Aku Hamil

Aku Hamil


 "Aku hamil."


Pesan itu kukirim pada seseorang yang duduk di seberang meja. Terpaksa kulakukan untuk mengetahui bagaimana reaksinya menjadi calon Bapak.


Wajahnya menegang, duduknya tak tenang, bahkan mengusap kening di ruangan ber-AC. Aneh bukan?


"Pak Andika, bagaimana menurut Bapak, apakah kami perlu merevisi laporan yang kami presentasikan ini?"


Dia, lelaki itu tersentak ketika namanya disebut.


"Oh, tentu iya. Maksud saya, tidak perlu. Cukup bagus. Saya kira laporannya sudah cukup bagus. Em, tidak perlu direvisi. Ya, sudah cukup bagus."


Semua peserta meeting di ruangan itu saling pandang sebagai reaksi keheranan. Tak biasanya mega bintang sekaligus pemilik perusahaan ini bertingkah aneh dengan mengulang-ulang perkataannya. Kecuali aku yang paham benar penyebab perubahan sikapnya.


*


Brak!


Pintu di dorong dengan kasar, juga terburu-buru. Seorang lelaki yang satu jam lalu duduk di depan meja direktur utama, kini ada di kontrakanku yang sempit.


"Andara ...," sebutnya. Senyumnya melengkung sempurna, tapi kemudian mendadak mendung menyelimuti wajah, menghapus jejak pelangi di sana.


Pintu buru-buru ditutupnya kembali, berjalan dengan tergesa ke arahku, lalu ... memeluk.


"Aku mencintaimu ... teramat sangat mencintaimu ... percayalah, Sayang."


Hai, ada apa ini?


Kudorong dadanya untuk mendapat ruang. Aku perlu penjelasan.


"Kenapa tak membalas pesanku? Kenapa kau mengabaikannya? Kau tak senang aku hamil?" Bertubi-tubi pertanyaan kuajukan, sengaja menguliti dia yang tiba-tiba berubah.


"Itu hanya perasaanmu saja, Andara. Aku tidak mengabaikanmu. Hanya saja ... aku terlalu terkejut, syok dengan kabar yang tidak pernah aku sangka-sangka.”


“Tidak pernah kau sangka bagaimana? Kita sudah menikah selama satu tahun. Selama itu pula kita backstreet keluargamu dan semua orang di kantor. Kita sering menghabiskan waktu bersama, tak kenal waktu siang, malam atau pun pagi. Bahkan kamar sempit ini menjadi saksi dahsyatnya percintaan kita. Kamu masih mau pungkir kalau aku nggak bisa hamil?”


Andika kembali memeluk. Kali ini, kubiarkan saja dia memiliki diri ini. Aku sudah lelah selama dua belas purnama hidup di dalam sekam. Sudah saatnya kuledakkan.



"Berapa bulan?” tanyanya setelah berhasil meredam kemarahanku. Dia duduk di bawah. Sementara aku di kursi, menghadapnya dengan mata memerah setelah membuat pengakuan tentang benih di rahim ini.


“Enam Minggu.” Aku menjawab. Dia menarik nafas panjang. Tertunduk dengan wajah yang lesu.


“Nikahi aku!” seruku. Tak mendapat jawaban darinya, membuat tekanan darah merambat naik. Apalagi disertai mata yang tak berhenti merembes. Hati ini makin sakit. Ada ketakutan yang teramat besar. Aku adalah si yatim-piatu, sedangkan dia putra seorang bangsawan. Mungkinkah si pungguk ini mampu memeluk bulan yang dikaguminya?


“Jangan menangis lagi. Aku sedih kalau kamu begini.”


“Aku nggak butuh rayuan.”


“Kamu harus tenang dulu, Andara.”


“Aku nggak akan bisa tenang sebelum kamu mengiyakan.”


“Oke, iya, aku akan bertanggung jawab.” Sengit jawabannya membuat aku kecewa. Mestinya diucapkan penuh rasa syukur, tapi malah sebaliknya, diucapkan seperti ada tekanan.


“Oke, Andara, menikah secara resmi itu masalah yang gampang. Aku bisa menikahimu hari ini juga. Tapi yang jadi masalah adalah, orang tuaku yang tidak mengetahui hubungan kita. A-aku butuh bicara dulu pada mereka. Apalagi kamu sedang hamil saat ini. Paling tidak, aku harus memberitahu tentang keadaanmu dulu, baru memperkenalkan kamu.”


“Maksudmu aku harus menunggu? Sampai kapan? Perutku ini keburu membesar.”


“Aku punya rencana. Tapi kamu tidak boleh histeris setelah aku mengatakannya.”

Aku mulai curiga. Andika akan memberi solusi yang menguntungkan dirinya saja. Setidaknya, aku ini tidak bodoh. Tahu gelagat orang yang sedang tertekan, seperti wajahnya saat ini.


“Apa? Rencana apa?” tantangku.


“Jadi begini.” Dia merendah, berada di bawahku. Tanganku dalam genggamannya. Dia ingin menyampaikan sesuatu, tetapi tidak berani memandang mataku.


“Aku sangat mencintaimu.” Dia memberi jeda ucapannya. Sudah terlalu sering telinga ini mendengar kata-kata manis itu, sehingga tidak lagi terdengar istimewa.


“Aku tau kau mencintaiku. Terus kenapa?”


“Aku tidak akan meninggalkan kamu apapun keadaannya.”


“Maksudnya apa bicara begitu?”


“Aku akan menikahimu setelah orang tuaku merestui, dan itu butuh waktu. Bagaimana kalau kita tunda dulu memiliki anak sampai orang tuaku merestui.”


“Aku ini sudah hamil, Mas. Mau ditunda bagaimana?”


“Kita lenyapkan dia.”


“Gila, ya!”


Aku mendorongnya hingga terjungkal. Aku berdiri di hadapan lelaki yang kini bersimpuh di lantai.


“Dia anak kita, Mas. Dia punya nyawa. Tega kamu menyuruhku membunuhnya.”


“Ini demi masa depan kita, Andara.”


“Bukan demi kita, tapi demi keegoisan kamu.”


“Kalau bukan dengan cara seperti ini, kita tidak akan mendapatkan restu.”


“Aku nggak mau.”


“Percayalah padaku, Andara. Aku akan memperjuangkan kamu di depan keluargaku. Sekarang coba pikir, kalau aku membawamu dalam keadaan hamil, orang tuaku tidak akan menerimamu. Dan kamu tau apa akibatnya? Kita tidak diizinkan menikah secara resmi meskipun memiliki bukti pernikahan siri. Kita tidak akan mungkin bersama meskipun memiliki anak. Sampai anak itu lahir pun, kita tidak mungkin mendapatkan restu.”


“Itu artinya, kau tidak membuat pilihan, tapi kau memaksaku untuk melakukannya.”


“Aku harus melakukan ini dengan terpaksa. Posisiku belum cukup kuat untuk melawan, Sayang. Aku belum mendapatkan kepercayaan penuh untuk memegang perusahaan milik keluargaku. Kamu tau sendiri, baru dua hari aku diangkat menjadi direktur utama. Itupun masih dibayang-bayangi papa. Kalau posisiku sudah kuat, aku yakin, permintaan apapun itu mereka tidak akan menolaknya.”


Tak dapat kupungkiri alasannya memanglah benar. Tapi ... bagaimana dengan anak ini?


Kuelus perut yang masih rata ini, hingga menarik perhatian Andika. Dia bangkit, berdiri di hadapanku.


“Kamu adalah segala-galanya, Andara. Kamu tau itu. Di antara banyaknya wanita yang dekat denganku, kamulah yang terpilih. Percayalah padaku. Kalau kamu memaksa anak itu hadir di kehidupan, bukan tidak mungkin kehidupannya akan menderita, berikut dengan adik-adiknya.”


Andika meraih tubuhku, lalu memeluknya. Tangisnya pecah, hal yang tidak pernah kulihat semasa bersamaku. Sesedih inikah dia karena tidak ingin kehilanganku?


**


Hari Minggu pagi, dering telepon berkali-kali terdengar dari benda pintar ini. Andika di balik panggilan itu.


“Halo!” Dia menyapa dengan suara panik. Terdengar jelas langsung menyahut begitu kuangkat.


“Iya.” Aku menjawab.


“Sudah siap kan? Ingat, ya, jangan panik. Kalaupun sakit, itu hanya sebentar. Begitu urusanku di sini selesai, aku akan langsung menemuimu.”


“Hem.” Kujawab dengan singkat. Entahlah, aku tak memiliki daya untuk menolak kemauannya, tetapi tidak membenarkan cara yang akan kutempuh. Aku seperti dihadapkan pada sisi jurang, yang mana akan terjungkal ke dasar yang curam bila sedikit saja menggerakkan badan.


“Apakah Tania sudah datang?” tanyanya kemudian.


“Belum. Dia masih di jalan.”


“Oke. Aku akan menghubunginya supaya lekas sampai. Oya, sudah kuhubungi suster Celine. Aku sudah memerintakan agar memberikan obat terbaik, berapapun harganya supaya kamu tidak merasa sakit yang terlalu lama. Kamu dengar ucapanku kan, Sayang?” Suara di seberang telepon terdengar begitu tegas memberikan penekanan.


“Ya, aku mendengarnya.”


“Syukurlah. Semua akan baik-baik saja, Sayang. Tenanglah dirimu. Aku akan pulang secepatnya.”


Suaranya menghilang. Biasanya, aku akan merengek minta dia balik menelepon lagi dan mengucapkan kata sayang, kata cinta sebelum menutup teleponnya. Andika pun akan melakukannya tanpa menolak. Tapi kali ini, aku merasa di dalam dada telah kosong, hampa tak berpenghuni. Entah di mana sosok penunggunya. Kurasa, Andika tak ada lagi di sana.


*


“Dara!”


Ketukan berkali-kali berhasil mengejutkan lamunanku. Belum sempat beranjak dari kursi, Tania sudah membukanya. Tania adalah karyawan kantor, satu-satunya orang yang mengetahui hubunganku dengan atasannya. Kini, dia adalah orang kepercayaan Andika untuk menemaniku menemui suster Celine, petugasnya medis yang dibayar mahal Andika untuk melenyapkan benih yang dia tanam. Sialnya, tak mampu kutolak keinginannya itu.


“Ada apa, Tan? Kamu panik sekali?” Kudekati dia yang terengah-engah. Dia tidak menjawab, dipegangnya dada dengan nafas yang masih naik turun.


“Apa kamu habis dimarahi Pak Andika sehingga buru-buru datang kemari?” tanyaku lagi.


“Bukan, Dara. Bukan itu. Sekarang, dengarkan aku. Sebaiknya, kau buktikan sendiri apakah aku benar atau salah.”


Tak ku mengerti maksud ucapannya.


“Kamu ngomong apa, sih?”


“Pak Andika, Dara. Dia, dia sebenarnya tidak ke luar negeri untuk suatu pekerjaan. Dia masih di kota ini, di rumahnya.”


“Benarkah? Apa kamu panik dan ketakutan begini hanya gara-gara menyampaikan kabar itu?”


“Bukan, Dara. Ada masalah lain yang jauh lebih penting. Pokoknya, sekarang kamu ikut aku.”


“Ke mana?”


“Ke rumah Pak Andika.”



Bagaimana aku bisa melihat keadaan dalam rumah jika acanya tertutup?


“Apa kita akan berdiri di sini sepanjang waktu sampai Pak Andika datang dan menyuruh masuk?” tanyaku setengah merutuk pada Tania. Dia memberitahukan jika di dalam sana ada Andika, kekasihku dan keluarganya sedang mengadakan sebuah pesta.


“Tunggulah, Dara. Sabar sebentar saja. Aku sedang menunggu kabar dari orang dalam.”


“Kabar apa?”


“Makanya tunggu dulu. Pacarku di dalam sana sebagai EO acaranya. Dia akan memberi sedikit informasi. Nah, ini dia." Sebuah pesan yang masuk ke ponsel Tania. Aku yang berada dekat darinya melihat pesan itu berputar-putar lama.


“Pacarku mengirimkan video. Ini dia.”


Tania menyerahkan ponsel padaku. Kusentuh layar pada benda itu, berputar video berdurasi 45 detik itu.


Aku ternganga, tak percaya pada penampakan seorang lelaki yang sangat kukenali, tengah menyematkan cincin tunangan di jari manis seorang wanita putri dari pengusaha ternama kota ini.


“Itulah alasannya kamu kuajak kemari, supaya kamu melihat sendiri keadaan rumah ini, Andara.”


“Andika tidak mungkin melakukan hal ini padaku, Tania.” Durasi habis, video terhenti tetapi aku masih tidak mempercayainya.


“Kamu boleh menyangkalnya. Tapi logika harus tetap kau jalankan. Dia di sini sedang bersenang-senang dengan wanita yang berasal dari keluarga kaya raya, sementara kau disuruhnya berjuang sendirian melenyapkan benih yang dia tanam. Gunakan akal sehatmu, Andara. Aku saja sampai rela berkhianat demi hati nurani. Tak tega aku menemanimu menggugurkan kandungan sementara dia jelas-jelas telah membodohi kamu. Meskipun dibayar mahal, aku ini perempuan, tidak mungkin menjerumuskan temanku sendiri.”


Aku berbalik membelakangi tembok yang menjulang tinggi. Hanya tersisa rasa sakit dan kepedihan saat ini. Sementara rasa cinta yang teramat besar itu telah luruh bersama kenyataan di depan mata.


“Sekarang terserah kamu, Andara. Mau berjalan ke depan menemui suster Celine atau berbalik ke belakang menghancurkan mereka.”


Sepertinya bagus ide Tania, jika aku tiba-tiba hadir di tengah-tengah acara. Akan kubawa bukti testpack, sepasang cincin milik kami, lalu menunjukkan foto-foto kebersamaan kami saat diam-diam berlibur ke luar negeri. Satu lagi yang tidak akan mungkin mereka bisa menyangkalnya, tentang bukti pernikahan siri kami.


Rasanya akan bertambah seru lagi andai aku membawa serta pakaian Andika yang tertinggal di lemariku, celana, kemeja, kolor jika perlu bagian terdalam lelaki itu akan aku pertontonkan pada keluarganya, juga pada wanita terhormat yang disandingnya. Supaya mereka tau, bahwa Andika Johansyah sang direktur utama adalah laki-laki b*ngsat yang pernah tunduk di bawah kaki ini.


Bukankah itu sebuah permainan yang seru?


••••


Judul: MAZAYA - Benih yang Kau Pinta Lenyapkan

Penulis: Ina Shalsabila.


Silahkan chat admin untuk lanjut baca ke grup telegram berbayar: http://wa.me/6282376304834

Link KBM App:


https://read.kbm.id/book/detail/48b2a514-250f-42b0-ab2d-ddb8aa7b7cf5?af=0d09e532-8b1b-dacb-d61a-dffd94845a59

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Aku Hamil"

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel