Naya bergidik.
Dalam pikiran Naya terbayang, semua temannya tertawa mengejek. Lantas, menjauhi dan tidak ada seorang pun lagi yang mau berteman dengannya.
Karena, ia telah ternoda.
Ia berbeda.
Ia akan tersisih, lalu bergelut sepi.
Sendiri.
----
HANYA GADIS KECIL
Bab 6
Air mata Naya bergulir di wajahnya yang masih pasi. Ia bergelung memikirkan nasib yang menderanya terlampau ke jam. Pada seringai wajah yang sudah menghancurkan masa depannya. Laki-laki itu masih ada di sekitarnya. Untuk selanjutnya pun mungkin akan tetap menunggunya di sana, di sisi gubuk yang tidak berpenghuni itu.
Satu kata pun tak sanggup ia ungkapkan. Perih di dada pada siapa akan diluahkan. Jika sampai ia membuka mulut, sungguh ia tidak tahu entah seperih apa lagi takdir akan di temui, dari bina tang berwujud manusia itu.
"Naya."
Suara Lilis terdengar memecah di telinga Naya. Rasanya ia baru saja terlelap. Seuntai mimpi baru saja ia rangkai, tapi dipaksa kembali terjaga oleh suara itu. Gegas Naya bangkit dari pembaringan, tidak ingin emosi Lilis mendera raganya lagi. Seperti biasanya.
Namun, ia tergagap ketika sosok ibunya itu berdiri tidak jauh darinya. Bukan dengan tatap mata menyalakan amarah, seperti biasa.
"Kamu mau ke mana, Nak?"
"Ibu," ujarnya gugup.
"Ayo, makan dulu, ada sop daging baru dibelikan bapak untukmu. Kita makan sama-sama ya."
Naya mengangguk, mengikuti langkah Lilis ke belakang, sepetak ruangan tanpa sekat dengan dapur. Di lantai beralaskan tikar pandan usang, Jaka sudah menunggu. Di depannya, nasi panas yang masih mengepulkan asap terhidang, dilengkapi semangkok sop, tempe goreng, sambal, dan lalapan.
Naya duduk dengan gugup di sisi Jaka. Bagaimana ia tidak merasakan lain dengan semua keadaan ini. Ini adalah kali pertama mereka duduk makan bersama sebagai keluarga, layaknya keluarga normal pada umumnya. Biasanya, Lilis dan Jaka makan kapan pun mereka mau, sementara Naya baru boleh mengisi perut, ketika semua tugas-tugasnya usai. Dan, ia harus rela dan terima dengan lapang dada, ketika yang ia temui di dalam lemari kayu di pojok dapur, hanyalah sisa-sisa lauk.
Lilis mengisi piring Naya dengan nasi, lalu menyodorkannya beserta mangkok yang berisi sop pada Naya. Ia melihat perubahan pada warna muka Naya. Lilis paham itu. Naya tentu masih kaku atas perubahan sikapnya. Apalagi ini adalah hari kedatangannya kembali ke rumah ini, setelah sekian lama berada di rumah sakit. Biasanya, jangankan melayaninya dengan senyuman, bahkan ia menatap Naya hanya dalam ama rah dan keben cian.
Ibu macam apa dia sebenarnya?
Bahkan seekor harimau saja, sayang dan rela berkorban untuk anak-anaknya. Sedangkan dia?
Tidak!
Untuk ke depannya, ia akan menjadi lebih baik. Demikian janji yang diikrarkan Lilis dalam hatinya. Sungguh ia tidak ingin kejadian serupa terjadi pada Naya lagi. Sekarang saja hatinya sudah sangat perih memikirkan nasib Naya yang buruk. Masa depan anaknya itu sudah terko yak. Harus bagaimana ia bersikap, agar Naya bisa memiliki kepercayaan diri lagi. Tentu saja psikologi anak itu terguncang hebat.
Bahkan pada seorang pria asing pun ia akan menjadi sangat takut.
"Makanlah, Nak," seru Jaka. Ia melihat Naya hanya tercengang, menatap ia dan Lilis bergantian, tanpa menyentuh makanan di hadapannya.
"Kenapa Bapak dan Ibuk ndak makan sop ini?"
Naya membuka suara. Ia heran melihat kedua orang tuanya itu hanya memakan nasinya dengan tempe goreng, lalapan dan sambal saja. Sementara semangkok sop yang jarang sekali ada dalam deretan menu di rumah ini, hanya diletakkan di hadapannya.
"Sop itu bapak belikan buat kamu, Nay. Makanlah, biar kondisimu cepat pulih," jawab Jaka.
"Iya, Nay, biar kamu lekas sehat, dan bisa sekolah kembali. Kamu pasti rindu pada temanmu di sekolah 'kan?" tambah Lilis.
Bukannya tambah semangat makan, perkataan Lilis justru semakin membuat Naya dilanda kegundahan. Ia belum sedikit pun memikirkan untuk kembali ke sekolah. Ia masih bimbang dengan apa yang telah terjadi pada dirinya sendiri. Rasa sakit yang sudah ditorehkan b*jingan itu pada dirinya, entah kapan akan hilang dari pikiran.
Ia sangat malu.
Jangankan untuk bersikap biasa, bermain dengan riang dengan semua temannya, untuk beradu tatap dengan mereka saja, ia merasa lain. Bagaimana mereka semua akan memandangnya, sementara ia telah terno da?
Naya bergidik.
Dalam pikiran Naya terbayang, semua temannya tertawa mengejek. Lantas, menjauhi dan tidak ada seorang pun lagi yang mau berteman dengannya.
Karena, ia telah ternoda.
Ia berbeda.
Ia akan tersisih, lalu bergelut sepi. Sendiri.
Dan, satu lagi yang membuat rasa takut bersarang kuat dalam dadanya. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu akan tetap menunggunya di sana, setiap pulang sekolah. Lalu, melakukannya lagi. Lagi, dan lagi, tanpa ampun.
Naya bergidik.
Tidak!
"Kamu kenapa, Nak?"
Suara Lilis mengembalikan kesadaran Naya. Tubuhnya merasakan dingin teramat sangat. Keringat bercucuran di seluruh tubuhnya.
Lilis terkejut melihat perubahan di wajah anaknya itu. Wajah Naya tiba-tiba berubah menjadi pucat pasi, sementara keringat sebesar biji jagung membasahi wajahnya. Ia seperti tengah dilanda ketakutan.
Diraihnya tubuh Naya, lalu membawanya ke pelukan.
"Pak, Naya kenapa ini?" tanyanya kembali gusar.
Jaka membasuh tangannya. Lalu ikut meraba dahi Naya. Ia merasakan suhu tubuh anaknya itu sangat dingin. Ia cukup terkejut. Padahal ketika pulang tadi, Naya sudah terlihat sangat sehat. Ia hanya sedikit lemas.
"Pindahkan dulu makanan Naya, Bu. Aku akan menggendongnya ke kamar," titah Jaka yang langsung ditanggapi Lilis cepat.
Ia bergerak cepat, mengangkat nasi yang belum sempat disentuh Naya ke atas meja, dan menutupnya. Lantas langkahnya bergerak mengikuti Jaka yang membopong Naya ke kamar.
"Ke kamar kita saja, Pak," ujar Lilis.
Jaka mengangguk. Ia bergerak cepat. Ia membaringkan tubuh Naya di ranjang usang milik mereka.
"Selimuti ia, dan ... Biarkan ia tidur dulu. Nanti jika tubuhnya udah enakan, baru disuruh makan."
Lilis menuruti perintah suaminya. Diselimuti tubuh Naya yang dingin. Lalu tangannya mengusap-usap kepala anaknya itu. Sebongkah daging dalam dada merasakan nyeri kembali. Entah apa yang tengah dirasakan Naya saat ini, ia tidak tahu. Entah rasa sakit atau malah trauma yang menjerat.
***
Matahari sudah tergelincir ke barat. Lilis sibuk dengan pekerjaan yang sudah lama tidak ia tekuni. Membersihkan rumah. Sejak Naya berusia lebih kurang tujuh tahun, hampir semua pekerjaan rumah beralih pada Naya. Semua pekerjaan rumah, dari mencuci, membereskan rumah, mencuci piring, bahkan memasak nasi, menjadi tanggung jawab Naya. Ia hanya duduk berleha-leha dengan ponsel pintar yang ia beli usang pada temannya dulu.
Tugasnya di rumah itu, hanyalah memasak, jika sedang rajin. Tetapi jika malasnya memuncak, ia hanya membeli beberapa potong lauk saja di warteg.
"Ibuk."
Naya muncul dari dalam kamar, berjalan tertatih mendekati Lilis yang baru saja usai dari pekerjaannya.
"Kamu udah bangun, makan dulu ya ...."
Naya menggeleng lemah. Perutnya memang lapar, menggeliat minta diisi. Tidak ada apapun yang ia makan sejak pulang dari rumah sakit tadi. Tetapi ada hal penting yang ingin ia katakan terlebih dahulu pada kedua orang tuanya.
Naya duduk di samping Lilis, melantai di sisi pintu kamar, menghadap ke lemari usang samping jendela.
"Aku ... ndak mau sekolah lagi ...."
Ucapan Naya tak urung membuat Lilis tersentak. Ia kaget, tidak menyangka Naya akan mengatakan semua itu. Yang ia tahu, selama ini Naya adalah anak yang rajin. Semangat bersekolah, meski ia harus menahan lapar seharian tanpa sarapan dan uang saku. Akan menangis terisak, jika Lilis mengancam tidak memperbolehkan lagi ia sekolah.
Namun, sekarang tiba-tiba Naya menyatakan keinginannya untuk berhenti sekolah.
Ada apa?
Apa semua ini karena rasa trauma yang bergelayut dalam kepalanya?
"Kenapa?"
"Aku ... aku ...."
Naya ragu ingin meneruskan kalimatnya. Ditatapnya mata sang ibu yang menunggu jawaban.
"Kamu takut?"
Naya tidak menjawab. Cuma kepala yang ia anggukkan sebagai jawaban.
Lilis merangkul tubuh anaknya itu, ia benamkan ke dalam rengkuhan kedua lengannya. Hal yang dulu nyaris tidak pernah ia lakukan. Sesungguhnya dalam hati, ia ingin memberikan kenyamanan dalam hati Naya. Sebagai penawar rasa takut yang pasti tengah mengungkungnya.
Bersambung
----
Sudah tamat di KBM App
Judul : Hanya Gadis Kecil (TAMAT)
Penulis : Sylvia Basri
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di kolom komentar
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Hanya gadis kecil 6"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker