RASA
POV: Maya
“Jadi begitu, Mas? Cukup. Penjelasanmu justru membuat hatiku makin terluka,” ucap Maya dengan suara bergetar.
“Alasannya apa pun, kamu tetap berkhi4-nat. Kamu menikahi perempuan lain tanpa sepengetahuanku—dan hanya karena kamu merasa aku kurang perhatian? Aku sibuk mengurus anak-anak kita, Mas! Bukankah itu juga bagian dari tanggung jawab kita sebagai orang tua? Tapi justru itu yang kamu jadikan alasan untuk mendua.”
Maya menahan napas, mencoba tetap tenang, meski dadanya terasa se-sak.
“Kamu hanya pandai menuntut, tapi tak pernah bercer-min pada dirimu sendiri. Sudah cukup. Aku sudah dengar semuanya. Dan aku lega… setidaknya kamu jujur kalau pernikahanmu dengan Jesika bukan karena dijodohkan, tapi karena kamu jatuh cinta padanya.”
Air matanya ja_tuh perlahan, tanpa bisa ditahan.
“Sampai di sini saja. Intinya satu: kamu telah mencintai wanita lain selain aku. Kamu sudah mengkhi4nati janji suci kita. Dulu, di hadapan saksi dan keluarga, kamu berikrar akan mencintaiku sampai m4ut me-mis4h-kan, tak akan tergo-da siapa pun. Tapi nyatanya… semua itu hanya ucapan manis yang tak berarti.”
Bima hanya terdiam. Tatapannya mengarah pada Maya, yang kini berdiri tegar walau hatinya ter-c4 b!k.
Ia mencoba menggenggam tangan Maya, namun Maya mene-pisnya dengan tegas.
Meski sudah mendengar pengakuan Bima, Maya tak merasa lebih baik. Hatinya justru makin sakit. Jiwanya lelah, tu_buhnya terasa rapuh. Perlahan ia berdiri, berusaha tetap kuat.
“Sudah, Mas. Jangan berkata apa-apa lagi,” ucapnya lirih, namun mantap.
Tapi Bima tidak menyerah.
“Maya… tolong, maafkan aku. Iya, aku salah. Aku telah menduakanmu. Tapi kamu juga harus sadar… aku tetap mengakui kamu adalah istriku yang sah, istri pertamaku.”
Suara Bima meninggi, nada pembelaan terdengar jelas.
“Tapi kamu juga harus ngerti, kenapa seorang suami bisa berpaling. Kamu terlalu sibuk dengan rumah dan anak-anak. Kamu lupa mempercantik diri untuk suamimu sendiri. Aku ingin kamu tampil menarik… seperti istri teman-temanku. Mereka selalu tampak segar, cantik… tidak lusuh seperti kamu sekarang.”
Maya membeku. Kalimat itu terasa seperti pi_s 4 u yang me ny4_y4t hatinya.
Air matanya kembali ja-tuh. Tapi kali ini bukan karena sedih. Melainkan karena amarah dan kecewa yang mem bun-cah.
Ia menatap Bima, suaranya gemetar tapi jelas.
“Oh, jadi itu alasannya? Karena aku? Baik. Salahkan saja aku, Mas. Tapi pernahkah kamu ingat, bagaimana keadaan ke ua-ngan kita dulu? Untuk makan saja kita harus berhemat. Aku rela tak membeli apa pun demi anak-anak kita.
“Kalau aku mau, aku bisa saja berdandan cantik seperti istri teman-temanmu. Tapi aku memilih tidak, karena aku lebih memikirkan masa depan mereka.”
Napas Maya mulai terse-ngal. Tapi ia terus bicara.
“Kamu hanya memberiku se ra-tus ribu seminggu. Cukup apa untuk ke salon? Sementara aku siang malam mengurus a-nak-a nak, sambil membuat kue untuk di_ju4l agar ada ua_ng tambahan.
“Apa aku pernah mengeluh saat u4ng belanja habis? Tidak, kan?
“Kamu minta aku cantik, berpakaian bagus, men4rik di matamu. Tapi kamu sendiri memberi apa, Mas? Pernahkah kamu memberiku perhatian seperti yang temanmu berikan kepada istrinya?”
Maya meng-ge leng pelan. T*buhnya bergetar, bukan karena takut—tapi karena ter l4lu lelah me na-han semua lu_k4.
“Waktuku h4bis untuk kamu dan anak-anak kita. Tapi beginikah balasanmu? Sungguh luar biasa...”
Ia akhirnya tak sanggup lagi berkata. Tangisnya p e-c4h dalam diam.
Dan tiba-tiba...
Tok... Tok... Tok...
Terdengar suara ketukan di pintu depan.
Maya menoleh l e-m4h.
“Bima…”
---
judul : ketika hati seorang istri m a ti rasa
Penulis hamidah tul alfiyah
Selengkapnya kbm app
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "KETIKA HATI ISTRI M4-TI"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker