Menyesal Setelah Istriku Meninggal
(12)
"Nak, ayo makan. Jangan seperti ini, kondisimu tidak akan membaik jika tidak mau makan dan minum obat," bujuk wanita setengah baya itu sembari menjulurkan sendok berisi bubur di depan mulut putrinya.
Ginda duduk di atas ranjang di ruang rawatnya. Ia menoleh kesal pada mamanya.
"Aku tidak mau!" jerit Ginda dengan suara melengking dan mengibaskan sendok itu hingga terpelanting di lantai.
"Ginda!" bentak Nirma.
"Aku tidak mau makan! Aku benci situasi ini! Aku capek, Ma. Aku ingin bebas, aku ingin dicintai, aku ... aku tidak mau lagi seperti ini ...!" teriak Ginda, lalu menangis histeris.
Lelaki paruh baya itu memungut sendok bubur yang terjatuh di lantai tadi. "Minggir!" perintahnya pada sang istri.
"Pa, kondisinya sedang tidak stabil, biar mama saja yang mengurusnya," mohon Nirma, menatap takut suaminya yang terlihat marah.
"Minggir!" bentak Hernan dengan mata melotot.
Nirma berdiri dari kursi, lalu melangkah mundur, ia menutup mulutnya menahan tangisannya.
Hernan menyendok bubur di dalam mangkuk, lalu tangan kirinya mencengkeram pipi putri bungsunya itu.
"Buka mulutmu, dan makan! Jadilah berguna, itu demi keluargamu sendiri!" geram Hernan sembari memaksakan bubur itu masuk ke dalam mulut putrinya.
Ginda terbatuk-batuk, ia memuntahkan bubur itu, bibir dan gusinya terluka.
"Tidak berguna!" bentak lelaki paruh baya itu sambil melemparkan sendok itu ke kepala putrinya, lalu beranjak pergi.
Nirma segera mendekati Ginda, ia langsung memeluk putrinya itu yang menangis tanpa suara lagi, tubuh Ginda bergetar ketakutan.
"Maafin mama, Nak, karena tidak bisa berbuat apa-apa," bisik Nirma sembari membersihkan bubur di mulut putrinya.
Hernan keluar dari ruang rawat itu dengan wajah emosi, lalu ia tersenyum melihat dari kejauhan Diwara yang baru saja tiba sembari membawa keranjang buah.
"Om Hernan, bagaimana keadaan Ginda sekarang?" tanya Diwara yang sudah mendekat.
"Dia sudah lebih baik. Tapi masih tidak mau makan, mungkin trauma. Kalian, kan, berteman, kamu mungkin bisa membujuknya," jawab Hernan dengan suara lembut kebapakannya.
"Ayo, masuk." Hernan mengajak Diwara kembali masuk ke ruang rawat putrinya.
"Selamat malam," sapa Diwara. Ia melihat Ginda yang sedang dipeluk mamanya.
Ginda yang dari tadi menyembunyikan wajahnya di perut sang mama, perlahan menoleh.
Hati Diwara begitu sakit, melihat wajah sendu dan lebam Ginda.
"Dia terus menangis. Ginda juga tidak mau bercerita apa yang telah terjadi padanya," jelas Hernan yang berdiri di belakang Diwara.
Ginda melirik papanya yang tengah menatapnya tajam. Kemudian ia menundukkan kepalanya.
"Boleh kami bicara berdua dulu? Kami bersahabat baik, mungkin Ginda mau cerita apa yang terjadi padanya, aku akan membujuknya," pinta Diwara.
Nirma menoleh pada suaminya.
"Iya. Baiklah, tapi jangan lama-lama. Kami berharap, Ginda mau bicara," jawab Hernan, lalu mengajak istrinya ke luar dari sana.
Setelah mereka ke luar, Diwara meletakkan keranjang buah itu di atas nakas, lalu duduk di kursi samping ranjang.
"Ginda," panggilnya lembut pada Ginda yang masih menundukkan kepalanya sehingga helaian rambut menutupi wajah wanita itu.
Kedua tangan Ginda meremas kuat selimutnya. "Apa kamu benar-benar akan menikahiku dan memberikan kebahagiaan untukku?"
Diwara menyelipkan rambut wanita itu ke belakang telinga. "Tentu saja. Bersabarlah, aku akan menikahimu."
"Tapi, katakan dengan jujur, apa yang terjadi kemarin malam. Apa papaku yang melakukan ini padamu? Dia yang menyiksamu? Katakan saja, jangan takut. Aku akan menolongmu sebisaku," bujuk Diwara.
Ginda tidak menjawab, ia terlalu takut pada semua kemungkinan.
"Aku mencintaimu, Mas. Aku hanya ingin pada akhirnya kau menjadi milikku, kita akan bersama," ucap Ginda tanpa jawaban atas pertanyaan Diwara.
Ginda mendongak menatap Diwara, lalu meraih tangan lelaki itu dengan kedua tangannya, menatap penuh harapan dan juga tuntutan.
"Mas berjanjilah, akan meninggalkan Mbak Swara. Berjanjilah kau tidak akan mencintainya lagi. Hanya aku, akulah yang harus kamu cintai!" tegas Swara.
Diwara mengangguk meskipun ia cukup terkejut dengan situasi Ginda seolah sedang menatapnya penuh ancaman.
Ginda mencondongkan tubuhnya untuk memeluk Diwara. "Kamu milikku, Mas. Hanya ada kita berdua. Aku tidak akan membiarkan siapa pun yang menghalau hubungan kita. Aku akan menyingkirkan siapa pun yang mencoba mengambilmu dariku ...."
Diwara semakin kebingungan, ada dengan Ginda sebenarnya? Ia juga merasakan pelukan erat Ginda yang posesif.
"Ginda, ada apa? Kenapa kamu begitu ketakutan?" tanya Diwara.
Ginda tersadar, ia yang awalnya memasang ekspresi marah, kini kembali sendu sembari perlahan melepaskan pelukannya.
"Aku hanya takut, kamu tidak jadi menikahiku dan memilih tetap bersama istrimu yang sekarang. Karena begitu banyak orang yang menentang hubungan kita," lirih Ginda sedih.
"Jangan khawatir, aku akan meninggalkan Swara demi kamu. Kamu hanya perlu bersabar," jelas Diwara yakin.
Orang tua Ginda kembali masuk, Diwara berdiri lalu mundur menjauh.
Ginda tersenyum lebar hingga matanya menyipit menatap kedua orang tuanya. "Aku sudah lebih baik sekarang. Aku mau makan dan minum obat," ucapnya.
Nirma bernapas lega. "Terima kasih, Nak Diwara. Kamu teman yang baik untuk putri kami."
Diwara mengangguk.
"Apa kamu sudah mendapatkan ponsel Ginda dari papamu?" tanya Hernan.
Diwara hendak menjawab jujur, tetapi ia memilih menggeleng. Akan ia kembalikan ponselnya pada Ginda jika sudah dibenarkan.
Hernan menghela lesu. Dia terlihat lebih putus asa kehilangan ponsel itu dibandingkan Ginda sendiri.
"Tuan Joshua tiba-tiba mencabut kerja samanya dengan PT kami. Karena itu, kami sekarang kebingungan, bagaimana mengatasi dana yang kekurangan. Kami sangat membutuhkan bantuan dari perusahaan papamu," jelas Hernan.
Diwara tidak tahu jika papanya sudah mencabut kerja sama dengan perusahaan milik keluarga Ginda.
"Aku akan membujuk papaku, agar kita bekerja sama," ucap Diwara, meskipun ia tidak yakin papanya mau dibujuk oleh dirinya.
"Iya, tolong, ya. Dan tolong sekali, cari tahu di mana ponsel Ginda yang diambil papa kamu. Itu sangat penting, kami mohon," pinta Nirma.
"Baiklah, aku akan berusaha," jawab Diwara.
•••
Swara tersenyum setelah membukakan pintu untuk suaminya yang baru saja pulang.
Diwara menatap dingin istrinya itu. Kemudian berlalu melewati Swara. Kepalanya sakit karena banyak beban pikiran, masalah di kantor, ancaman Zalia, dan juga kondisi Ginda.
Ia tidak mau semakin pusing karena melihat wajah istrinya.
"Mas sudah makan? Aku siapkan makan malam, ya," ucap Swara setelah mengunci pintu, lalu mengikuti di belakang suaminya.
"Uang nafkah dariku sudah aku transfer. Gunakan sebaik mungkin, utamakan demi anak-anak!" tegas Diwara.
"Alhamdulillah, terima kasih," jawab Swara. Suaminya masih mau memberikan uang untuknya, meskipun kini Diwara membencinya.
"Berhenti mengikutiku! Aku ingin istirahat!" Diwara menoleh ke belakang dengan tatapan marah.
Membuat langkah Swara terhenti. Istrinya itu tersenyum sembari mengangguk.
Diwara hendak menaiki tangga, tetapi suara putrinya yang memanggilnya membuat ia urung naik.
"Papa ...." panggil Nira pelan, ia tampak gugup dan menoleh sejenak pada mamanya yang kini memberikan senyuman semangat.
Diwara berjongkok di depan putrinya dengan senyuman.
"Papa ... malam lusa ada karnaval besar di taman kota. Teman-teman Nira semua berencana pergi ke sana, karena banyak tempat bermain ....." Nira menghentikan sejenak ucapannya untuk kembali menoleh pada mamanya.
Nira bilang, jika teman-teman sekolahnya akan pergi ke karnaval dengan ayah dan mama mereka. Nira ingin juga seperti itu, dan memberitahukan keinginannya pada sang mama.
Swara awalnya memberikan pengertian pada putrinya jika papanya harus bekerja.
Namun, itu membuat Nira yang sudah tidak marah lagi pada papanya, menjadi sedih.
Swara akhirnya mengizinkan Nira untuk bertanya sendiri pada papanya bisa atau tidak pergi berlibur, lagi pula ini hal yang bagus agar papa dan anak semakin dekat.
"Jika Papa sibuk bekerja, tidak apa-apa. Nira lihat karnavalnya sama mama dan adik saja," lanjut Nira cepat, tetapi ia berucap dengan mata berkaca-kaca seperti hampir menangis.
Diwara menghela napasnya sembari tersenyum semakin lebar, kemudian mencium pipi bulat anak gadisnya itu.
"Kata siapa papa sibuk? Tentu saja papa akan ikut keseruan kalian," jawab Diwara.
Nira tersenyum senang, karena sangat antusias, ia segera memeluk leher papanya.
Diwara membalas pelukan erat putrinya. Sudah lama sekali ia tidak mendekap anaknya seperti ini.
Swara memalingkan wajahnya karena air matanya menetes, terharu melihat kedekatan mereka. Ini membuat ia begitu bahagia, dan berharap anak-anak akan selalu dekat dengan papa mereka seperti ini terus.
Meskipun ... suatu saat nanti, ia tidak akan bisa lagi melihat ini, jika nyawanya sudah meninggalkan badan.
••••
Pagi itu, cukup mendung dengan rintik hujan tipis.
Zalia, tidak bisa dibilang gadis lagi diusianya yang sekarang, ia selalu menolak perjodohan, karena ia tidak akan mau menikah dengan orang yang tidak ia cintai.
Lagi pula, Zalia tidak tahu apa itu cinta dan bagaimana rasanya mencintai.
Namun, ketika ia akan dijodohkan bersama Elfio, dengan pemikiran panjang, Zalia akhirnya menerima lelaki itu.
Dua bodyguard wanita kepercayaan Zalia itu, saling pandang keheranan, melihat Zalia yang sedari tadi senyum-senyum sendiri kadang geleng-geleng kepala.
Zalia memutar-mutar kursi kerjanya sambil mendongak setelah mengehela napas panjang.
Benar-benar tidak habis pikir dengan keunikan keluarga calon suaminya itu. Penasaran juga, entah kejutan apa lagi yang akan ia ketahui tentang mereka.
Pintu ruang kerja itu diketuk. Salah satu bodyguard membukakan pintu, dan melihat sekretaris Zalia yang baru tiba.
"Kau membawa apa yang saya perintahkan?" tanya Zalia sembari menegakkan badannya.
Sekretaris wanita itu mengangguk, ia meletakkan map berisi beberapa kertas catatan salinan yang ia dapat dari rumah sakit tempat Ginda dirawat.
"Jelaskan," pinta Zalia, meskipun ia bisa membaca sendiri apa yang ada tertulis di kertas tersebut.
"Pasien bernama Gindaya Aurora, diketahui telah menggugurkan kandungannya yang berusia dua minggu, itu membuatnya mengalami pendarahan yang cukup parah, dan terlambat dibawa ke rumah sakit," jelas sekretaris itu.
Zalia mengerutkan keningnya. Apa Diwara pernah berhubungan zina dengan Ginda sehingga wanita itu menggugurkan kandungannya?
"Karena efek itulah, yang membuatnya harus setuju melakukan operasi pengangkatan rahim. Juga diketahui, pasien ternyata mengidap HIV."
"Apa?" Kaget Zalia syok.
"Dia mendapatkan kekerasan fisik, dan orang tuanya meminta dokter untuk jangan membuat laporan ke polisi tentang hal itu," tambah sekretaris itu.
Kenapa orang tua Ginda tetap diam, meskipun putri mereka mendapatkan kekerasan? Seolah tahu dan memaklumi hal itu?
•••
"Kau ke sini lagi?" Diwara melotot kesal melihat Zalia yang lagi-lagi datang ke kantor papanya.
Mereka bertemu di parkiran basement. Zalia tersenyum ramah.
"Kakakku tidak ada di kantor hari ini! Dia diperintahkan papa menengok pabrik! Jadi, pulang sana!" usir Diwara kesal sambil menutup pintu mobilnya dengan kuat.
Zalia melangkah mendekat, tubuhnya yang tinggi semampai ditambah memakai high heels membuat mereka tinggi setara.
Zalia juga ke sini bukan untuk bertemu Elfio, melainkan ingin bertemu Diwara untuk memastikan satu hal.
"Kenapa kau begitu kesal padaku, Diwara? Bukankah dulu, kita berteman baik, karena kau dulu kekasih sahabatku," ucap Zalia berdiri di depan Diwara dengan kedua tangan bersedekap depan dada.
"Kau licik, Zalia! Aku sudah tahu sifat psikopat dan pendendammu! Berhenti bermain-main denganku! Pergilah!" bentak Diwara.
"Itu karena kau mengkhianati sahabatku dan membuatnya menderita karena sikap kejammu!" balas Zalia.
"Itu karena aku sudah muak dengannya dan tidak mencintainya lagi. Kenapa kau masih tidak mengerti!" jawab Diwara.
"Apa karena pelacur itu kau jadi berubah?"
Diwara menautkan alisnya, awalnya ia tidak mengerti, tetapi saat tahu siapa yang dimaksud Zalia, ia menjadi sangat murka.
"Dia bukan pelacur! Jaga ucapanmu, Zalia! Ginda gadis yang baik, dia berlian yang menerangiku!"
Zalia tertawa lepas sambil bertepuk tangan mendengar ucapan Diwara. "Astaga! Mana ada perempuan baik yang merebut suami orang!"
"Dia tidak merebutku, akulah yang ingin bersamanya. Jangan menuduh dan menyalahkannya! Atau aku akan membalasmu dan membuatmu menyesal!" geram Diwara.
Zalia bisa melihat kejujuran di wajah Diwara saat mengatakan jika Ginda gadis yang baik. Seperti orang yang naif, dan mudah ditipu.
Diwara melewati Zalia, lebih baik dia menghindari wanita ini, dari pada semakin emosi.
"Kau pernah berhubungan intim dengannya?" tanya Zalia, membuat langkah Diwara terhenti.
"Dia gadis baik dan polos, aku menjaganya, lagi pula kami akan segera menikah, untuk apa kami melakukan itu? Aku memang sering tinggal di rumahnya, tetapi kamar yang berbeda. Ginda tahu cara menjaga kehormatannya," jawab Diwara, lalu bergegas masuk ke dalam lift.
Zalia mendengkus mengejek. Kehormatan ndasmu! makinya dalam hati.
Zalia bersandar pada mobil, ia menatap Diwara sehingga pintu lift tersebut tertutup.
Sudah ia duga, Ginda adalah pembohong besar, dia berpura-pura baik dan terhormat demi memikat Diwara.
"Ah, ini semakin menggelikan. Aku bertaruh, aku akan benar-benar membuatnya menangis histeris," ucap Zalia.
Namun, ia penasaran, siapa kira-kira yang menghamili Ginda sehingga anak itu dipaksa untuk digugurkan?
Ginda gadis yang sangat cantik, Zalia mengakui itu. Namun, kecantikan bisa menjadi senjata bagi wanita, tetapi juga bumerang yang membuat hancur wanita.
Tersedia PDFnya bisa baca sampai tamat tanpa menunggu lama, chat untuk pembelian
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk " "
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker