Rahasia Menantu Bungsu prt3

Rahasia Menantu Bungsu prt3


 SALMA POV


“Saaah!” Aku menghela napas dalam, segala rasa berkecamuk di dalam dada.


Bagaimana tidak? Aku harus menikah dengan lelaki yang sama sekali tak kucinta, bahkan tak kukenal sebelumnya.


Dia adalah Muhammad Akbar, seorang pemuda yang berasal dari keluarga biasa saja. Tapi bagaimana pun aku harus menerima skenario Tuhan yang penuh dengan kejutan ini. Terlebih, aku tidak ingin membuat Ayah dan Nenekku malu.


Undangan sudah tersebar, tapi tiba-tiba Gilang menghilang begitu saja. Bahkan sampai detik ini, nomornya masih tak bisa dihubungi.


“Bapak gak mau menanggung malu, semua sahabat dan kerabat sudah menerima undangan pernikahanmu, Salma. Jadi, terpaksa Bapak menikahkanmu dengan Akbar, anak dari almarhum sahabat lama Bapak dulu.”


“Memangnya Bapak tega menikahkan Salma dengan lelaki yang tidak Salma kenal?” tanyaku mencoba bernegosiasi.


“Kan nanti bisa kenalan kalau udah nikah.”


“Pak—”


“Dia memang tidak sekaya raya Gilang, tapi dia lebih tampan dibanding lelaki be—jad itu. Bapak yakin kamu pasti suka.” Aku mengembuskan napas panjang, bingung harus menjawab apa. Bapak pasti lah malu jika pernikahan ini tak terjadi, secara sudah banyak sekali kawan sejawat beliau yang menyumbang dana secara suka rela untuk pernikahan anaknya ini.


“Tapi Salma punya syarat, Pak.” Aku berujar dengan serius.


“Syarat? Syarat apa, Nak?”


“Salma gak mau menikah di Kota, Salma mau hidup di sini saja!” ucapku. Bapak terdiam sejenak. Aku memang sudah muak hidup di kota, selain untuk menghindari ibu sambungku yang memiliki sikap menyebalkan, aku juga ingin hidup damai di tempat ini.


“Ide bagus. Akbar ‘kan orang sini juga, jadi bisa mengadakan hajatan besar juga.”


“Nggak, Pak. Salma gak mau mengadakan pesta. Salma gak mau dipandang orang yang memiliki harta atau pun fasilitas. Salma ingin dipandang biasa saja. Salma mohon, Pak. Jangan hancurkan apa yang sudah Salma bangun di sini. Salma bosan didekati manusia-manusia yang datang saat ada maunya saja.” Bapak terdiam lagi, kemudian menyunggingkan senyuman lebar sembari mengangguk.


“Baik, kalau begitu. Bapak gak akan merusak personal branding yang sudah kamu bangun. Tapi, mau tidak mau beberapa waktu ke depan nanti, kamu harus kembali ke kota bersama Akbar untuk mengadakan resepsi. Ya, untuk menghargai kawan-kawan Bapak yang sudah memberikan sumbangan maupun hadiah.” Tanpa pikir panjang, akupun menyanggupinya.


***


Selepas menikah dengan Akbar, aku dikejutkan dengan keadaan keluarga—maksudnya—sang Ibu, yang begitu memprihatinkan.


Sebenarnya, keluarga Akbar ini termasuk orang yang berada zaman dulunya, terlihat dari bangunan rumahnya yang semi permanen, khas rumah orang-orang berpunya di kala itu.


Tapi setelah kepergian kepala keluarga di rumah ini, perekonomian mereka berubah drastis. Apa lagi semenjak kedua kakak Akbar menikah dan mendatangkan kedua menantu yang sifatnya seperti ular-ular dari neraka.


Ibu mertuaku tak lagi memiliki apa-apa, bahkan sertifikat rumah ini saja katanya digadaikan pada anak sulungnya untuk biaya pemakaman mendiang ayah mertuaku dulu.


Kini, Ibu mertuaku hanya bisa bergantung pada anak-anaknya. Dan yang sering diandalkan itu adalah anak bungsunya, tak lain tak bukan adalah suamiku sekarang. Sedang Akbar sendiri hanya seorang serabutan, dia tak memiliki pekerjaan tetap imbas kuliahnya yang tak selesai.


“Akbar itu anaknya Pak Sigit, sahabat lama Bapak dulu. Dia sempat membantu Bapak saat perusahaan kita hampir bangkrut. Tapi setelah itu Bapak tak pernah bertemu dia lagi karena waktu itu Bapak harus pindah ke luar kota. Dan saat Bapak bisa pulang kampung, dia sudah nggak ada. Makanya Bapak pengen balas budi sama dia, Sal. Bapak mau Akbar kerja di kantor kita setelah kalian menikah. Tapi setelah cabang di Kecamatan Puncak Manggis selesai, Bapak mau pindahin Akbar lagi ke sana supaya kalian gak perlu jauh-jauhan,” ucap Bapak kala itu.


Makanya, sekarang Akbar masih berada di kota. Bekerja di perusahaan Bapak yang cabangnya sudah di mana-mana. Sedang aku memilih tinggal di sini, rasanya tidak tega meninggalkan Ibu mertuaku yang sudah renta dan sering kali dimusuhi kedua menantunya.


“Ya ampun, Mak Cici. Itu belanjaan siapa? Belanjaan Neng Aliyah, ya? Apa belanjaan Neng Devi?” tanya tetangga saat melewati rumah ini yang kebetulan terasnya tengah dipenuhi barang-barang elektronik baru.


“Bukan, Teh Ayu. Ini belanjaan menantu bungsu saya, Neng Salma.” Ibu menyahut.


“Hah? Masa sih? Emangnya punya duit dari mana? Oh … dari Akbar yang baru pulang dari kota, ya?” tanyanya lagi seraya menatap Akbar yang baru saja datang, entah kapan dia pulang dari Kota, bahkan dia tak mengabari terlebih dulu.


“Bukan, Teh. Ini memang belanjaannya Neng Salma. Kalau Akbar memang baru pulang barusan.”


“Oh, iya-iya. Lagian kerja jadi OB mana bisa belanja sebanyak itu, kalau anak Ibu yang di mini market sama di pegadaian baru bisa.” Lagi, mereka hobi sekali menggunjing ibu mertuaku dan anak bungsunya.


“OB kerjaan halal, Bu. Uangnya berkah walau gajinya cuma sedikit,” balasku gemas.


“Miskin saja sombong!” katanya lagi, kemudian berlalu sambil membawa payungnya yang berwarna merah itu.


“Sudah, jangan didengar, Neng. Lebih baik kita masuk, ya. Akbar, kamu juga pasti capek. Ibu lagi masak nasi, sebentar lagi matang. Ayo, ayo.” Ibu meraih kedua tangan kami, mendadak rasanya canggung saat pandanganku bertemu dengan pemilik mata bulat itu.


***


“Terima kasih, ya. Sudah menjaga Ibu di sini.” Refleks tanganku yang tengah menggulirkan layar ponsel terhenti saat mendengar kalimat itu.


“Bapakku apa kabar di sana?” tanyaku tanpa menatapnya. Jujur saja dia memang memiliki paras yang tampan, rambutnya sedikit ikal bergelombang, matanya bulat berbinar, bibirnya tidak tipis tidak juga tebal, hidungnya mancung dengan wajar. Tapi entah kenapa aku belum bisa jatuh cinta padanya.


“Baik, Bapak sangat baik.”


“Kamu kenapa pulang? Disuruh Bapak? Pulang kok gak ngabarin dulu.” Aku mengomel.


“Gimana mau ngabarin, nomor ponselmu saja aku gak punya.” Hampir saja aku tersedak ludah sendiri.


“Eh, mau ngapain?” tanyaku bingung saat Akbar duduk di ranjang yang sedang kusinggahi.


“Mau tidur.”


“Loh? Jangan di sini. Tidur di tempat lain saja!” perintahku kesal, masa iya aku harus satu ranjang dengannya.


“Di mana? Di lantai? Aku capek, perjalanan dari Jakarta sangat jauh. Takut masuk angin kalau tidur di lantai.”


“Ya … di mana, kek. Di kamar Ibu, kek! Di ruang tamu, kek!” balasku lagi grogi. Jelas seperti itu karena selama ini aku belum pernah tidur dengan lelaki mana pun.


“Kamu saja yang di kamar Ibu,” ucapnya sambil berbaring.


“Ih! Pergi-pergi!” Aku mendorongnya, tapi dia tetap membatu. Dan aku terus berusaha mengusirnya dari sini.


“Ibu Salma yang terhormat, ini kamar saya, dan saya berhak melakukan apapun!” katanya sambil terduduk kembali.


“Ya jangan malam ini juga, lah! Besok saja, gantian. Oke?” Aku bernegosiasi, dia menggeleng, membuatku kembali mendorong tubuhnya.


Brakkkk!


Suara itu tetiba saja mendominasi ruangan, bersamaan dengan jatuhnya kami bersama ranjang reyot ini.


“Astagfirullah! Akbar, Neng Salma! Kalian gak apa-apa?” Ibu tiba-tiba masuk dan mendekati kami dengan tergopoh-gopoh. Diikuti kedua anak dan menantunya.


“Haduh … roboh lah ranjang peninggalan Bapak. Kalian kalau mau bertempur pelan-pelan dong, ah!” ucap Kang Aris dengan wajah kesal sambil memegangi ranjang yang bentuknya sudah tak karuan ini.


Judul : Rahasia Menantu Bungsu

Penulis : Azu Ra

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Rahasia Menantu Bungsu prt3"

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel