Bab 8 _ Sekitar pu-kul satu si4ng, Mas Damar kembali mengetuk pintu kamar. Aku yang tertidur tanpa sadar pun terb4ngun.
“Fatimah, sudah jam satu. Ayo bangun, salat dulu. Nanti waktunya habis,” ucap Mas Damar dengan nada lembut, namun tegas.
Ia terus me-m4nggilku seperti itu, hingga akhirnya aku terbangun juga dan berjalan ke pintu. Saat ku-buka, kulihat wajah Mas Damar seolah ingin mengatakan sesuatu. Tapi aku langsung berbalik menuju ka-mar m4ndi tanpa berkata apa pun.
Saat melewati dapur, aku melihat tiga bungkus bakso masih utuh di meja. Aku hanya meliriknya tanpa bertanya, masih enggan bicara dengan Mas Damar karena hati ini masih terasa jengkel.
Selesai salat, jantungku berdebar saat Mas Damar tiba-tiba mendekat. Saat itu aku baru saja meletakkan mukena.
“Fatimah, makan dulu, yuk?” ajaknya dengan nada lembut.
Aku menatapnya sekilas. “Aku belum lapar. Mas Damar makan saja duluan,” jawabku datar sambil berlalu, masih menyimpan rasa kecewa. Tapi langkahku terhenti saat kurasakan pergelangan tanganku ditahan.
Aku menoleh perlahan, terkejut. Benarkah Mas Damar menyentuh tanganku? Dalam hati, aku berharap ia memelukku dan meminta maaf atas segala yang membuatku cemburu. Namun yang kulihat justru sebaliknya—Mas Damar buru-buru melepaskan tanganku, wajahnya terlihat salah tingkah.
“Ma-maaf,” ucapnya pelan sambil menunduk.
Aku menghela napas. “Maaf untuk apa?”
“Maaf kalau aku bersikap lancang.”
Aku mengerutkan dahi, heran. “Lancang?”
Ia hanya mengangguk pelan. Dalam hati, aku hampir berteriak, Mas Damar, kamu suamiku. Tidak ada yang salah dengan itu. Bahkan, aku berharap lebih.
Karena kecewa, aku pun memilih pergi meninggalkannya.
“Fatimah! Kamu mau ke mana?” tanyanya sambil mengejarku.
Aku tak menjawab. Aku tetap melangkah keluar rumah dengan perasaan bercampur aduk. Di belakangku, ia kembali memanggil, “Fatimah!”
Aku berhenti dan menoleh. Aku senang karena ia tidak lagi memanggilku “Non”, tetapi rasa kesalku masih belum reda. Terlebih karena ia seakan tidak memahami perasaanku.
“Ada apa lagi?” tanyaku tanpa senyum.
“Makan dulu, yuk.”
Aku menghela napas. Kupikir kamu mau minta maaf … ternyata cuma soal makan lagi.
“Kalau Mas lapar, makan saja dulu,” ujarku datar, lalu kembali melangkah pergi dengan langkah yang sedikit keras.
---
“Fatimah, kamu dari mana, Sayang?” tanya Ibu saat aku kembali menjelang magrib. Raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran.
Aku merasa bersalah. Hanya karena masalah sepele dengan Mas Damar, aku malah mengabaikan perasaan Ibu. Tadi aku pergi ke tempat perawatan untuk menenangkan diri, dan sempat mampir belanja karena salonnya berada dekat mall. Tempatnya lumayan jauh, jadi aku baru kembali sekarang.
Aku langsung memeluk Ibu agar ia tenang, terlebih kulihat matanya berkaca-kaca.
“Maafin Fatimah, ya, Bu. Tadi Fatimah pergi tanpa pamit karena Ibu sedang tidak di rumah.”
“Nggak apa-apa, Nduk. Yang penting kamu baik-baik saja. Ibu sempat khawatir, apalagi pas Ibu tanya Damar, dia bilang tidak tahu kamu ke mana. Ya sudah, ayo masuk. Ini sudah hampir magrib.”
Aku melepas pelukan dan berjalan bersama Ibu masuk ke rumah. Saat melewati ruang tengah, kulihat Mas Damar berdiri sambil menunduk, menyaksikan kami tanpa kata. Entah apa yang ada di pikirannya. Apakah ia juga khawatir?
Aku masuk ke ka mar, men4ruh barang belanjaanku. Tak lama, Mas Damar menyusul masuk.
“Fatimah, kamu dari mana saja?” tanyanya. Nada suaranya terdengar lebih keras dari biasanya.
Aku menoleh dan melihat wajahnya yang tampak kesal. “Memangnya Mas peduli?” jawabku spontan, tapi ucapanku terhenti karena ia tiba-tiba memelukku.
Aku mem beku. J4ntungku berdebar. Begini rasanya dipeluk suami? Rasanya hangat dan nyaman, seolah seluruh kesedihan dan rasa cemburu lenyap dalam sekejap.
Namun, momen itu tak berlangsung lama. Mas Damar buru-buru melepas pelukannya, seperti sadar atas apa yang baru saja dilakukannya.
“Maaf, aku tidak bermaksud ...,” katanya pelan lalu buru-buru keluar kamar.
Aku memandangi pintu yang baru saja ditutupnya. Ya Allah, Mas … kenapa minta maaf? Aku ini istrimu. Aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat mencintaimu.
---
Ibu datang mengetuk pintu kamar setelah magrib. Sementara Mas Damar belum terlihat lagi sejak kejadian tadi. Mungkin ia ke musholla.
“Nduk, makan dulu yuk. Baksonya sudah Ibu angetin. Mau pakai nasi juga boleh.”
Aku membuka pintu. “Lho, kenapa tadi nggak dimakan, Bu?”
Ibu tersenyum hangat. “Masa kamu yang beli, Ibu yang makan duluan?”
“Ya Allah, Bu, nggak apa-apa lah. Fatimah belinya memang buat Ibu dan Mas Damar.”
“Kita makan bareng, ya?”
Ibu menarik tanganku ke amben tengah. Mas Damar sudah duduk di sana. Ia menunduk saat aku datang bersama Ibu. Aku pun ikut duduk dengan perasaan canggung. Mungkin ia juga merasa begitu, sampai-sampai Ibu terlihat heran melihat suasana kami.
Setelah makan, aku mengajak Ibu dan Mas Damar duduk bersama. Aku mengambil belanjaan dari kamarku.
“Ini buat Ibu,” kataku sambil menyerahkan tas belanjaan.
“Apa ini, Nduk? Mbok nggak usah repot-repot. Punya menantu seperti kamu saja, Ibu sudah bersyukur.”
“Justru karena itu, Bu. Ibu sudah memberikan banyak hal baik untuk Fatimah. Jadi, Fatimah juga ingin memberikan sesuatu untuk Ibu. Biar seimbang.”
Ibu menerima tas itu dengan mata yang berkaca-kaca.
“Ini juga buat Mas,” ucapku sambil menyodorkan tas belanjaan satu lagi ke Mas Damar. Ia tampak ragu, tapi akhirnya me ne-rimanya dengan pelan dan berterima kasih.
Tiba-tiba, suara teriakan dari luar terdengar keras.
“Mak Layla! Damar! Keluar kalian!”
Beberapa orang terdengar memanggil sambil bersahut-sahutan. Ada apa ini?
---
Ba-ca selengkapnya di Kbm app
Judul Mertuaku Se la lu Di hi n4
Penulis Lisa Kanaya
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Mertuaku Se la lu Di hi n4 "
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker