Tamu undangan mulai berdatangan. Banyak mobil dan motor yang terparkir di luar pagar, lumayan ada lahan kosong di depan rumahku, dan belum dibangun rumah, jadi kendaraan bisa terparkir ke sana. Dikarenakan memang kumayan banyak yang datang dengan kendaraan pribadi.
Aku sudah siap dengan gaun tanpa lengan melekat sempurna di tubuhku. Dihiasi dengan interior mewah pada bagian dada. Serta perpaduan kombinasi dengan warna maron yang lebih dominan dari pada warna cotsu. Menambah kesan mewah yang berkali lipat. Gaun ini desain oleh disainer kenalanku.
High high heels berwana senada menutupi sebagian besar punggung kakiku, dengan tinggi tiga centimeter membuat tubuhku terlihat ramping dan lebih tinggi walau sekarang aku sedang hamil.
Rambut aku biarkan tergerai dengan indah, agar menambah kesan lebih awat muda di usiaku yang sudah 30 tahun.
Mas Daffa menghampiriku, tatapannya menyiratkan kekaguman serta binar mata yang membuatku tersipu malu. Pria itu tidak kalah tampan menurutku, kemeja berwarna maroon dengan memakai jas berwarna hitam dari luar. Acara pengajian dan santun anak yatim sudah kami adakan tadi pagi. Jadi sekarang pakaianku sedikit lebih terbuka dari tadi pagi yang memakai hijab instan.
"Kau membuatku terpukau, Sayang." Pria itu berbisik di telinganku membuat aku merasakan sensasi hangat dari napasnya.
"Mama, Papa," Aqilla yang sejak tadi bersama dengan pangasuhnya berlari ke arah kami. Anakku tidak kalah cantik dengan gaun yang di desain sama denganku.
Mas Daffa langsung menggendong putrinya dan menarik tanganku untuk berdiri di depan untuk menyambut tamu.
Dari kejauhan, aku melihat ibu dan ipar-iparku mulai masuk, mereka terlihat kagum saat memandangi rumahku.
"Itu Airin dan Daffa." Mbak Ghita berbisik namun aku masih dapat menangkap apa yang ia katakan.
Mereka menghampiri dengan gaya angkuh.
"Pembantu dan tukang pasang tenda pakai baju beginian, ha ha ha," Ibu mengejek sambil menatap aku dari atas hingga bawah.
Aku tidak menghiraukan ibu, lebih fokus memberikan senyum dan sapaan pada tamu undangan lain.
"Acaranya mewah ya buk, pak," seorang pria berkata sambil tersenyum pada kami.
Sontak mendengar itu ibu dan iparku yang lain tertawa keras.
"Buk? Pak? Ha ha, mereka pembantu di sini, tuan rumah bukan mereka," kata ibu di sela-sela tawanya.
"Iya, si Airin juga soksoan anggun begitu, biasnya juga seperti orang gila di dapur."
"Tau diri dong,"
"Minggir aku mau ketemu sama tuan rumah, kami tamu terhormat di sini, bukan kayak kalian diundangan juga enggak, niat mau makan mewah, itu amplop pasti isi dua ribuan," kata Mbak Ghita menuruh, ia mendorongku dan berusaha masuk, namun sebelum itu aku mencekal tangannya kuat hingga membuat langkahnya terhenti.
"Kau tidak kenal aku?" tanyaku, wanita itu tersenyum.
"Airin kan? Pembantu nggak tau diri?" tanya wanita itu.
"Bagaimana jika aku mengatakan bahwa aku tuan rumah?"
Bukannya terkejut atau melongo mendengarkan pernyataanku. Mereka semua malah tertawa terbahak-bahak seolah apa yang baru saja aku katakan adalah sebuah lelucon.
Mas Daffa yang menyaksikan bagaimana tanggapan keluarganya hanya mampu menggepalkan kedua telapak tangannya kuat-kuat. Dengan begitu banyakknya kejanggalan selama ini yang memang menyatakan bahwa kami benar kaya, namun mereka tidak sama sekali percaya.
"Tidur dulu kalau mau mimpi Rin, kan jadinya anak kamu jadi malu sendiri pas tau mak bapaknya tukang halu." Ibu menyahut sambil menepuk singkat bahu putriku yang berada di dalam gendongan papanya.
"Kau ingin aku mempermalukan dirimu?" tanya Mbak Ghita menantang.
Aku tidak sama sekali takut. Kedua manik mata ini membalas tatapannya dengan begitu percaya diri. Namun, Mas Daffa menahan tanganku. Pria itu mencoba menjelaskan sesuatu lewat sorot matanya namun aku tidak bisa menyimpul apa yang ia maksud.
"Eh, Ibu yang kemarin, kan?" Anggun, sepupuku yang selama ini menggelola toko emas menunjuk ibu dan bersikap ramah.
"Di undang di sini juga?" tanya wanita itu, dengan senyuman khas yang melengkuh di kedua sudut bibirnya.
Ibu tidak menjawab, wanita itu berusaha menghindar. Seperti orang ketakutan namun pura-pura bersikap biasa saja.
"Buk ini saya loh, yang di toko emas kemarin," Anggun berusaha memperkenalkan dirinya, aku yakin bahwa wanita itu sengaja menaikkan volume suaranya. Mungkin agar orang-orang yang berada di sekeliling terfokus pada wanita itu.
"Eh masa lupa. Ibu yang jual emas tapi ngelunjak itu kan? Jual emas seharga 10juta minta di beli emasnya seharga 20juta," Anggun terkekeh geli.
Ibu bahkan tidak merespon sedikit pun. Wanita itu masih berusaha menghindar hingga membuat Anggun kesal sendiri. Dengan lembut namun cepat, sepupuku itu berhasil menarik tangan ibu agar tidak pergi.
"Kemarin jual emas karena mau ke sini, ya buk? Makan yang banyak ya, biar nggak rugi sama amplopnya," setelah mengatakan hal tersebut anggun melepaskan tangan ibu.
Bukannya mereka melenggang pergi, Mbak Kania mendekati anggun dan hendak melayangkan tamparan.
Namun dengan sigap aku mencegah tangannya.
"Malu tau, kan anda orang kaya, masa gitu cara mainnya?" tanyaku sambil menghempaskan tangannya kasar.
Mungkin karena sudah terlanjur kesal. Akhirnya mereka memilih pergi meninggalkan kami.
Bersambung ...
Cerita ini sudah tamat di kbm app
Judul : MEMBALAS MULUT IPAR DAN MERTUA DI HAJATAN MEWAHKU
penulis : Annisaryn
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "MEMBALAS MULUT IPAR DAN MERTUA DI HAJATAN MEWAHKU"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker