Ku hampiri istriku yang tengah mencuci piring ketika hajatan di rumah ibuku. Kutanya, mengapa tidak mau berkumpul bersama, padahal keluargaku tengah membagikan baju couple keluarga. Bukannya menjawab, istriku malah menangis histeris …
***
SAKITNYA MENJADI ISTRIMU 1
“Dek,”
Aku yang tengah mencuci piring dengan menggendong putri kami di balik punggungku hanya mampu meliriknya sekilas. Terdengar helaan nafasnya berat, aku tahu, mungkin suamiku tengah kasihan melihat bibir ini yang memuc4t, namun tak kunjung makan meskipun hari sudah siang.
“Ada apa, Mas?”
“Dek, di dalam ada bagi-bagi baju keluarga. Mas sudah ada, tapi ibu belum ngasih untukmu. Kamu nggak mau bertanya, Dek?” Ucapnya ragu-ragu.
“Sudahlah, Mas. Tak perlu, yang terpenting Layung dan Mumtaz dapat seragam yang sama.” Timpalku cepat, aku beringsut bangkit.
“Mumtaz dan Layung tak dapat.”
“Jika kalian tak dapat, Mas tak akan memakainya.” Sambung mas Lukman.
Aku tersenyum tipis, tak berani bertanya banyak hal. Jika kedua an4kku tidak dapat seragam, itu artinya kami memang tak diinginkan untuk bersanding di esok pagi.
“Mumtaz, mana, Mas?” Tanyaku heran.
Putraku tadi mengharapkan sepotong kue lapis, karena itu makanan yang sangat diinginkannya. Tapi aku tak khawatir, mungkin suamiku sudah memberikan sepotong kue manis itu pada an4k kami selama berkumpul tadi.
“Mas, tidak tahu, Dek. Mas kira Mumtaz kembali menyusulmu ke dapur.”
Aku mendelik, jika begitu. Dimana putraku? Tidak mungkin Mumtaz main bersama sepupunya yang lain. Sedangkan aku tahu, kehadiran kami bagaikan duri.
“Nilung lihat ke kamar deh, Mas. Mungkin Mumtaz tidur,” ucapku gusar.
Perasaanku tiba-tiba tak tenang, batinku merasakan tak enak h4ti. Apalagi kami jarang kesini.
“Sini, Layung sama Bapak aja,” Mas Lukman meraih putri kami.
Aku berjalan cepat menuju kamar, lebih tepatnya gudang. Namun sudah bersih juga sedikit rapi, sempat ku bersihkan sebelum memulai pekerjaan.
Akan tetapi, ku putuskan mengintip sejenak kedepan, keluarga suamiku tengah berkumpul. Masing-masing dari mereka mencoba pakaian baru, warna cantik dan juga senada. Warna biru tua, aku pun ada gamis yang sama, tapi lebih pudar warnanya.
“Loh, Dek Nilung? Kok di situ. Ayo, ke sini aja!” Ajak Mbak Mauria. Istri dari kakak tertua suamiku, aku tersenyum sembari menggeleng.
“Mbak, apa ada Mumtaz di sana?” Tanyaku.
“Nggak ada, Dek. Mungkin main bersama yang lain. Ayo, duduk dahulu, Mbak baru sampai loh. Oh iya, bajumu mana? Coba dahulu, kebesaran nggak? Punya Mbak kegedean ini, kayaknya mau di jahit lagi,” Ujar Mbak Mauria semangat.
Ia memutar tubuhnya, wajahnya cantik, senyumnya pun manis. Ia paling baik, bagiku.
“Nilung nggak dapat! Kan, dia nggak ikut nyumb4ng.” Timpal Fauziah.
“Loh, kok gitu?” Mbak Mauria sontak menatapku, aku tersenyum canggung.
“Nilung ke belakang ya, Mbak. Kalau butuh apa-apa panggil saja,” lir!hku memundurkan diri.
Aku tidak bersedih, tak pula mengambil hati. Bagiku, kami hanyalah tamu. Aku hanyalah tamu di rumah suami. Keringat ini tak berarti, jadi untuk apa.
“Mumtaz?” Panggilku. Aku yang hampir melewati kamar yang tak lain gudang sontak berhenti melangkah. Tanganku terulur menyibak tirai, senyumku mengembang meskipun sakit h4tiku kian perih meny4kitkan.
Putraku meringkuk seraya memeluk lutut. Isak tangisnya terdengar meny4yat, kuputuskan mendekatinya dan mengusap rambutnya.
“Kok di sini? Katanya nyusul Bapak?” tanyaku h4ti-h4ti.
“Ada apa, Nak?”
Mumtaz mendongak, tak ada lagi air mata. Hanya ada jejak tetesan air yang terlihat di bulu matanya, kedua matanya berkaca-kaca. Memer4h, putraku menangis.
“Loh, ada apa ini?” Tanganku merengkuh Mumtaz. An4k laki-laki berusia 10 tahun itu menggeleng, wajahnya ia benamkan dalam pelukanku. Aku terduduk tak kuat menahan bob0t tubuhnya, semakin ku eratkan pelukanku ketika Mumtaz bertanya.
“Ibu, kue nya nggak habis kok. Mumtaz hanya makan sep0tong, sep0tong aja, nggak lebih. Tapi, Nenek marah,”
Tangan Mumtaz terangkat, aku meraih tangannya. Menggenggam tangan putraku yang bergetar, air mataku ikut mengalir ketika ia menjauh. Putraku mend0ngak, tersenyum ragu. Tangannya yang mengepal ia buka, aku menatap telapak tangannya dengan batin ses4k. Tangan pucat juga hitam ini di letakkan di atas tanganku yang terpaku di atas p4ha.
“Dua ribu,” bib!rku tergigit.
“Ini … ini untuk apa sayang?” Ku tekan dada yang p3rih. Berusaha tersenyum, walau air mata tak dapat menyembunyikannya.
Mumtaz tersenyum. Barisan giginya terlihat, ia meletakkan uwang itu di atas telapak tanganku. Kemudian tangannya ia sembunyikan ke belakang tubuhnya, jika seperti itu. Itu artinya putraku merasa bersalah, aku ibunya. Aku tahu bagaimana putraku.
“Ibu. Kata Nenek, kuenya mah4l. Mumtaz tak sanggup membelinya, apa lagi Bapak. Jadi, itu untuk beli kue baru. Kan, di pasar ada yang harg4nya dua ribu.”
Ya Allah, jalan mana yang kupilih? Semua memberatkanku, terutama an4k-an4kku.
“Dek, ada apa?”
Aku menoleh. Menatap Mas Lukman yang sedang menyibak tirai, raut wajahnya berubah pias.
“Mas, putramu bukan orang lain. Tanyakan pada ibumu, apakah seloyang kue lapis akan habis bila putraku mencicipinya? Tolong. Tanyakanlah, Mas. Hatiku s4kit melihat putraku dih!na seperti mereka mengh!naku!”
“Dek,”
Aku membuang muka. Menatap kembali Mumtaz, putraku jauh lebih tenang. Kendati air matanya sudah mengering.
“Mumtaz mau pulang?” Tawarku.
“Lihat ini? Uwang Mumtaz yang Mumtaz ambil dari celengan bambu sangat berarti sayang. Di pasar, banyak kue. Nanti ibu belikan, ya?”
🍒🍒🍒
Penulis Widyakristina13
Tersedia di KBM APP
SAKITNYA MENJADI ISTRIMU 🥀
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "SAKITNYA MENJADI ISTRIMU 🥀"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker