Tahlilan 12

Tahlilan 12


 Tahlilan 12


"Dee? Dee, ini abang!" Aku berlarian memasuki rumah.


Brakkk


Pintu kamar terbuka, dan benar saja, istriku berbaring di atas tempat tidur. Namun seakan ada yang aneh. Aku meletakkan secarik kertas yang terlipat tadi di atas nakas, rasanya istriku lebih penting.


"Sayang?" Aku duduk di samping Rindu, meraih tangannya, mencium punggung tangan itu juga telapak tangannya.


Dingin.


Dingin, sekali.


"Dee, Rindu habis dari mana? Kenapa nggak ngabarin abang? Rindu udah makan, sayang?" Aku menatap kedua matanya. Kenapa tatapannya seakan berbeda?


Seakan-akan… dia bukan Rinduku?


"Dee."


“Rindu pengen istirahat, Bang.”


Aku mengangguk.


"Iya, boleh. Nanti aja ceritanya, ya... Ya udah, istirahat dulu. Abang tinggal keluar," lirihku. Lalu bangkit, mencium kening Rindu.


Krieeet 


Menutup pintu pelan, lalu perlahan merosot ke lantai. Kepalaku terasa begitu berat. Begitu banyak sekali cobaan yang dilalui istriku semenjak pulang kembali ke sini.


Aku merasa gagal, dan janggal atas semua ini. Menyungar rambut asal, menutup pelan kedua mata, hingga terasa begitu berat.


'Abang!'


"Astaghfirullah!" Aku tersentak, kedua telinga terasa berdengung. Teriakan itu…


"Seakan nyata?" Gegas aku bangkit. Membuka pintu kamar.


Brakkkk


Aku berlari ke dalam. Ya Allah... apa-apaan ini?


"Rindu?"


"Sayang?"


Aku mencari keberadaan istriku. Namun tak dapat kutemui. Bukankah ia tadi beristirahat? Lalu kemana?


"Sayang? Abang mohon, jangan bercanda!"


"Dee...?"


Aku terduduk di tepi kasur, menatap kasur yang masih rapi. Itu artinya? Rindu belum kembali?


Aku mengelus pelan kasur itu. Benar, masih dingin dan tak hangat. Istriku belum kembali.


"Kertas itu?" Aku mengambil kertas tadi, menghirup napas kasar, lalu mulai membuka lipatan itu.


Tulisan dengan aksara, namun cukup mudah dipahami dan dibaca.


"Luksuma?"


---


Pov Rindu


'Larilah...!'


'Sejauh mungkin... hingga aku tak mampu menangkapmu!' ucapnya nyaring.


Aku tersentak.


'Atau... mereka yang akan menangkapmu! Hihihihihi!'


Deg!


Aku segera bangkit. Terhuyung ke depan, namun sekuat tenaga berlari menuruni anak tangga. Wanita itu tak mengejarku, meski dobrakan kembali terdengar dari belakang. Aku berlari, terus berlari hingga melihat dari kejauhan cahaya remang dari ujung jalan.


Aku berlari, hingga telapak kakiku terasa sakit. Namun tak kuhiraukan. Masih ingat dengan begitu jelas wajah mereka yang menatapku, juga wanita yang mengaku bernama Luksuma.


Siapa dia sebenarnya? Kenapa tubuhnya begitu menyeramkan?


Aku telah sampai di ujung jalan, di mana ada tiga persimpangan. Berbalik badan, melihat dari kejauhan. Setidaknya wanita itu tak mengejarku.


Aku berjalan tertatih, tak terasa air mataku menitik sempurna.


"Abang? Abang, di mana bang?" Aku mengusap air mataku.


Berjalan tak tentu arah. Gemerisik daun membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke belakang.


Serr.


"Siapa di sana?" teriakku. Jelas sekali, seperti ada yang menginjak ranting. Aku menoleh ke kanan dan kiri. Setiap persimpangan tampak remang. Cahaya yang minim membuatku kesulitan melihat ke kejauhan.


Namun meski begitu, aku cukup tahu bahwa di ujung jalan sana ada sesuatu yang merayap di tanah.


Deg.


Apa itu?


Aku mundur perlahan. Rasa sakit di telapak kakiku tak memungkinkan untuk berlari.


"Hihihi..."


"Astaghfirullah!"


Aku melotot. Sekujur tubuh terasa gemetar ketakutan. Wanita itu?


Luksuma merayap di tanah dengan posisi wajah menghadap ke atas, sementara rambutnya yang terurai menyentuh tanah. Kedua kaki yang kini menjadi tangan itu bergerak cepat mendekatiku.


Aku terkejut saking takutnya.


"Pergi! Kau sudah berjanji tak akan menangkapku!"


Luksuma melompat, namun aku cepat menghindar.


Bugh.


Aku terjatuh ke tanah.


Luksuma merayap hingga menindih tubuhku.


Krak. Krakk.


Suara patahan tulang terdengar saat wajahnya berputar menghadapku.


"Sudah kukatakan, berlarilah sejauh mungkin hingga aku tak mampu mengejarmu," lirihnya dengan suara serak.


Aku terkejut, hanya mampu menangis.


"Kau ingin apa?" tanyaku pelan.


Luksuma tersenyum. Senyuman itu menarik pipinya sampai robek sedikit demi sedikit.


"Aku ingin kau menggantikanku, Rindu." Aku menggeleng. Luksuma berhenti tersenyum dan menatapku tajam.


"Harus."


Arghhh.


Bugh.


Deg.


Aku terkejut sekaligus menganga. Luksuma terpental jauh. Dan yang membuatku lebih terkejut adalah...


"Bapak?"


"Bapak, kenapa di sini, Pak?"


Aku terduduk, lalu mengesot mendekati Bapak. Meski wajahnya begitu pucat pasi, aku tertunduk, menangis sejadi-jadinya.


Ya Allah, ya Rabb.


Kenapa Bapakku menjadi seperti ini?


Kenapa Bapak...


Isak tangisku pecah.


"Jangan nangis, Nduk."


Aku mendongak pelan, napasku tercekat.


Suara itu... benar suara Bapak. Tapi kenapa nadanya berat, datar, dan kosong?


Tatapan mataku membentur kenyataan yang mengiris.


Sosok itu, yang tadi aku panggil Bapak, berubah tepat di depan mataku.


Kain putih membungkus seluruh tubuhnya. Wajahnya terlipat kain kafan, hanya sedikit terbuka di bagian mata yang menghitam. Kakinya tidak menyentuh tanah. Tubuhnya kini melayang perlahan, menghadapku.


Bapak... bukan Bapak lagi.


Dia pocong.


Aku menjerit sekuat tenaga.


"Dimakan, Nduk, ubi rebusnya!" ucap Bapak waktu itu. Aku tersenyum, lalu menggeleng-geleng pelan sambil menjilati telunjuk yang lengket oleh gula putih. Manisnya pas, meleleh di lidah. Aku suka sekali, rasanya benar-benar enak.


Ubi kayu yang dipanen Bapak telah dibersihkan Ibu, lalu dikukus di atas tungku. Asap dari kayu bakar memenuhi ruangan kecil kami, meninggalkan aroma khas yang hangat. Di sudut dapur, bau gosong dari ikan asin yang sedang dibakar menyebar ke mana-mana, membuat perutku makin lapar.


Bapak menumbuk segenggam cabe rawit kecil di lesung kayu, lalu menambahkan garam dan sedikit penyedap rasa. Aku tahu betul, di masa itu, sebungkus penyedap rasa adalah barang mewah. Bapak harus mengayuh sepeda sejauh tiga hingga empat jam hanya untuk sampai ke pasar. Pasar yang kini sudah dekat, hanya selemparan batu dari persimpangan rumah kami.


Ubi rebus mengepulkan asap di atas tikar anyaman buatan tangan Bapak sendiri. Taburan gula putih di atasnya menjadi pelengkap sempurna untuk lidahku.


Jangan tanyakan rasanya. Karena bagiku, itu adalah rasa paling lezat dalam hidupku. Rasa rumah, rasa kasih sayang yang utuh.


---


Gemerisik daun kering berpadu dengan suara ranting patah mengiringi langkahku. Malam begitu pekat. Dingin merambat hingga tulang, menempel erat seperti bayangan yang enggan pergi. Tapi yang membuatku menggigil bukanlah angin malam.


Melainkan... kenyataan yang berdiri di hadapanku.


Aku menatap sosok itu. Familiar. Terlalu akrab hingga membuat dadaku sesak. Lelaki itu, dulu tubuhnya tegap, bahunya kokoh. Kini, berdiri dalam diam, menatapku dalam senyap. Ada semburat penyesalan di wajahnya, atau mungkin itu hanya perasaanku saja. Tapi tidak, aku hafal benar wajah itu. Garis-garisnya, sorot matanya, semuanya.


Itu Bapak. Tak salah lagi.


“Pa... pak?” panggilku nyaris tak terdengar.


Bapak berdiri di sana. Tegap. Kopiah putih menempel di kepalanya. Kemeja putih dan sarung bermotif garis-garis membalut tubuhnya, persis seperti


terakhir kali aku melihatnya di mimpi-mimpiku.


Tapi kenapa... diam saja?


Kenapa... tidak bicara?


Kenapa tubuhku menggigil seperti ini?


Apakah ini nyata?


Atau... aku yang mulai kehilangan nalar?

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Tahlilan 12"

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel