Memori Bintang

Memori Bintang


 Delapan tahun menghilang, gadis yang kuha mili tiba-tiba kembali. Alih-alih meminta tanggung jawab, dia justru bersikap tidak mengenaliku. Ada apa dengan dirinya?


Memori Bintang


***Bab2***


Raras baru saja tiba di kantor saat hujan deras kembali turun. Banjir dan macet telah membuatnya terlambat hampir setengah jam. Padahal pagi ini ia harusnya sudah meletakkan laporan di atas meja Arsen.


"Ras, kamu ditanyain sekerarisnya Pak Arsen. Aku pikir kamu nggak masuk," cerocos Yemima begitu melihat kedatangan Raras.


Gadis yang sudah menjadi karibnya sejak kuliah di Negri Jiran itu ikut membantu mengelap baju Raras yang basah dengan tisu.


"Aku rapiin dulu, nggak enak kalo ketemu pimpinan berantakan gini. Entar dia mikir aku nggak profesional, lagi."


"Udah gini aja, Ras. Pak Arsen orangnya nggak sabaran," bisik Yemima pelan.


Di kantor ini, tembok saja punya telingga. Banyak yang mencari perhatian atasan dengan cara tidak fair.


Menghela napas, gadis dengan jilbab warna sage itu bergegas merapikan berkasnya. Lalu melangkah sedikit tergesa ke ruangan Arsen.


"Maaf menganggu, Pak," lirih Raras dengan wajah pura-pura menyesal.


Gadis itu bersiap memutar tubuh jika suara Arsen tidak menghentikannya. Pemandangan di depannya membuat Raras merasa malu sendiri. Ia merutuki diri karena lupa menunggu jawaban Arsen saat ia mengetuk pintu tadi.


Atasannya itu terlihat sedang merangkvl seorang wanita yang Raras tahu juga sesama dari divisi kevangan.


"Maaf, Pak Arsen. Saya tidak se ...."


Suara Raras menggantung di udara saat Arsen mengangkat tangan.


Hening.


Hanya terdengar bunyi sepatu Danisa, wanita yang baru saja menemani Arsen, melangkah keluar ruangan setelah memberi tatapan sinis pada Raras.


Memejamkan mata sekilas, Raras merasa tidak terima. Posisinya sebagai leader bisa diremehkan jika ia diam saja diperlakukan seperti itu. Terlepas Danisa kekasih atau simpanan Arsen. Namun, bercivman di tempat kerja merupakan tindakan tidak profesional.


Ya. Raras memang menangkap basah betapa bi bir mereka terpaksa terlepas karena kedatangannya.


"Terlambat empat puluh menit. Saya tidak tahu bagaimana orang sepertimu bisa berkali-kali menerima penghargaan di kantor cabang."


Ucapan Arsen memang sangat tajam, tapi, Raras tahu konsekuensinya. Ia sudah mendapat informasi tentang bagaimana karakter pemimpinnya di Indonesia sebelum dipindah kemari.


Alih-alih menundukkan pandangan, Raras menatap iris hitam Arsen dengan tenang. 


"Saya siap membayar denda sesuai peraturan yang ditetapkan perusahaan. Dua puluh ribu untuk lima menit, jadi, seratus enam puluh ribu untuk keterlambatan saya selama empat puluh menit!" tegas Raras tanpa beralih dari wajah kesal Arsen.


Arsen mengepalkan tangan, membiarkan Raras keluar setelah meletakkan berkas di atas meja.

Bunyi pintu yang tertutup pelan, harusnya membuktikan pada Arsen, sikap Raras barusan hanya bentuk profesioal, bukan berusaha mel4wan dirinya. Tetapi, Arsen selalu menangkap sesuatu yang terlalu mirip dengan masalalunya setiap kali bersitatap dengan Raras.


Raras mendaratkan bok0ng di kursinya dengan tenang. Menyalakan komputer sambil menunggu kedatangan Danisa ke ruangannya.


Lima belas menit berlalu sejak ia memanggil, gadis itu tidak juga menampakkan diri. Lagi-lagi, posisinya sebagai leader merasa diabaikan.


Menekan tombol telfon di meja, Raras menghubungi Yemima untuk memberi tahu Danisa agar segera menemuinya.


Tidak lama kemudian, Danisa masuk tanpa mengetuk pintu. Tangannya bersidekap, lalu duduk dengan kaki terlipat.


Raras menahal kesal sekaligus miris. Untuk kantor sebesar ini, etika rupanya bukan sesuatu yang penting.


"Ibu memanggil saya?" tanyanya datar. Ia sibuk meniup kukunya.


"Berdiri, Danisa. Saya tidak menyuruhmu duduk!" Raras menanggapi tak kalah datar.


"Ibu ada perlu apa, jika tidak penting saya akan keluar. Pak Arsen sudah menunggu saya."


"Saya minta kamu berdiri, baru saya katakan tujuan saya memanggil."


Danisa mendengus kesal. Bunyi hentakkan sepatu membuat telinga Raras memanas.


"Ada apa ibu Manajer Baru?" sindir Danisa pedas.


"Baru atau lama, saya tetap atasan kamu. Dan saya berhak menegur kinerja, juga sikap kamu yang tidak sopan pada atasan." Raras membuka berkas sebelum melanjutkan bicara.

"Perencanaan dan anggaran yang kamu buat untuk pembelian unit baru tidak detail. Banyak pengeluaran tidak perlu dan bertele-tele. Prospek kedepannya juga tidak jelas. Jadi, saya rasa ini sangat berantakan."


Berkas dengan beberapa coretan spidol itu terpampang jelas di depan Danisa. Ia mengambil dengan kasar lalu merem4s bagian sudutnya demi meluapkan kekesalan.


"Saya biasa mengerjakan ini, Bu. Tidak pernah ada komplain dari manajer lama bahkan Pak Arsen," kata Danisa sarat ejekkan. Ada rasa bangga saat ia menyebut nama Arsen di depan Raras. Selama ini, tidak pernah ada yang berani membantah pria itu.


"Itu kenapa perusahaan ini hampir kolaps, kalian tidak teliti," pelan tapi bisa membuat Danisa semakin kesal. Apalagi Raras mengatakan itu tanpa beban, seolah perusahaan ini adalah miliknya.


"Kau boleh keluar Danisa. Bawa kembali jika sudah diperbaiki!" titah Raras tanpa mempedulikan wajah Danisa yang sudah memerah.


Raras memijit keningnya saat Danisa meninggalkan ruangan. Melihat jam, ia buru-buru mengambil air wudhu karena waktu salat asar hampir habis. Ia sengaja menyisakan sedikit tempat di ruangannya yang khusus ia gunakan untuk salat. Berjaga-jaga jika tidak sempat ke masjid kantor.


Mukena putih yang sudah sedikit usang setia menemani kemanapun Raras pergi. Bukan tidak mampu membeli yang baru. Hanya saja, kenang-kenangan almarhum neneknya itu memang sangat berkesan. Meski Raras sendiri belum pernah bertemu secara langsung.


Lantunan doa-doa ia baca dengan khusyuk. Tidak lupa selipan doa spesial untuk almarhun ayahnya yang sudah berpulang empat tahun lalu.


Belum sempat melepas mukena, Raras terkejut mendapati Arsen yang sudah duduk di kursi dengan wajah angkuh. Cepat, ia mengusap sisa tangis di sudut mata.


"Apa yang kau tangisi dalam doa?" tanya Arsen tanpa beban.


Ia mengamati wajah Raras yang tanpa polesan. Semakin mirip dengan Bintang. Apalagi tahi lalat kecil yang berada di sudut b i bir gadis itu persis. Tetiba, malam panjang di hotel dengan gadis SMA berputar di kepala Arsen. Membuat tujuannya mendatangi gadis itu buyar seketika.


"Saya akan memakai hijab dulu, Pak," izin Raras pelan. Ia menyelinap di balik pembatas ruangan tanpa menunggu jawaban Arsen.


Sementara pria itu masih bergelut dengan pikirannya sendiri. Susah payah ia menepis, tapi kemiripan semakin terlihat nyata.


Ia memilih keluar dari ruangan Raras. Lupa jika harusnya ia marah padanya kerena sudah berani menegur Danisa.

Arsen tidak ingin tahu lebih banyak tentang Raras, jika akhirnya hanya mengingatkan pada Bintang. Gadis yang harusnya hancvr lebvr sejak hari itu.


Raras yang sudah rampung merasa lega saat mendapati Arsen tidak ada. Ia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi setelah tegurannya pada Danisa. Gadis itu pasti mengadu pada Arsen, yang membuat pria itu rela mendatangi ruangannya.


Kembali berjibaku dengan pekerjaan, Raras dengan teliti mengecek ulang ketikan jemarinya sebelum tulisan itu berubah menjadi berkas yang akan ia pertanggungjawabkan. 


Jam kantor baru saja usai saat sebuah panggilan telfon mengusik fokus Raras. Wajah gadis itu seketika cemas mendengar suara dari balik ponsel. Gegas, ia merapikan mejanya dan bersiap untuk pulang. Karena terburu-buru, ia tidak menyadari saat dompetnya tertinggal di atas meja.


Tersedia di KBM App

Judul: Memori Bintang

Penulis: dianferdian

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Memori Bintang"

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel