KUSERAHKAN SUAMIKU PADA SELINGKUHANNYA
Mas Gilang terlihat kesal, dia meninggalkan ruang makan begitu saja tanpa menghabiskan sarapannya.
"Kunci motor ada di laci," terangku ketika Mas Gilang mondar mandir seperti mencari sesuatu.
"Aku cari kunci mobil."
"Kemarin aku 'kan sudah bilang. Mulai sekarang mobil aku bawa."
"Oh, jadi kamu keberatan kalau mobil itu aku pinjam? Mentang-mentang milikmu, jadi aku tidak berhak," ucap Mas Gilang berapi-api.
"Kenapa jadi marah? Bukannya sebelum menikah denganku, kamu juga bawa motor?"
Seperti kesetanan, Mas Gilang mengobrak-abrik laci, tempat tidur yang sudah tertata rapi dan juga lemari pakaian, semua baju dikeluarkan.
Dia mengambil tas milikku yang ada di atas nakas, lalu membuka begitu saja tanpa minta izin. Kunci yang memang kutaruh di dalam, langsung diambilnya.
"Kita sudah suami istri, punyamu punyaku. Termasuk mobil dan apapun yang kamu miliki."
Semakin jelas ambisi yang tujuannya hanya menginginkan harta dariku saja. Sungguh tidak tahu diri.
Berusaha merebutnya, tapi Mas Gilang lebih lihai untuk menghindar. Dia meraih tas kerja dan lari keluar.
"Ada apa kalian?" tanya ibu mertua kebingungan melihatku mengejar putranya.
Mas Gilang langsung masuk ke dalam mobil yang memang sudah terparkir di luar dan tancap gas.
"Bu, di sini ada pangkalan ojek terdekat?" tanyaku.
"A-ada, Ras. Tapi jelaskan dulu ada apa?"
"Tidak ada apa-apa, Bu. Hanya sedikit salah paham saja. Makanya Rastri mau menyusul Mas Gilang."
"Itu ojek. Mas!?" terang ibu mertua sambil teriak memanggil pria berhelm putih.
Aku pun lari keluar.
"Mas, ikuti mobil di depan itu, ya," tunjukku. Mobil Mas Gilang sudah sampai di ujung gang.
"Baik, Mbak."
"Mas'nya fokus saja bawa motor, biar saya yang mengamati mobil tersebut. Tetap jaga jarak, jangan sampai ketahuan."
Tukang ojek yang memang masih muda tersebut sangat gesit dan lincah membawa motor matic.
Mobil Mas Gilang melewati jalan menuju kontrakan Fitri.
Aku meminta tukang ojek untuk mengurangi kecepatan. Karena aku yakin, Mas Gilang pasti akan ke tempat sepupu'ku itu.
Benar adanya. Mobil tersebut berhenti di halaman kontrakan Fitri.
"Tunggu di sini sebentar, ya, Mas."
"Baik, Mbak "
Aku menyusul Mas Gilang ke sana.
Niat mengikuti bukan karena mempermasalahkan mobil yang dibawa. Tapi aku tidak suka dengan cara dia yang seenaknya saja bersikap dan berkata kasar seperti tadi.
Ternyata keputusanku mengikuti Mas Gilang sudah tepat.
Pintu yang memang tidak tertutup rapat membuatku bisa melihat keadaan dalam. Mas Gilang tidak terlihat di ruang tamu. Sepi. Tidak terdengar ada suara apapun.
Bukan bermaksud tidak sopan, tapi aku terpaksa masuk ke dalam begitu saja tanpa permisi.
Melangkah perlahan sambil mengamati setiap ruangan kontrakan yang tidak terlalu besar, tapi memiliki banyak sekat.
Kaki ini akhirnya berhenti di salah satu ruangan, kamar. Dengan sangat jelas aku melihat Mas Gilang dan Fitri berperlukan erat.
"Harusnya kamu kontrol emosi, Sayang. Kalau seperti ini, bisa-bisa rencana kita gagal," ucap Fitri.
"Dari kemarin perempuan tua itu bikin aku kesal. Wajar kalau akhirnya emosiku meluap. Masa' dia mau melamar kerja di kantorku. Gi–la saja."
"Apa? Rastri juga mau melamar kerja di sana?" Fitri melepas pelukan Mas Gilang. "Mungkin dia seperti itu karena mendengar ucapanmu kemarin, Mas? Kamu, sih, bicara tidak hati-hati."
"Ah, sudahlah. Mau dia dengar apapun itu, aku tidak peduli."
"Tapi kita belum dapat apa-apa, Mas. Kamu tahu 'kan, Rastri itu anak tunggal pewaris kekayaan orang tuanya. Kebun teh keluarga mereka berhetar hektar. Belum lagi pabrik teh milik ayahnya yang sudah terkenal dan cukup besar."
Sampai hati Fitri mengincar harta orang tuaku. Rencana mereka susun sangat rapi. Bahkan aku dan semua keluarga bisa dibodohi seperti ini. Keterlaluan.
"Yang harus kamu lakukan sekarang, bersikaplah lembut, beri Rastri perhatian lebih. Dan–" Fitri menghentikan ucapan.
"Dan apa?"
"Lakukan kewajibanmu sebagai suami. Beri nafkah batin. Biar Rastri yakin dan melupakan apa yang pernah dia dengar."
"Gi–la. Untuk hal satu itu tidak mungkin. Aku tidak akan pernah melakukannya."
Tidak ingin berlama-lama mendengar obrolan mereka, aku memilih segera pergi meninggalkan kontrakan Fitri.
Apa yang kudengar kemarin dan yang kulihat saat ini sudah lebih dari cukup memberiku bukti kuat.
Hanya menunggu waktu saja, aku akan memberi kalian kejutan sebelum mengajukan gugatan cerai. Tidak mungkin mempertahankan pernikahan yang seperti ini. Impossible.
Aku pernah merasa sakit atas kegagalan yang membuat trauma bertahun-tahun. Saat ini, mental dan hatiku harus kuat untuk menghadapi kenyataan yang lebih pahit dari sebelumnya.
Mungkin perasaanku terhadap Mas Gilang belum sedalam hubunganku dengan calon suamiku yang dulu. Tapi … janji suci pernikahan adalah titik teratas dalam sebuah hubungan. Bukan tentang dua hati lagi, melainkan banyak hati yang dipersatukan, yaitu orang tua dan keluarga.
"Mas, antar saya ke rumah tadi!" pintaku pada tukang ojek yang masih setia menunggu.
Menatap hiruk pikuknya jalan di pagi hari dengan pikiran tak menentu. Dua manusia tidak punya hati, mereka lah yang saat ini menduduki tempat teratas di pikiranku.
***
"Ras, Rastri," ibu mertua mengetuk pintu kamar.
Aku yang memang belum tidur segera beranjak untuk membuka pintu.
"Iya, ada apa, Bu?"
"Maaf kalau Ibu mengganggu tidurmu. Gilang belum pulang?" Ibu menengok ke arah tempat tidur.
Aku menggelengkan kepala.
"Bilang sama kamu ke mana? Ini sudah jam sepuluh malam."
Menggelengkan kepala lagi menjawab pertanyaan dari Ibu mertua.
"Sudah coba ditelepon?"
"Tidak perlu, Bu. Mas Gilang pasti baik-baik saja. Mungkin dia sedang bersama temannya."
Teman perempuan yang sekaligus memiliki hubungan spesial melebihi seorang istri.
Saat ini aku merasa bukan seorang istri yang mesti mengkhawatirkan dan mencermaskan suami.
"Ibu mimpi buruk, Ras. Entah kenapa tiba-tiba kepikiran Gilang."
"Mimpi hanya bunga tidur, Bu. Mungkin karena terlalu capek, makanya Ibu mimpi buruk."
Baru juga diomongin, Mas Gilang sudah pulang. Terdengar dari suara deru mobil di luar.
"Biar Ibu saja yang buka pintunya."
"Jam segini baru pulang. Ke mana saja kamu? Tidak kasihan sama Rastri? Ingat, kamu sudah punya istri."
"Gilang baru pulang. Capek. Jadi kalau ngomel besok saja."
Terdengar perdebatan antara ibu mertua dan Mas Gilang.
Mas Gilang menerobos tubuhku yang memang masih berdiri di depan pintu kamar.
"Ras, bilangin suami kamu."
"Baik, Bu."
Aku segera menutup pintu ketika Ibu mertua sudah kembali ke kamar.
"Lama-lama tidak betah tinggal di rumah sendiri," ucap Mas Gilang begitu saja.
"Terus, kamu mau tinggal di mana? Di hotel? Atau di kontrakan Fitri?"
Mas Gilang menatapku. "Kenapa bawa bawa Fitri?"
"Dia 'kan temanmu. Wajar kalau aku menebak seperti itu. Oh, ya. Mana kunci mobilnya." Menadahkan telapak tangan ke arah Mas Gilang.
Tanpa protes, dia memberikan kunci tersebut.
"Ras, bagaimana kalau kita beli rumah dan tinggal berdua saja."
Bersambung
Cerita ini ada di KBM App
Penulis : Emylia_Arkana_ Putra
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "KUSERAHKAN SUAMIKU PADA SELINGKUHANNYA"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker