BAKSO MERCON UNTUK SUAMI DAN SELINGKUHANNYA

BAKSO MERCON UNTUK SUAMI DAN SELINGKUHANNYA


 "Mira, temen-temenku dah datang tuh, cepat buatkan minum!" perintah Mas Hamdan padaku yang sedang menyusui Amir. 


"Iya, Mas," jawabku patuh. 


Pelan-pelan aku bangkit dari pembaringan agar  Amir—bungsuku yang baru kusapih itu tidak terbangun. Tahu sendiri kan seperti apa susahnya nidurin anak yang baru disapih? 


"Keluarkan semua makanan enak yang kita punya! Ingat, jangan sampai kamu membuat malu di hadapan teman-temanku, kamu istriku, kamu wajib menjaga marwah suamimu ini!" perintah suamiku itu sebelum kembali ke depan menemui teman-temannya. 


Aku membuatkan teh hangat sesuai jumlah yang diminta Mas Hamdan, katanya untuk enam orang. Saat ke depan, aku mengira kalau teman-teman Mas Hamdan itu laki-laki semua. Namun, ternyata dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Mereka kayak saling berpasangan gitu.


Melihat jumlah minuman yang disuruh Mas Hamdan, sepertinya selain untuk tamu juga untuk diriku sebagai istri tuan rumah. Tak dapat dipungkiri kalau hatiku berbunga karena Mas Hamdan menginginkan aku bergabung bersama mereka. 


Yah, meski aku agak risih dengan penampilan teman-teman perempuannya yang berpakaian begitu terbuka cenderung kurang bahan. Dari mana Mas Hamdan bertemu dengan temen-temennya ini? 


Tidak mau ambil pusing, aku kembali ke dalam karena akan menyediakan ayam bakar yang telah dibakar tadi sebagai jamuan. Sebelumnya aku menengok ke kamar sebentar memastikan Amir masih tertidur. 


"Silahkan dinikmati seadanya, ya," ucapku ramah pada teman-teman suamiku, mereka tersenyum canggung. 


Aku berniat ikut duduk nimbrung ngobrol dengan mereka. Namun, belum juga bobotku mendarat dengan sempurna, Mas Hamdan mencegahku.


"Eh, mau ngapain kamu?" 


"Duduk, Mas," jawabku polos. 


"Cuaca sangat panas tapi kamu malah buatnya teh hangat, eman-temanku ingin minum es, sana buatkan!" perintahnya keras. 


Hatiku mencelos, apa tidak bisa suamiku itu ngomong baik-baik? Di depan teman-temannya pula dia bicara dengan nada ngegas padaku. 


"Oh, kalian mau es ya, sebentar saya buatkan," kataku mencoba menahan rasa di hati ini. 


"Tidak usah, Mbak, nanti ngerepotin," sahut salah satu perempuan teman suamiku. 


"Nggak ngerepotin sama sekali," tukas Mas Hamdan, lalu memerintahku, "sana buatkan cepat!"


Aku langsung menurut, masih bisa kudengar saat Mas Hamdan berkata pada temannya. 


"Kalian mau apa tinggal bilang saja, tidak perlu sungkan. Mira pasti akan menuruti apapun perintahku!"


Kenapa aku bisa sebodoh ini menuruti apa pun perintahnya. 


Mereka kembali mengobrol dan saling tertawa, tapi saat aku datang tawa mereka langsung sirna. Aku sudah tidak berminat bergabung dengan mereka, rasanya seperti aku memang tidak diharapkan kehadirannya.


Terdengar suara perempuan mengucap salam. Aku menoleh ke pintu, nampak Dania masuk melewati pintu yang sudah terbuka lebar itu. 


"Dania, ada apa ke sini?" tanyaku ramah padanya, Dania ini adalah iparku yang sudah janda karena adik Mas  Hamdan sudah meninggal dunia. 


"Mau ikut nongkronglah, masak mau pengajian," jawabnya ketus.


Ipar yang memang tak pernah akur denganku itu mendekat ke tempat Mas Hamdan dan teman-temannya. 


"Hey, Bestiieee!" Dania menyapa riang.


"Hey, Daniaaa!" sahut teman-teman suamiku itu antusias. 


Mataku nanar menatap  Mas Hamdan yang begitu suka cita dengan kedatangan Dania, sesakit ini ternyata diabaikan. Apa karena penampilanku yang kampungan? Aku memang selalu berpakaian tertutup sesuai dengan yang diajarkan almarhum Ayah. Tidak seperti perempuan-perempuan itu yang berpakaian terbuka dan kurang bahan. 


Sepertinya kehadiranku memang tidak diharapkan. Buktinya mereka asik mengobrol dan tertawa tanpa sungkan meski aku masih di ruangan yang sama, tapi tidak ada yang mengajakku terutama Mas Hamdan. 


Aku memutuskan masuk ke dalam dan tidak akan peduli dengan mereka lagi. Untuk mengobati rasa kecewaku, aku masuk ke kamar anak-anak. Aku duduk di pinggir ranjang, mengusap kepala Aiman dan Azrul yang nampak damai dalam tidurnya.


Setelah mengecup kening kedua anakku itu, aku keluar kamar mereka lalu masuk ke kamarku sendiri. 


Aku bersiap tidur di samping Amir yang masih terlelap. Nanti sebelum subuh aku harus bangun untuk memasak lauk yang akan aku jual besok pagi. 


Baru lima menit terlelap, kudengar suara Mas Hamdan berteriak memanggilku. Jujur aku sedikit kesal, kenapa dia berteriak-teriak begitu? Apa tidak bisa sedikit bergerak mendatangiku dan bicara baik-baik? 


"Ada apa, Mas?" tanyaku datar, mencoba menekan suara agar tidak terdengar ketus.


"Barusan ada tukang bakso lewat, tolong belikan untuk teman-temanku!" perintahnya padaku. 


"Kenapa kamu nggak berhentiin sendiri, Mas? Kamu kan berada lebih dekat pintu, kenapa malah memanggilku yang di kamar?" keluhku tak dapat menutupi kekesalanku lagi. Apalagi melihat Mas Hamdan dan Dania duduk terlalu rapat, apakah itu wajar? 


"Berani kamu melawan?" Mata Mas Hamdan melotot marah.


Tubuhku sudah lelah, seharian jualan dan mengurus tiga orang anak cukup menguras tenaga. Aku malas ribut sekarang, jadi baiknya kuturuti saja permintaannya sekarang. 


"Baik, aku titip Amir kalau dia terbangun ya, Mas!" pesanku sebelum keluar. 


Aku mengejar kang bakso yang barusan lewat di depan rumahku. Untung aku pakai motor, soalnya kalau jalan kaki lumayan jauh. 


"Ini pesanannya, Bu, bakso mercon enam jadi totalnya sembilan puluh ribu." Kang bakso menyerahkan pesenanku yang sudah jadi. 


Semoga saja besok jualanku laris, uang hari ini habis tak tersisa untuk membeli bakso ini. Sepetinya mulai sekarang aku harus meminta tambahan uang dari Mas  Hamdan. 


"Kamu kan tahu, Mir, pendapatan tukang ojek berapa? Sehari cuma lima puluh ribu, selain untuk kebutuhanku sendiri aku juga harus memberi uang ibu. Seharusnya kamu bersyukur aku masih memberimu uang meski cuma sepuluh ribu, kamu kan sudah punya pendapatan sendiri," kataku suamiku setiap kali aku minta tambah uang belanja. 


"Terima kasih ya, Pak, ini uangnya." Aku langsung tancap gas setelah membayar. 


Sebelum sampai di rumah, motorku tiba-tiba jalan tersendat-sendat. Eh, kenapa ini? Tak lama kemudian mati. Aku mencoba menstater, tapi tidak bisa. Sepertinya bensinnya habis. Terpaksa aku mendorong motor sampai rumah, untung tidak jauh, jadi tidak terlalu capek.


Suara obrolan dari dalam terdengar sampai ke luar. 


"Enak banget ya jadi lo, Dan, punya bini nurut banget sama lo, padahal lo hanya ngasih nafkah sepuluh ribu kan?" 


"Pastilah, mana berani dia melawanku. Dia sudah bucin banget sama aku," kata Mas Hamdan tertawa diikuti teman-temannya. 


Pede sekali dia. Begitu senangnya kah mereka mengolok-olokku? Sampai tertawa begitu kerasnya? 


Ada untungnya juga motorku mogok, mereka jadi tidak tahu kalau aku sudah pulang, masih terus membicarakanku tanpa mereka sadari kalau aku tengah mendengarnya.


Aku belum berniat masuk, masih ingin menguping apa lagi yang mau mereka bicarakan tentang aku. 


Mas Hamdan kembali bersuara, "Seandainya dia tahu kalau aku dan Dania selingkuh pun, aku yakin Mira tidak akan meminta cerai. Pastilah dia takut jadi janda, memangnya siapa yang mau dengan janda beranak tiga?"


"Kasihan banget sih kamu, Mas, punya istri kampungan dan kucel kayak dia," sinis Dania, "cantikan aku ke mana-mana lah."


"Makanya aku mau sama kamu, Mira itu hanya kujadikan ATM berjalan saja, aku memberi dia sepuluh ribu tapi dia ngeluarin uang untukku seratus ribu, aku jenius kan?"


Darahku mendidih, tanganku mencengkeram plastik yang kubawa seiring tawa mengejek mereka yang menggema. 


Kudorong pintu dengan keras. 


"Dasar manusia-manusia bejat!" teriakku geram bersamaan dengan sebungkus bakso mer con melayang ke arah mereka. 


Bakso itu mengenai Dania, karena target kutha menang dia dan Mas  Hamdan. 


"Aaa, panaaas, mataku perih, Mas!" 


"Mira!" Mas Hamdan berseru kaget, tapi kuah cabe yang mengenai matanya membuatnya kelabakan. 


Dua orang tak tahu malu itu saling berebut es teh untuk mengguyur mata mereka yang pastinya sangat perih. 


Aku berdiri di depan mereka dengan napas memburu, menatap ngalang teman-teman Mas Hamdan yang nampak kaget sekaligus takut. 


"KELUAR KALIAN DARI RUMAHKU!" teriakku menggelegar dan bersiap melempar sebungkus bakso lagi kalau mereka masih diam. 


Mereka langsung lari tunggang langgang kecuali Dania dan Mas Hamdan. 


"MIRA! SUDAH GI LA KAMU!" 


Mas Hamdan membentakku keras, matanya melorot marah. 


Tersedia di kbm app

Judul BASO MERCON UNTUK SUAMI DAN SELINGKUHANNYA

Penulis Viki_aulia


#drama #ceritaseru #fyp #kbmapp

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "BAKSO MERCON UNTUK SUAMI DAN SELINGKUHANNYA"

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel