Enam belas tahun lalu aku diam-diam melarikan diri bersama dua anak kembarku. Meski harus menitipkan mereka berdua di tempat berbeda, aku harap mereka aman
----
“Cup, cup, Sayang … Ibu janji akan menyelamatkan kalian berdua! Ibu bersumpah!”
Ini sudah terlalu malam bagi seorang wanita berlarian di tengah rintik hujan sambil menggendong dua bayinya. Kedua kaki yang tanpa alas terus berlari, menginjak kubangan air di jalan hingga tercipta cipratan dan gelombang kecil. Bahkan ketika telapak kakinya ter lu k4 karena kerikil pun, dia tak peduli.
Karena yang terpenting dia bisa pergi jauh dari ne r4 ka berkedok rumah yang selama ini me ngu rung nya selama hampir lima tahun. Air mata sudah bercampur dengan hujan, deru napas lelah dan ce mas tak lagi terdengar, teredam oleh suara hujan dan guntur yang sesekali bersuara.
Suara tangisan kedua ba yi menjadi s4k si pelarian yang telah direncanakan sejak jauh-jauh hari.
Lu k4 me m4r pada kaki tak akan pernah membuatnya menyerah berlari, bahkan lu k4 di kepala yang terus mengalirkan da r4h pun bukan apa-apa baginya. Tekad kuat membawa putri kembarnya pergi masih lebih penting daripada apa yang dirasakan saat ini.
Sebab jika dia menyerah, maka kedua anaknya pun akan berakhir sama seperti dirinya yang hanya dijadikan alas kaki oleh pria yang ter gi l4-gi l4 padanya. Diin jak-in jak, diten dang sampai babak belur, tapi tak juga dibuang.
Tiba di depan sebuah yayasan, wanita berambut lepek itu menggedor-gedor pintu, mencoba membangunkan siapa pun yang bisa membukakan pintu untuknya pada pukul dua dini hari.
Tak berapa lama kemudian, seseorang yang usianya sekitar 50 tahun membuka pintu dan dia merasa amat terkejut melihat seseorang berdiri ba sah kuyup menggendong sesuatu yang dibungkus dengan jas hujan.
“Tolong selamatkan bayiku,” pinta wanita yang memiliki lu ka robek di ujung bibirnya.
“Masuk dulu,” balas wanita yang memiliki bintik hitam di wajahnya itu sambil menarik tangan ibu beranak dua tersebut. “Bicarakan baik-baik di dalam dan hangatkan tu buh kalian.”
Si ibu menolak dengan gelengan kepala. “Tidak, saya harus segera pergi dari kota ini, tapi tidak memungkinkan jika saya membawa mereka berdua.” Air matanya mengalir lagi. “Saya tidak mau mereka menangkap kami, jadi … tolonglah salah satu anak saya supaya saya bisa pergi dari sini.”
Pengurus yayasan itu merasa iba, apalagi melihat kondisi perempuan yang usianya masih sekitar 25 tahun di depannya yang lu ka-lu ka. Dia yakin ada sesuatu yang amat bu ruk yang sedang mengejarnya hingga perempuan itu tak segan menggedor pintu yayasan, lalu meminta untuk mengambil salah satu bayi yang usianya belum genap satu bulan.
Lantas tanpa berpikir dua kali, Minah, Kepala Yayasan tersebut, mengambil salah satu bayi milik Marina, wanita muda yang sedang dalam pelarian itu. Sembari mengangguk, Minah berkata, “Tenanglah, anakmu akan aman bersamaku. Dia akan selalu di sini. Dan jika kamu ingin mengambilnya lagi, maka datang dan jemput dia.”
Marina mengangguk dengan air mata mengalir. Meski sakit dalam da da begitu me nyik sa, mau tak mau dia harus meninggalkan salah satu anaknya di tempat ini.
“Terima kasih, terima kasih banyak,” katanya sambil melangkah mundur. Pandangannya masih tertuju pada wajah bayi perempuannya yang kini berada dalam gendongan Minah.
"Tidak apa-apa, dia akan aman di sini daripada bersamaku," batinnya.
“Berhati-hatilah. Kuharap kamu kembali untuk menjemput anakmu kelak.” Minah sedikit ber te ri ak saat mengucapkannya lantaran hujan semakin deras.
Marina berbalik pergi dengan suara tangis yang me nya yat hati. Dia tidak tahu apakah bisa kembali dan bertemu dengan bayinya, atau perpisahan ini adalah akhir dari kebersamaan yang penuh dengan ironi. Akan tetapi, jika bayi itu akan menjadi aman tanpa dirinya, maka lebih baik untuk terus berpisah.
Minah mengeratkan pelukannya pada bayi malang yang menangis dalam gendongannya itu. Dalam malam gelap serta guyuran hujan deras, dia tak lagi melihat wanita yang memberikan bayi padanya. Beberapa detik setelahnya, dia baru ingat jika belum menanyakan nama bayi perempuan yang memiliki tahi lalat kecil di bawah mata bagian kanan tersebut.
Wanita itu beralih menatap bayi perempuan di gendongannya. “Harus kuberi nama siapa agar ibumu dapat mengenalimu nanti, Sayang?”
Saat itu, Minah hanya berharap bahwa ibu dari bayi yang akan menjadi anaknya ini akan segera menemukan kehidupan yang lebih baik, menjauh dari hal-hal bu ruk yang memaksanya meninggalkan bayi mungil itu sampai tiba pada waktu dia datang kembali menjemput walau entah kapan.
Setelah membawanya ke dalam untuk mengganti baju bayi yang agak basah itu, Minah menemukan sebuah gelang tali dengan kayu kecil berukir nama Seravina lengkap dengan selembar surat yang isinya hanya beberapa baris saja.
"Namanya Seravina. Tolong jangan memakai nama lain sampai aku datang. Aku akan memberimu upah yang setimpal di masa depan."
Jelas sekali permasalahan yang sedang dilalui ibu Seravina ini sangat-sangat berat dan tidak ada seorangpun yang bisa membantu. Namun, entah apa itu, Minah tidak yakin apakah bayi ini akan aman dengan nama yang ditinggalkan ibunya. Meski demikian, melihat permintaannya yang tidak memperbolehkan nama lain, mungkin itu menjadi satu-satunya cara yang paling aman dan nantinya bisa dengan mudah ditemukan.
Di yayasan yang dihuni lebih dari 20 anak tanpa orang tua itu hanya ada beberapa orang saja yang tahu tentang cerita si bayi yang dititipkan, sementara yang lain tahu jika dia adalah bayi yang kehilangan orangtua saat dilahirkan sehingga Minah memutuskan untuk mengadopsinya.
Dua hari setelah Marina datang menitipkan Seravina, ada beberapa orang datang mencari keberadaan seorang wanita dengan dua bayi berumur satu bulan. Minah yakin jika yang mereka maksud adalah ibu dari Seravina yang sekarang entah berada di mana.
Sekarang Minah bertanya-tanya, siapa wanita itu dan apa hubungannya dengan orang-orang yang sekarang datang ke yayasannya. Masalah apa yang wanita itu lakukan hingga berurusan dengan orang-orang ber ba ha ya ini.
“Saya bersumpah tidak ada seorang pun yang datang ke yayasan ini selain donatur dan orang-orang yang menginginkan mereka menjadi anaknya!” Minah masih ber si ke ras menghalangi orang-orang suruhan yang badannya tinggi besar, seperti pre man-pre man yang biasa me ma lak pedagang di pasar.
Tak lama setelah dua orang suruhan itu tidak bisa menerobos masuk, akhirnya seorang pria bersetelan keluar dari mobil. Dari pakaiannya saja sudah menunjukkan bahwa dia adalah orang berkuasa dan memang benar jika orang itu adalah orang penting di kota tersebut. Buktinya Minah sampai tersentak melihat wajahnya.
“Pak Wisnu Bratadikara?” Minah terperangah melihat kedatangan orang penting itu ke yayasannya tanpa ada kabar terlebih dulu seperti biasa.
Wisnu Bratadikara, seorang politikus yang telah menjabat sebagai walikota setempat dan dikenal dengan pribadinya yang dermawan dan berbudi luhur, patut dicontoh oleh warganya, juga menjadi sosok suami yang amat mengedepankan keluarganya sendiri.
“Pak Wisnu ada keperluan apa di sini? Saya tidak pernah menyangka bakal kedatangan tamu penting seperti Wisnu tanpa kabar seperti biasa!”
Sebagai warga yang memilih Wisnu selama dua kali berturut-turut, tentu Minah sangat senang mendapat kunjungan tak terduga dari tokoh publik tersebut. Ini suatu kehormatan bahwa yayasannya yang terbilang kecil dan kurang pen da na an didatangi walikota.
Karena itu pula, sebagai pengurus yayasan tentu saja Minah memiliki harapan yang jauh lebih besar seperti, orang penting itu bakal menyumbangkan sejumlah banyak u ang untuk kelangsungan hidup anak-anaknya. Namun, sepertinya ada hal lain juga yang membuat Wisnu datang, apalagi mengingat dua orang yang memaksa masuk tadi.
“Jadi, kedatangan saya kemari untuk berbagi sedikit rezeki dengan anak-anak di sini,” kata Wisnu, pri a empat puluhan yang menjadi idaman wanita-wanita muda karena sosoknya yang menyayangi keluarga dengan sepenuh hati itu.
Minah tersenyum, merasa tertolong dengan niat baik Wisnu. Namun, masih ada sesuatu yang mengganjal dalam hati yang membuatnya lebih berhati-hati. Sebab bagaimanapun pri a itu datang membawa sesuatu yang mencurigakan.
Setelah banyak bertanya mengenai yayasan, pada akhirnya Wisnu menanyakan sesuatu yang membuat Minah men ceng kram tangannya sendiri. Dia tidak tahu, tetapi pri a di depannya ini memiliki sisi lain yang tidak pernah ditunjukkan ke muka umum.
“Apa kebetulan … ada seseorang yang datang ke sini?”
----
SERAVINA (Membongkar Rahasia Gelap Ayah) karya RYU GUSTIAN bisa dibaca sampai tamat di K B M A P P
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Membongkar Rahasia Gelap Ayah"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker