"Aku akan menurut Tuan, malam ini biar aku tidur di lantai saja. Katakan saja apa yang boleh dan tak boleh aku lakukan, aku akan patuh."
Wanita yang dijodohkan padaku ini menatap penuh harap.
Harusnya aku biasa saja kan? Tapi kenapa hatiku mulai goyah, ia membuatku...
***
Wanita yang Tertawan
“Kau bukan istriku, bagiku kau hanyalah sebuah benda saja, jika kumau kapanpun bisa kucampakkan, mengerti?”
Yura yang sedari tadi menunduk hanya mengangguk saja, ia tahu posisinya yang sejak awal menjadi wanita yang tertawan.
Ghazi menatap lekat wanita di hadapannya ini, sungguh tak ada arti nyawa wanita ini bagi keluarganya, ibunya sendiri yang entah ibu kandung atau bukan yang mengantarkannya sebagai penebus utang, ia layaknya sebuah benda usang yang ditukar demi keselamatan keluarganya.
“Kau nikahi wanita itu, dengan berstatus menikah maka akan lebih memudahkanmu berbaur dengan warga,” titah Tuan Aksa yang tak mungkin Ghazi tolak. “Wanita ini tak ada artinya, terserah jika setelah tak berguna mau kau singkirkan atau kau buang, nyawanya sudah ditukar dengan utang ibunya.”
Ghazi tak pernah membantah perintah dari laki-laki yang sudah mengangkat derajat hidupnya itu dan di sinilah akhirnya wanita muda ini berada, di dalam kamarnya hanya berlutut di lantai tanpa berani bersuara satu patah kata pun.
“Angkat wajahmu!” ujar Ghazi.
Yura memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya, sejak awal ia datang ke rumah ini bahkan belum pernah melihat wajah suaminya dan kini pun ia tetap tak berani menatapnya.
“Kau tak akan lama berada di rumah ini, aku tak akan menyakitimu, jika nanti waktunya selesai maka kau boleh pergi,” ujar Ghazi lagi. Sesaat ia melihat wajah sendu Yura, netra itu berkaca dan diselimuti ketakutan, ia tak akan menyakiti gadis ini, tak pula berguna baginya, hanya beberapa bulan saja hingga misinya di daerah ini bisa tuntas dan setelahnya ia tak butuh status menikah.
“Terima kasih,” sahut Yura dengan suara yang bergetar. Ini lebih baik, setidaknya laki-laki ini berkata tak akan menyakitinya, ia tak perlu lagi merasakan sakitnya pukulan dan perihnya makian yang setiap hari menjadi makanan sehari-hari baginya.
“Rumah ini hanya memiliki satu kamar dan aku tak mau pembantu atau orang luar mengetahui soal kepura-puraan ini.”
“Aku akan tidur di lantai tuan, aku tak akan bergerak dan bersuara, aku janji,” jawab Yura penuh harap. Tolong, ia akan melakukan segala hal agar tetap di rumah ini saja, ia tak mau kembali ke rumahnya dulu yang lebih mirip dengan neraka itu.
Sesaat Ghazi tertegun, wanita ini bahkan meneteskan air mata ketika memohon agar bisa tidur di lantai, tatapnya pun penuh harap. “Kau bisa tidur di sofa panjang ini, bangunlah lebih awal dariku dan bereskan semuanya.”
“Terima kasih Tuan.” Yura langsung membungkukan tubuh tanda terima kasih. Sungguh, ini lebih baik, ini jauh lebih baik daripada dahulu yang terkadang harus tidur di dapur atau di teras belakang rumah.
Ghazi tak menjawab lagi, ia langsung beranjak dari duduknya dan berjalan menuju tempat tidurnya, esok hari ada banyak yang harus ia kerjakan dan sekarang sudah hampir tengah malam, ia harus segera tidur.
Yura merebahkan tubuhnya secara perlahan di sofa, luka di punggungnya belumlah sembuh, ia harus sangat hati-hati ketika berbaring jika tak mau luka itu semakin parah saja. Baginya sofa ini sudah sangat mewah, ini jauh lebih baik daripada tidur di lantai tanpa alas tikar sekalipun. Ia memejamkan matanya dan bersamaan dengan itu air matanya kembali mengalir, ia harus kuat, tak boleh cengeng, ini adalah tahapan awal yang harus ia lewati, setelah ini laki-laki itu menjanjikan kebebasan dan ia tak akan tertawan lagi.
Yura memeluk tubuhnya, rasanya lumayan hangat, beginilah caranya mengusir sepi selama ini, ia tak memiliki siapapun, di dunia ini hanya dirinya lah yang menyayanginya, tak ada yang lain.
***
Ghazi tak melihat wanita itu lagi di kamarnya, sofa sebagai alas tidurnya sudah sangat rapi, mungkin sebelum Subuh wanita itu sudah bangun dan pergi ke dapur. Ia baru saja selesai mandi dan hendak menuju ke ruang makan, ia melihatnya, wanita itu telah berdiri di dekat meja makan yang sudah disesaki berbagai macam hidangan.
“Duduklah,” ucap Ghazi.
“Saya berdiri saja,” jawabnya. Seumur hidup ia tak pernah makan di meja makan, harus menunggu semua penghuni rumah selesai makan barulah boleh memakan sisa sarapan mereka di dapur, itu pun jika ada makanan yang tersisa.
“Duduk,” ucap Ghazi lagi yang kali ini langsung dituruti oleh Yura.
“Mau makan apa? Biar aku ambilkan,” ujar Yura. Ia tak tahu makanan apa yang disukai oleh ‘suaminya’ ini, Mbok Inah di belakang bilang jika laki-laki ini kadang suka pilih-pilih makanan dan akan marah jika tak sesuai dengan seleranya.
Ghazi tak menjawab dan langsung mengambil roti di atas meja.
“Mau aku tuangkan susu atau air putih?”
“Air putih.”
Yura langsung mengambil gelas dan menuangkan air putih ke dalamnya.
Sesaat Ghazi bergeming menatap pergelangan tangan wanita itu yang penuh dengan luka sayatan, ia memang mengenakan kemeja lengan panjang namun sekilas ia masih bisa melihat deretan luka itu. Ada apa dengan wanita ini? Kenapa lengannya dipenuhi dengan bekas luka? Kehidupan macam apa yang telah ia lewati?
Yura bahkan tak berani menyentuh makanan di atas meja selama Ghazi menghabiskan sarapannya, wanita itu terlihat gugup dan selalu bertanya apa yang harus ia lakukan dan itu cukup membut Ghazi risih. Ia tak terbiasa dilayani, hidupnya sejak kecil tidaklah mudah, bergumul di dunia hitam sejak usia belia hingga kini menempanya menjadi manusia yang mandiri dan tak suka dilayani.
“Tak usah urusi aku, kau makan saja dan berhenti melayaniku,” ujar Ghazi.
“Iya,” jawab Yura.
“Lalu apa yang kau tungggu? Kenapa kau tidak makan?”
“Baiklah.” Yura langsung mengambil sepotong roti coklat dan perlahan mengunyahnya, rasanya begitu enak, lembut dan coklatnya begitu lezat, sebelumya ia tak pernah makan makanan seenak ini. Roti keras yang setengah basi adalah makanan sehari-hari untuknya. Ia mengusap sudut netranya, sungguh nikmat luar biasa ini membuatnya begitu terharu.
“Kenapa?” tanya Ghazi, wanita ini menitikkan air mata setelah menghabiskan rotinya. Sepertinya tak ada masalah dengan roti yang baru saja ia makan.
Yura langsung menggeleng cepat. “Rotinya sangat enak, terima kasih,” jawabnya terbata. “Terima kasih sudah mengizinkanku untuk memakannya.”
Entahlah, Ghazi pun bingung untuk menggambarkan perasaannya kini, wanita ini begitu aneh, hanya sepotong roti coklat saja sudah membuatnya sangat bahagia. “Makanlah lagi,” ujarnya pelan.
Yura langsung menggeleng cepat. “Saya sudah kenyang,” sahutnya. Sepotong roti tadi sudah lebih dari cukup baginya untuk mengganjal perutnya hingga tengah hari nanti, ia tak mau menghabiskan banyak makanan dan meyebabkan ia harus terusir dan terpaksa kembali pada keluarganya. Ia harus tetap menjaga sikapnya, hidup sudah mulai membaik di sini, pagi hari pun tak lagi dipenuhi dengan makian penghuni rumah, ia hanya ingin menghabiskan sisa waktu di rumah ini hingga akhirnya bisa bebas dan memulai hidup baru.
Bersambung…
Sudah tamat di KBM App
Follow: Ana_Yuliana
Subscribe: Wanita yang Tertawan
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Lanjut baca 👇"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker