""Sembilan Tahun Menanti""
Hujan mengguyur malam itu, membasahi genteng rumah tua yang terletak di pinggiran kota. Di dalamnya, seorang perempuan tengah meninabobokan anak bungsunya yang baru berusia tiga tahun. Namanya Alya, seorang ibu dari tiga anak dan istri dari lelaki bernama Raka. Malam itu tampak seperti malam biasa—tanpa pertengkaran, tanpa keganjilan.
Namun, pagi harinya...
Alya: "Raka? Kamu di mana? Kok nggak tidur di kamar?"
Tak ada sahutan. Alya mencari ke seluruh sudut rumah. Sepatu kerja Raka tak ada, dompet dan beberapa pakaian juga lenyap. Tapi anehnya, tak ada sepatah kata pun tertinggal. Tidak di meja, tidak di ponsel, bahkan tak ada jejak ke mana dia pergi.
Hari demi hari Alya mencari. Menanyakan ke teman-teman kerja Raka, menghubungi keluarga, melapor ke polisi—semua nihil. Seolah Raka menguap begitu saja dari dunia.
Alya (menangis di kamar): "Ya Allah... kenapa? Kami bahkan nggak bertengkar... aku cuma ingin tahu dia hidup atau tidak..."
Hari berganti minggu. Minggu menjadi bulan. Bulan menjadi tahun. Setahun... dua tahun... lima tahun... sembilan tahun.
Selama itu, Alya tak pernah berhenti berjuang. Ia bekerja serabutan, jualan makanan, jadi asisten rumah tangga sesekali, demi menyekolahkan ketiga anaknya. Anak-anak tumbuh melihat ibunya jatuh bangun, tapi tak pernah mengeluh.
Putra sulung Alya (14 tahun): "Bu, aku janji. Aku bakal belajar yang rajin, biar bisa bantu Ibu nanti."
Alya (tersenyum haru): "Nak... Ibu nggak butuh kamu balas. Cukup jadi orang baik. Itu aja."
Di titik ia mulai ikhlas—bukan karena lupa, tapi karena tak ada lagi yang bisa ia pegang—Raka datang. Di depan rumah yang masih sama, kini lebih rapuh, berdiri seorang pria yang dulu menghilang. Tapi kini ia tak sendiri. Di sampingnya, seorang perempuan muda menggenggam tangannya.
Raka: "Alya... aku datang bukan buat bikin luka lagi. Aku mau mengurus perceraian kita. Aku minta maaf. Hidupku sekarang berbeda."
Alya diam. Dadanya sesak, bukan karena masih mencintai, tapi karena luka lama disayat ulang. Anak-anak yang dulu ditinggal kini melihat pria itu dengan pandangan asing.
Alya (tenang, tapi air mata menetes): "Sembilan tahun, Raka. Aku nggak tahu kamu hidup atau mati. Aku ngubur semua tanya, demi anak-anak kita. Dan sekarang... kamu datang bawa istri baru, minta cerai?"
Raka (merunduk): "Aku salah... Tapi aku nggak bisa balik ke hidup itu lagi."
Alya melihat ketiga anaknya. Mereka berdiri di belakangnya, seperti benteng yang tak bisa ditembus oleh waktu.
Alya: "Baik. Aku terima. Kita bercerai. Tapi satu hal, jangan pernah muncul lagi kalau hanya ingin melukai. Mereka nggak butuh ayah yang hanya datang saat nyaman."
Raka pergi. Kali ini benar-benar pergi, membawa gugatan yang ditandatangani Alya dengan tangan gemetar tapi hati yang mantap. Dan saat pintu tertutup, Alya tak lagi menangis seperti dulu. Ia sudah menjadi perempuan lain—kuat, tegar, dan tak lagi berharap pada yang meninggalkannya.
Epilog
Namaku Rafi. Umurku sekarang 18 tahun. Aku anak sulung dari tiga bersaudara, dan... dulu aku punya ayah. Tapi yang aku tahu tentang beliau cuma dari cerita Mama dan beberapa potret lama yang kusimpan diam-diam.
Sembilan tahun tanpa kabar, tanpa satu pun ucapan ulang tahun, tanpa pelukan, tanpa pamit. Aku belajar menata hidup tanpa kehadirannya. Tapi hari itu, dia datang... dan untuk pertama kalinya, aku melihat wajahnya secara langsung sejak kecil.
Ia berdiri di depan rumah, menggandeng seorang perempuan. Aku tahu itu bukan Mama, karena Mama tak pernah memakai sepatu hak tinggi dan parfum semahal itu.
Raka (pelan): "Rafi... kamu udah besar ya. Mirip banget sama Ayah waktu muda."
Aku menatapnya lama. Banyak hal ingin kutanya, tapi rasanya mulutku terkunci.
Rafi: "Aku nggak tahu harus panggil kamu apa. Karena kata ‘Ayah’ terlalu berat buat orang asing."
Ibuku berdiri di sampingku. Matanya merah, tapi wajahnya tegar. Aku tahu beliau ingin terlihat kuat. Karena itulah yang beliau ajarkan pada kami: bahwa menjadi kuat bukan berarti tidak pernah jatuh, tapi tetap bangkit meski remuk berkali-kali.
Setelah pria itu pergi, aku mendekati Mama. Kami duduk bertiga—aku, adikku Aira yang kini kelas 2 SMP, dan si bungsu, Rino, yang baru saja lulus SD.
Aira: "Bu, kita nggak apa-apa, kan?"
Alya (tersenyum lelah): "Kita lebih dari sekadar baik, Nak. Kita utuh. Karena kita punya satu sama lain."
Aku menggenggam tangan Mama.
Rafi: "Bu... kalau nanti aku sukses, aku janji... Mama nggak akan kerja lagi. Aku bakal bahagiain Mama. Bukan karena kasihan, tapi karena aku bangga jadi anak Mama."
Mama menunduk, menangis. Tapi kali ini bukan karena sedih. Tapi karena beban yang ia pikul sendirian selama sembilan tahun akhirnya terasa lebih ringan.
Beberapa tahun kemudian...
Rafi lulus kuliah dengan beasiswa penuh. Aira diterima di sekolah impian. Rino punya bakat di bidang seni dan mulai dikenal lewat karya-karyanya. Dan Alya? Ia tersenyum setiap pagi, bukan karena hidupnya sempurna, tapi karena ia tahu ia berhasil. Bukan jadi istri yang dipilih kembali, tapi jadi ibu yang tak pernah pergi.
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Gugatan cerai "
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker