“Neng, lagi apa? Kok kayak bingung?” Refleks aku menjauhkan layar ponsel saat mendengar suara Ibu.
“Oh, enggak, Bu. Salma lagi lihat berita di sosmed, hehe.” Aku terpaksa berbohong, karena tidak mungkin juga aku mengatakan sedang membaca laporan perusahaan dari Bapak.
“Sudah dulu nonton beritanya, Neng. Dari tadi Neng belum sarapan,” ujarnya. Aku tersenyum, ternyata begini ya rasanya diperhatikan oleh seorang Ibu.
Aku memang hampir lupa bagaimana diberikan cinta yang penuh oleh sosok ibu, karena peran penting itu sudah pergi lebih dulu sejak aku duduk di kelas satu SD. Selang beberapa saat Bapak menikah lagi, tapi tak kutemukan kedamaian atau pun kehangatan pada ibu sambungku. Tak jarang dia mengarang cerita tentangku di hadapan Bapak, menjatuhkanku demi menaikkan anaknya sendiri. Beruntung, Bapak selalu netral. Tapi tetap saja aku muak jika harus hidup satu atap dengannya.
“Ibu sendiri kok malah bawa lap? Ibu sendiri belum sarapan, ‘kan?”
“Tanggung, Neng. Kaca rumah belum dibersihin, soalnya mau ada tamu.”
“Tamu? Siapa, Bu?” tanyaku penasaran, selama tinggal di sini baru sekarang Ibu bilang akan ada yang berkunjung.
“Besan, Neng. Ibunya Aliyah.” Bibirku langsung membulat seraya mengangguk-angguk, tapi entah kenapa perasaanku malah tidak enak.
“Kenapa kacanya harus dibersihin, Bu? Memangnya mereka mau duduk di kaca?” tanyaku, tapi Ibu malah tertawa pelan.
“Nggak, Neng. Tadi Aliyah suruh Ibu bersihin kaca-kaca jendela, Ibunya memang super apik. Gak suka kotor.” Dahiku langsung mengernyit mendengar penuturan beliau.
“Bu, kaca jendela ‘kan sudah dibersihin sama Salma kemarin lusa. Tuh, masih kinclong!” ucapku setelah berdiri dan mencolek kaca.
“Gak apa, Neng. Takut Aliyah ngomel.” Ibu menjawab dengan begitu tenang. Terbuat dari apa sih hatinya sampai setulus itu?
“Bu, sekali-kali Ibu nolak, dong. Ini ‘kan rumah Ibu juga.”
“Sertifikat rumah ini ‘kan masih di tangan Aris, Neng. Otomatis untuk sekarang rumah ini milik mereka.”
“Kalau begitu kita pindah aja, Bu. Kita sewa rumah yang lain atau ngontrak.” Aku memberi usul.
“Jangan, Neng. Ibu gak mungkin juga meninggalkan rumah ini. Dari pada dipakai ngontrak, mending uangnya ditabung. Ibu mau Neng sama Akbar hidup tentram tanpa gangguan ipar-ipar.” Aku bergeming, bingung harus menjawab apa lagi.
Tidak mungkin pula aku meninggalkan Ibu di sini, mereka pasti akan semena-mena jika aku memilih angkat kaki. Aku harus mencari cara bagaimana caranya supaya Ibu dan anak menantunya itu hidup terpisah, agar Ibu bisa hidup dengan tentram dan damai.
***
“Silakan duduk, Bu. Maaf ya dijamu seadanya.” Ibu membungkukkan setengah badannya sambil menata toples di atas meja.
“Eh, kamu siapa? Kok berdiri aja dari tadi?” ucap wanita paruh baya itu dengan tiba-tiba.
“O-oh, ini menantu bungsu saya, Bu. Neng Salma. Neng, salim.” Ibu memberi perintah, dengan malas aku menyalaminya.
“Gak sopan banget dari tadi berdiri begitu depan orang tua.” Walau pelan aku bisa mendengarnya dengan cukup jelas.
Sekarang aku tahu sifat buruk Aliyah itu turun dari mana, jelas dari Ibunya sendiri.
“Jadi, Salma ini istrinya Akbar, Bu?”
“Iya, Bu Wina. Ini istrinya Akbar.”
“Akbarnya ke mana? Biasanya suka kelihatan bantu-bantu di warung kelontong Pak Kosim.”
“Akbar kerja di Jakarta, Bu. Kemarin pulang cuma satu malam, tapi sekarang udah ke sana lagi.”
“Oh, bagus lah ada kemajuan. Kerja apa dia di Jakarta?”
“OB, Bu.”
“Hahahaha. Kirain jadi manager, gitu. Kalau jadi OB mah mending kerja di kelontong Pak Kosim aja.”
Aku langsung mencengkeram ujung baju yang terletak di atas lutut, dadaku terasa berapi-api. Tapi kamu harus sabar, Salma … sabar. Kamu tidak boleh menunjukkan siapa kamu sebenarnya, jangan sampai mereka semua stroke tiba-tiba.
“Eh, itu ada dispenser baru? Kayaknya saya baru lihat. Kamu yang beli, Al?” tanyanya lagi sembari menoleh pada Aliyah yang berada di sampingnya.
“Em, itu—”
“Itu menantu bungsu saya yang beli, Bu.” Ibu menyahut.
“Loh? Kredit kamu? Ih, itu wattnya besar. Kasihan anak saya nanti, ‘kan yang bayar listrik di rumah ini Aliyah.” Dia mengoceh lagi.
“Sudah, Bu. Katanya tadi Ibu lapar?”
“Ah, iya. Sudah makan, sih. Tapi pengen makan apa gitu.”
“Bu, tadi Ibu bikin combro sama bala-bala, ‘kan? Sudah jadi?” tanya Aliyah dengan begitu enteng pada Ibu mertuaku.
“Astagfirullah! Ibu lupa belum goreng, baru bikin adonannya. Kalau begitu sebentar ya, Bu Wina. Saya goreng dulu.”
“Jangan lama-lama ya, Bu.” Aliyah menimpali lagi sampai membuatku gemas.
“Salma bantuin, Bu!” ucapku cepat sambil mengekorinya yang sudah berjalan beberapa langkah.
***
“Bu, kok Ibu gitu banget sih? Mau-maunya disuruh!” Aku tidak bisa menahan kesal dan menumpahkan semuanya setelah di dapur.
“Gak apa, Neng. Bu Wina itu dulu mantan istri Kades, Ibu gak enak kalau gak menjamu.”
“Mantan istri Kades kok gak punya adab!” cetusku.
“Neng di depan saja, gak apa biar Ibu yang kerjain.”
“Gak apa-apa, Bu. Biar cepat selesai.”
“Neng, tapi Ibu kebelet buang air kecil. Neng bisa goreng dulu?” tanyanya, aku langsung mengiyakan, membiarkan Ibu berlari kecil ke arah kamar mandi.
Mendadak ide jahatku muncul, dengan cepat aku mencari sesuatu di dapur, sampai mata ini menemukan bubuk cabai berbentuk kemasan di atas rak.
Tanpa pikir panjang aku mengambilnya, kemudian membuka kembali adonan combro yang sudah bulat, lalu memasukkan bubuk cabai itu ke dalamnya. Terus saja begitu sampai aku menghasilkan lima adonan combro yang memati—kan!
“Bu, ini sudah lumayan banyak. Kita kasih ke depan dulu, aja. Sisanya nanti digoreng lagi, kasihan takut mereka kelaparan.” Aku memberi usul setelah cukup lama menggoreng makanan itu bersama Ibu.
“Ya sudah, Neng.” Ibu manut saja, aku pun langsung menata gorengan tersebut, dan sengaja meletakkan combro tadi di bagian paling atas.
Sembari memasang wajah biasa saja, aku mengantar gorengan itu ke depan. Menyajikannya untuk para wanita bersahaja. Hahaha ….
“Duh, combronya menggoda banget.” Bu Wina berujar saat aku meletakkan piring tersebut, tak lama Ibu datang membawa air minum yang isinya sudah kuaduk dengan garam saat beliau sedang di toilet tadi.
“Ayo, Bu. Dimakan. Mumpung masih hangat.” Ibu mertuaku berkata.
Tanpa ba—bi—bu, wanita paruh baya yang gayanya melebihi aktris papan atas itu mencomot combro, lalu menggigitnya dengan begitu lahap.
“Aaaaaargh! Set—annn! Uhuuuuk!”
“Ya ampun, kenapa, Bu?” tanya Aliyah terlihat panik, sama halnya dengan Ibu mertuaku.
“Pedas, Aliyah! Arggggh! Air! Air!” pintanya sambil mengibas-ibas tangan ke arah mulutnya.
“Ini, Bu. Ini.” Dengan cepat Aliyah memberikan satu gelas air pada Ibu kesayangannya itu.
“Brrraaaaah!” Air yang masuk mulut itu tiba-tiba keluar dari mulut Bu Wina hingga membuat wajah anak kesayangannya basah.
Judul : Rahasia Menantu Bungsu
Penulis : Azu Ra
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Rahasia Menantu Bungsu part 4"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker