.
“Bu ... mobilnya bisa kebuka!” ucapnya dengan girang. Aku hanya bisa menahan senyum melihat gadis kecilku itu sangat bahagia.
Tiba-tiba Luna berdiri, aku yang terkejut langsung memegangi tubuhnya.
“Bu, Luna suka!” soraknya lagi. Rambutnya yang terurai tertiup angin malam, gadisku itu menoleh ke sana-sini memandangi alam yang penuh dengan kerlip lampu.
“Tuan, maafkan Luna,” ucapku benar-benar tak enak.
“Tidak apa-apa,” katanya sembari terus menatap jalan.
“Om, ini namanya mobil apa? Kok atapnya bisa kebuka? Nggak kayak angkot,” ucap Luna membuatku memalingkan wajah karena kepolosannya itu.
“Ferrari.” Kukira Tuan Farraz takkan menjawab pertanyaan anak polos ini.
“Oh ... Bu, besok Luna ke sekolah mau naik Ferrari saja, ya. Kalau naik angkot suka panas,” katanya lagi membuatku tak bisa berkata-kata karena begitu malu.
“Bu?” Luna menundukkan kepala sambil menatapku, seolah meminta jawaban.
“Iya, Sayang.” Akhirnya anak gadis itu tersenyum dan kembali mengangkat kepala.
Sembari memegangi tubuhnya yang masih berdiri, aku mengembuskan napas pelan. Sekilas aku melirik Tuan Farraz, walau tak terlalu terang, aku bisa melihat lelaki itu tersenyum, tipis sekali.
Judul : Makanan Sisa Untuk Anakku
Penulis : Azu Ra
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Makanan Sisa Untuk Anakku"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker