Membongkar Rahasia Gelap Ayah

Membongkar Rahasia Gelap Ayah


 "Kamu bukan anak kandung kami, Sayang."


Seravina terduduk lesu di ran jang berselimut putih itu. Jendela dibiarkan terbuka lebar, tetapi tirainya ditutup hingga beterbangan tertiup angin. Saat ini, dia tidak ingin siapa pun menemuinya, bahkan matahari sekalipun. Gadis berambut panjang itu tidak pernah menyangka jika suatu saat nanti akan merasa seputus asa seperti sekarang.


Selama dirinya hidup di rumah ini enam belas tahun terakhir, dia tidak pernah sekalipun merasa jika dia tinggal di rumah orang asing. Namun, ternyata orang-orang di sini bukanlah keluarga yang sedarah dengannya.


Orangtua yang selama ini dianggap kandung ternyata hanya sekadar ayah dan ibu angkat, kakaknya pun bukan kakak yang sesungguhnya. Lantas, mengapa dirinya ada di rumah ini dan memanggil mereka semua dengan sebutan seperti itu?


Seseorang baru saja masuk ke dalam kamar dan duduk di sebelahnya, lalu menggenggam tangan yang dingin itu. “Ibu memberitahu hal ini bukan untuk membuatmu tertekan, Sayang … Ibu hanya ingin kamu tahu kalau Ibu tidak akan pernah berkhianat padamu. Juga, kamu masih anak yang paling Ibu sayang ….”


Mungkin benar jika wanita berusia empat puluhan itu ingin bersikap jujur dan tidak ingin merahasiakan apapun, tetapi bagi gadis yang belum genap satu tahun duduk di bangku SMA itu … hal ini terlalu mengejutkan dan membuat pertahanannya goyah, memikirkan siapa dirinya sebenarnya.


Dengan mata berkaca-kaca, dia bertanya, “Lalu … siapa Ayah dan Ibuku?”


Wanita itu, Rahma Andini, hanya menggeleng pelan seraya mengalihkan pandangan, tak sanggup menatap kedua mata anak gadisnya yang berkaca-kaca. “Ibu tidak tahu, Sayang. Ibu menemukanmu di sebuah panti asuhan, tetapi satu hal yang pasti, namamu adalah nama yang diberikan oleh Ibu kandungmu. Jadi, jika suatu saat nanti kalian bertemu, ibu yakin dia akan mengenalimu lebih dari siapa pun.”


Rahmar napas, kemudian membawa tangannya untuk menyeka air mata sang anak yang tak juga berhenti. “Nama Seravina adalah nama cantik yang Ibumu beri.”


“Apa aku boleh datang ke panti asuhan itu, Bu?”


Pertanyaan Seravina barusan mendapat persetujuan dari Rahma. Wanita itu memang sudah berjanji tidak akan menyembunyikan dan melarang anaknya jika nanti ingin mengetahui lebih banyak tentang siapa dirinya. Sebab dia yakin, gadis itu tidak akan meninggalkannya semisal kebenaran telah terungkap.


Beberapa hari kemudian, Seravina berangkat ke kota sebelah setelah mendapat persetujuan dari ayah dan ibunya. Gadis itu meninggalkan rumah sekitar pu kul tujuh pagi dan tak berselang lama setelah itu, seorang pemuda tiba di rumah.


Laki-laki itu mencari keberadaan sang adik untuk membicarakan sesuatu yang mungkin saja membuat Seravina tertarik. Namun, di mana pun dia mencari, sosok jelita itu tak kunjung ditemukan.


“Bu, Seravina ke mana? Di kamarnya nggak ada, halaman belakang pun nggak ada.” Nada bicara lelaki bernama Hidan Wira Atmaja itu terdengar ce mas. Dia menatap jam tangannya yang masih menunjukkan pu kul dua siang. “Ini hari minggu, dia nggak mungkin pergi ke sekolah.”


“Seravina sedang pergi ke suatu tempat. Mungkin bakal sedikit lebih lama.”


Jawaban Rahma membuat Hidan berhenti melangkah. Dia menghampiri ang ibu yang sedang menyiapkan sarapan untuknya. “Lama? Ada urusan apa dan dengan siapa, Bu? Lalu sekolahnya?”


“Ada sesuatu. Ibu sudah mengirim surat ijin selama satu minggu,” sahut Rahma. Dia kini menarik kursi dan duduk di sana. “Duduk sebentar. Ada yang ingin Ibu sampaikan.”


“Ada apa, Bu?” tanya Hidan tidak sabar sesaat setelah duduk di sebelah ibunya. Perasaan tak nyaman bertambah besar kala mendengar helaan napas dari mulut wanita di depannya. “Semuanya baik-baik aja, ‘kan, Bu?”


Rahma menggeleng pelan, menambah keresahan di hati anak laki-lakinya. “Seravina sekarang tahu kalau dia bukan putri Ibu dan Ayah.”


Hidan mendelik lebar mendengarnya dan merasa tak percaya. “Tunggu, Bu! Apa maksudnya itu? Seravina bukan putri kandung Ibu dan Ayah?!”


“Benar, Dan.” Rahma menatap Hidan yang masih tak percaya. “Ibu sama Ayah mengadopsi Seravina enam belas tahun lalu.”


Lelaki berhidung mancung itu lantas berdiri, menjambak rambutnya begitu saja. “Ibu nggak pernah memberitahuku soal ini, tapi kenapa ….”


“Ibu memang tidak pernah berniat memberitahu kalian soal ini,” ungkap Rahma dengan suara bergetar hingga pada akhirnya terdengar isak tangis yang menyayat hati. “Tapi Ibu takut Seravina bakal kecewa jika tiba-tiba nanti ibu kandungnya datang ….”


Hidan makin bingung dibuatnya. “Ibu kandungnya bakal datang dan membawa Seravina?! Nggak akan! Aku nggak akan membiarkan hal itu terjadi, Bu!”

.

Lelaki itu beranjak meninggalkan ka mar sang ibu, tak peduli dengan panggilan Rahma yang memintanya untuk tetap tenang karena keberadaan ibu kandung Seravina saja tidak pernah ada yang tahu. Bahkan, sama seperti Hidan, Rahma pun berharap tidak akan ada yang pernah datang dan mengaku sebagai ibu Seravina.


Siang tadi menggunakan bus umum, Seravina meninggalkan kota dan melakukan perjalanan selama lima jam lebih. Melewati banyak daerah dan perkotaan padat penduduk, juga lahan-lahan kosong dengan sungai di pinggirannya.


Ini adalah kali pertama gadis itu melakukan perjalanan jauh seorang diri, selama lebih dari lima jam membawa tujuan serta harapan besar. Entah apa yang nantinya dia dapatkan, Seravina harus membawa pulang sedikit petunjuk tentang orangtua kandungnya.


“Aku nggak menyangka jika aku berasal dari tempat yang begitu jauh,” gumam gadis itu setelah turun dari bus umum.


Mengingat hari mulai petang, gadis itu lantas mencari 5 mana dirinya dititipkan dulu.


Sekitar pu kul delapan malam, bus yang ditumpangi Seravina mengalami ban pecah dan dia mau tidak mau harus turun mencari kendaraan lain. Namun, agaknya tempat itu adalah desa kecil yang tidak memungkinkan bagi kendaraan bisa bolak-balik seperti di kota. Hingga pada akhirnya gadis itu memutuskan untuk menginap di salah satu rumah yang ada.


“Terima kasih banyak, Bu. Saya baru datang ke tempat ini dan saya nggak tahu apa pun di sini. Jadi, saya cuma bisa minta tolong agar diizinkan menginap,” kata gadis itu dengan nada bicaranya yang canggung.


Bagaimanapun, menerima orang asing menginap selama satu malam tentu bukan hal yang mudah. Di jaman sekarang ini ada banyak sekali modus penipuan, tetapi melihat gadis muda kebingungan membuat si pemilik rumah tidak tega.


“Kamu nggak punya saudara di sini? Lalu tujuanmu mau ke mana?” tanya wanita paruh baya itu.


“Nggak ada, Bu. Saya datang ke sini karena ada sesuatu, tapi ternyata jauh sekali ….” Seravina menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.


“Ya sudah, kamu menginap saja di sini. Besok pagi kamu bisa melanjutkan perjalanan. Sebenarnya panti asuhan yang kamu bicarakan sudah dekat, tapi nggak banyak kendaraan yang beroperasi malam-malam begini.”


Seravina mengangguk mengerti dan dia benar-benar berterima kasih pada pemilik rumah yang membiarkannya menginap selama satu malam meski harus tidur di sofa ruang tamu. Karena bagaimanapun, tidak ada hotel atau penginapan di desa itu.


“Besok pagi kamu bisa ikut Abah. Kebetulan Abah ada jemputan yang searah sama panti asuhan yang kamu cari.”


“Terima kasih banyak, Bu!”


Detik demi detik berjalan, malam makin larut dan Seravina bisa beristirahat meski dia tidak benar-benar tidur karena merasa tidak nyaman. Selain itu, dia juga tak sabar bertemu orang-orang di panti dan bertanya sesuatu yang berkaitan dengan ibu kandungnya.


Malam berganti, matahari mulai menyingsing. Seravina menerima sarapan pagi yang sederhana sebelum melanjutkan perjalanannya. Dia juga memberi wanita baik hati itu beberapa lembar uang sebagai rasa terima kasih. Meski sempat ditolak mentah-mentah, wanita itu mau tak mau menerimanya.


“Aku berterima kasih sekali, Bu. Kalau nggak ada Bu Warni, aku nggak tahu harus tidur di mana.”


Wanita bernama Warni itu tersenyum lembut, kemudian mengelus pundak Seravina. “Iya, sama-sama. Semoga urusanmu selesai ya, Nduk. Sudah, kamu bisa pergi sekarang sama Abah.”


Seravina mengangguk dan pergi dengan suami Warni yang bekerja sebagai sopir travel. Mereka berdua menempuh perjalanan selama hampir dua jam hingga Seravina harus turun di pinggir jalan raya karena mobil yang ditumpanginya tidak bisa mengantarnya sampai tujuan.


“Maaf, ya, Nduk! Abah nggak bisa antar sampai tujuan! Abah sudah ditunggu penumpang di pangkalan!” teriak suami Warni tanpa keluar dari mobil. “Panti asuhan yang kamu cari sudah dekat, paling cuma satu kilo dari sini!”


“Iya, Abah, nggak apa-apa! Hati-hati, Bah!”


Mobil kembali melaju, sementara Seravina melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki hingga tibalah gadis itu di sebuah panti asuhan yang besarnya tidak seberapa, tetapi terurus dengan baik.


Seravina menghampiri wanita yang berdiri di depan pintu, memandangi anak-anak sedang bermain di halaman. Dia yakin wanita itu tahu sesuatu tentang dirinya, atau ibu kandung yang entah siapa dan di mana.


“Saya Seravina. Apa Ibu masih ingat sama saya?”


----


SERAVINA (Membongkar Rahasia Gelap Ayah) karya RYU GUSTIAN bisa dibaca di K B M A p p sampai tamat

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Membongkar Rahasia Gelap Ayah"

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel