Trauma yang Disembunyikan Istriku

Trauma yang Disembunyikan Istriku


 Part 7


"Malam ini kalian nginep di sini aja, biar Bunda ada temennya," pinta wanita yang kata Bisma bukan ibu kandungku itu sambil meluruskan kaki di sofa.


Tadi katanya mau langsung tidur, tetapi pas sampai rumah dan ada Tiara dia lebih memilih mengobrol dengan menantunya.


"Kalau aku tergantung Tiara, Bun. Kalau dia mau, aku ngikut." Melingkarkan tangan di bahu istri karena kebetulan Bisma tengah berdiri tidak jauh dari tempat kami bercengkrama.


Lagi, bisa kulihat ada amarah serta rasa cemburu yang berusaha dia sembunyikan, dan aku suka melihat itu.


"Gimana, Sayang? Kalian nginep aja di sini ya? Bunda kangen, sudah lama nggak ngobrol sama kamu." Kini kedua mata berhias bulu lentik itu menatap ke arah menantu kesayangannya.


"Iya, Bun. Dari kemarin aku kepingin nginep di sini tapi Bunda lagi pergi," jawab Tiara, membuat senyum langsung terkembang di bibir bunda.


Diam-diam aku terus memperhatikan wajah wanita berusia lebih dari setengah abad tersebut, memang antara aku dengan dia tidak ada kemiripan sama sekali. Tetapi kalau benar-benar anak pungut, kenapa wajahku dengan papa sangat mirip, persis seperti pinang dibelah dua?


Jika ada kesempatan nanti, aku akan membahas masalah ini dengan Bunda. Pokoknya harus mengklarifikasi apa yang dikatakan oleh Bisma tempo hari.


Masuk ke dalam kamar, kebetulan hari ini tanggal merah, jadi aku bisa santai sejenak di rumah.


***


"Bun, ada yang mau aku tanyakan sama Bunda. Penting!" Aku masuk ke dalam bilik Bunda lalu duduk di sofa sambil terus menatap wajah anggunnya.


Bunda yang sedang berbaring di atas ranjang langsung berganti posisi, duduk bersila menghadap ke arahku lalu meletakkan ponsel di atas matras.


Di keluarga kami ada peraturan yang harus kami turuti, yaitu tidak boleh memainkan ponsel ketika sedang berbicara kepada seseorang.


Lagi, aku menatap wajah bunda dengan seksama, ingin memastikan apakah ada kemiripan walau sedikit saja dengannya. Karena meskipun dia lebih menyayangi Bisma, sejak dulu Bunda pun tidak pernah berbuat kasar dan tetap terlihat perhatian. Hanya saja, dia jarang menegur ketika Bisma salah, seolah memaklumi apa yang dilakukan olehnya.


Berbeda kasusnya jika aku yang melakukan kesalahan, pasti dia langsung memberikan hukuman serta terguran.


Makanya saat dewasa mental Bisma kayak tempe, menye-menye. Dia juga tidak bisa melakukan apa pun kecuali menghabiskan uang keluarga.


"Mau nanya apa? Kayaknya serius banget?" Bunda menerbitkan senyuman.


"Apa benar aku ini bukan anak kandung Bunda sama Papa?" tanyaku tanpa basa-basi.


Bukannya menjawab, wanita itu malah tertawa.


"Aneh-aneh saja pertanyaan kamu itu, Bram? Kalau kamu bukan anak kami, terus kamu anak siapa?"


"Bisma yang bilang kalau aku bukan anak kandung Bunda sama Papa."


"Astaga, Bram. Kamu kaya nggak tau sifat dia aja. Bisma kan suka ngaco orangnya. Ngapain omongan dia malah kamu percaya?!" Dia menggelengkan kepala sambil terus tertawa.


Entah hanya pikiranku yang salah, aku merasa sebenarnya Bunda terkejut ketika ditanya masalah itu, namun berpura-pura tertawa untuk menutupi ekspresi sebenarnya.


"Dia suka ngaco, tetapi untuk saat ini sepertinya dia serius."


"Sudah ah, nggak usah nanya yang enggak-enggak. Apa kamu mau tes DNA juga sama Bunda biar percaya kalau kamu ini emang anak kandung Bunda?"


Mendengar itu aku menghela nafas panjang. Kalau dipikir-pikir, sepertinya memang Bisma yang sengaja ingin memanasi dengan cara mengatakan bahwa aku bukan anak kandung, supaya merasa minder berujung terpuruk karena masalah ini.


Dasar sekalinya pecundang, selamanya juga akan menjadi pecundang. Tidak berguna, hanya bisa menghabiskan uang keluarga juga memanipulasi keadaan.


"Yasudah kalau begitu aku permisi dulu, Bun. Maaf sudah mengganggu waktu istirahat Bunda," pamitku kemudian, lekas keluar dari dalam bilik besar yang ditempati olehnya.


Tiara tengah membersihkan wajah di depan cermin ketika aku masuk ke dalam bilik. Dalam pantulan kaca tanpa sengaja pandangan kami saling bertemu, menghadirkan getaran aneh seperti biasa ketika tatapan kami saling beradu.


Aku memilih duduk di tepi ranjang, merasa canggung apa yang harus dilakukan.


Aku sudah biasa bergonta-ganti pasangan, terbiasa hidup liar bahkan selalu membuat setiap wanita yang sudah menghabiskan malam bersamaku akan ketagihan, tetapi ketika sedang bersama Tiara tubuh ini mendadak terasa kaku, sudah persis lelaki cupu yang baru mengenal wanita.


"Aku tidur dulu. Kalau kamu butuh sesuatu bilang saja. Bagunin aku, nggak usah ragu," ucapku sambil merebahkan tubuh, berharap Tiara merespons dengan senyuman.


Namun dia hanya menganggukkan kepala, lalu kembali melanjutkan kegiatannya membersihkan wajah yang memang sudah cantik dari sananya.


Malam kian merangkak larut. Meski sudah berusaha memejamkan mata, aku masih tetap saja terjaga, sebab ada sesuatu yang ingin tersalurkan namun tidak bisa. Aku tidak mungkin kembali memaksa Tiara, karena itu akan membuat dia semakin tidak suka.


Ketika hendak keluar untuk sekedar mencari angin segar aku merasa ada seseorang sedang berdiri di depan pintu. Sepertinya Bisma sengaja menguping, mungkin ingin tahu apa yang sedang aku dan Tiara lakukan.


Sengaja aku membuat suara seolah kami sedang melakukannya, agar Bisma semakin panas mendengarnya.


Ketika menoleh ke arah ranjang Tiara ternyata tengah memperhatikan, membuatku merasa malu karena tengah mende sah de sah sendiri.


Sambil menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal aku berjalan mendekat, salah tingkah.


"Bisma nguping di luar, jadi aku sengaja mengerjainya," terangku meski dia tidak bertanya apa-apa.


Tiara lalu turun dari tempat tidur, mengikat rambutnya yang terlihat sedikit berantakan dan ternyata dia malah keluar dari kamar.


Aku membuntut di belakangnya, penasaran dengan apa yang hendak ia lakukan.


Apa jangan-jangan ingin memeriksa apakah benar-benar ada Bisma di depan bilik kami?


Sebuah siluet hitam terlihat berkelebat cepat. Sepertinya benar dugaanku, kalau Bisma sengaja menguping dan ingin tahu.


Dasar kurang kerjaan, terlalu terobsesi dengan Tiara sampai rela melakukan apa saja.


***


"Duh, pengantin baru seger banget pagi-pagi keramas?" sapa Bunda ketika aku bergabung dengannya di meja makan.


Aku menoleh ke arah Tiara, berharap dia tidak menampik ucapan ibu mertuanya. Aku hanya ingin membuat Bisma sadar kalau wanita yang didamba sudah ada yang memilikinya.


Menarik kursi, pelan-pelan mendaratkan bokong lalu mengambil sepotong roti dan mengolesnya dengan selai kacang lalu menyerahkannya kepada Tiara.


"Tiara tidak suka selai kacang. Dia sukanya selai srikaya, dan sebagai suaminya seharusnya lu tau dari hal sesepele itu!" ucap Bisma seolah ingin menunjukkan bahwa dia lebih mengetahui siapa Tiara dibandingkan aku.


"Nggak apa-apa, Mas. Aku doyan juga kok. Terima kasih!" Wanita di sebelahku berkata sambil menerima roti dari tangan ini.


Aku tersenyum puas melihat reaksinya, sementara Bisma terlihat begitu kesal karena lagi-lagi tidak mendapat pembelaan dari yang dicintainya.


"Makan yang banyak, Tiara. Biar banyak tenaga buat ledenin Bram!" goda Bunda sambil mengerling nakal, membuat Tiara tersipu malu karenanya.


Tar!


Kami semua menoleh ke arah sumber suara saat mendengar suara sendok beradu dengan piring. Sepertinya Bisma mulai terpancing emosi dengan obrolan kami pagi ini.


"Kamu mau ke mana, Bisma? Habiskan dulu sarapan kamu sebelum pergi!" Bunda bertanya ketika melihat anak kesayangannya meninggalkan meja makan padahal belum selesai sarapan.


*


"Kita jalan yuk, aku mau beli sesuatu buat kamu," ajakku setelah selesai sarapan, karena ingin terus mendekati wanita itu dan mengambil hatinya.


"Aku lagi kepingin di rumah!" jawab Tiara singkat, tanpa menoleh.


"Tapi aku kepingin ditemenin jalan sama kamu."


"Ajak saja salah satu teman kencan Mas Bram. Biasanya juga begitu kan?"


Mataku terkesiap mendengar jawaban yang keluar dari mulut Tiara, tidak menyangka kalau dia akan memberi respons seperti itu.


"Apa salah jika seorang pendosa ingin mengubah hidupnya, Tiara? Aku sadar masa lalu aku itu kurang baik dan penuh dengan dosa, akan tetapi apa tidak ada kesempatan untuk aku mengubah diri menjadi yang lebih baik lagi? Apa kamu akan terus membiarkan aku terjerumus ke dalam lembah maksiat, Tiara?


Oke, aku sadar aku sudah membuat kesalahan besar, tetapi itu hanya kesalahan pahaman saja. Aku melakukan itu karena Bisma mengatakan bahwa dia pernah tidur sama kamu, bahkan adikku itu mengirimkan video syur kamu ke aku.


Aku merasa kecewa dan merasa dibohongi, sebab selama ini selalu berusaha untuk menunggu sampai kamu bersedia menyerahkan segalanya, karena aku pikir kamu seorang perempuan paham agama yang selalu bisa menjaga diri, makanya melihat itu aku merasa begitu kecewa dan melampiaskan kekesalan itu sampai aku menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh Bisma itu tidak benar.


Setiap detik setiap waktu aku selalu dihantui oleh rasa bersalah, apalagi saat melihat kamu mengigau dan terus meracau.


Aku hanya ingin menjadi orang baik, Tiara. Aku cuma mau berubah!"


Tiara hanya diam sambil memainkan ujung hijab.


Semoga saja dia mau mengerti dan memaafkan diri ini.


Selengkapnya bisa dibaca di aplikasi Fizzo, gratis sampai tamat.

Judul: Trauma yang Disembunyikan Istriku

Penulis: Ida Saidah

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Trauma yang Disembunyikan Istriku"

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel