“Apa hubunganmu dengan Dini?”
“Dini adalah ibu dari anak saya.”
“Apa?!” Dengan wajah memerah Mas Dewo menoleh padaku. “Kamu berselingkuh, Dini?!” Suaranya menggelegar menimbulkan tanda tanya ke tetangga sekitar yang kebetulan sedang menonton kami.
Aku menggeleng cepat. “Nggak! Bukan itu maksud Pak Dimas!” sanggahku dengan suara tak kalah lantang. Mencegah orang-orang berpikir jelek tentangku dan Pak Dimas. Toh, memang kebenarannya memang seperti itu, jangankan selingkuh, meladeni gurauan pria lain pun aku tak pernah.
“Terus apa maksud laki-laki ini, hah?!” Mas Dewo kelihatan kalap siap mencengkeram kerah bajuku yang tertutup jilbab.
“Tunggu, tunggu! Jangan kasar sama wanita,” cegah Pak Dimas.
Mendengar itu cengkeraman Mas Dewo padaku mengendur, namun emosinya malah semakin terlihat menggebu-gebu. “Jadi apa maksudmu, heh?” Kali ini ia mendorong dada Pak Dimas dengan kuat memakai kedua tangannya.
Untungnya Pak Dimas bergeming, tak selanglah pun pria itu mundur apa lagi terjungkal seperti yang tadi kualami. Aku tahu betul betapa kuatnya suamiku karena ia sering berkelahi.
“Apa?!” bentak Mas Dewo semakin melangkah maju. “Coba ibu-ibu, bapak-bapak, tetangga saya yang sekarang pada ngeliat kejadian ini, apa hukuman yang pantas bagi orang yang selingkuh?!” Mas Dewo menyapukan pandangan ke sekitar di mana para tetangga sedang menonton kami, kemudian matanya kembali fokus kepada Pak Dimas yang berdiri dengan tenang.
Tidak sedikit pun wajah pria itu menunjukkan ketakutan kepada ancaman suamiku.
“Bagaimana kalau kita t e l a n j a n g i dan arak keliling RT?” tanya Mas Dewo lagi kepada para tetangga kami.
Astahfirullahaladzim! Aku menggeleng tegas lantas memanggil Pak RT yang melihat kami sejak tadi. “Itu nggak mungkin, Pak, saya tidak selingkuh!” teriakku.
“Jelas-jelas pria ini bilang kamu adalah ibu dari anaknya? Itu artinya apa?” tanya Mas Dewo masih dengan wajah sangarnya. Ia lantas melangkah mendekat kepadaku. “Sejak kapan kamu tidur dengannya, hah? Kamu pikir kamu itu cantik? Sok sekali kamu ya? Pura-pura alim ternyata n g e l o n t e kamu, iya?!!!” Wajah Mas Dewo merah padam siap menamparku.
Pak Dimas dengan sigap menghentikan tangan yang telapaknya hampir melayang ke pipiku itu. “Dini bukan orang seperti itu,” katanya dengan tegas. “Saya tahu dia.”
“Oh, sudah berapa lama kalian kenal?” sahut Mas Dewo dengan sepasang mata memerah. “Bukan seperti itu? Lantas seperti apa? Kamu menikahinya diam-diam, begitu? Jadi dia tidak menjual tubuhnya tapi kalian melakukan dengan suka rela? Jijik saya! Cuih!” Mas Dewo meludah ke tanah.
“Saya akan jelaskan, silakan warga di sini bisa ikut mendengarkan sebagai saksi,” ujar Pak Dimas.
“Baik, ayo, sebaiknya ke rumah saya saja,” ujar Pak RT yang sudah paruh baya dan kelihatan kebingungan itu.
*
“Jadi begitu ceritanya, Pak RT, kenapa Mbak Dini saya sebut sebagai ibu dari bayi saya, karena Mbak Dini yang menyusui bayi saya. Dengan demikian kedudukannya setara dengan ibu kandung. Meskipun ia bukan istri saya.” Pak Dimas mengakhiri kisahnya, termasuk keterbatasan sang istri yang tak bisa memproduksi ASI.
Keterangan Pak Dimas dan diriku disaksikan Pak RT dan istrinya di ruang tamu rumah mereka. Rumah cukup sederhana dengan banyak perabotan tua, namun sangat terjaga dan bersih itu memiliki banyak jendela. Dari sana pula setiap pasang mata para tetangga mengintip atau bahkan dengan terang-terangan menyaksikan kami. Tak jauh berbeda dengan di pintu masuk yang terbuka lebar. Terasnya yang sempit dan berbatasan langsung dengan jalan beton yang berlubang, dijejali ibu-ibu yang sesekali berbisik menanggapi penjelasan Pak Dimas.
Untungnya dari sapuan pandanganku tak terlihat Bu De pemilik warteg yang ikut serta. Itu artinya anak-anakku aman berasamannya. Itulah sebab aku berteman dengan wanita itu, ia begitu menjaga apa yang dilihat dan didengarnya. Tidak seperti kebanyakan para tetanggaku yang lain.
Aku tahu betul mereka semua yang hadir di sini pasti paham perangai Mas Dewo. Suamiku itu terkenal preman. Tidak hanya cara bicaranya yang kasar, perilakunya pun demikian. Setiap tetangga segan padanya. Itu pula yang menjadi alasanku satu-satunya bertahan. Sebab meskipun ia pengangguran setidaknya mampu melindungiku dari perilaku nakal pria lain di sini. Daerah yang terkenal ‘texas’ di sini.
Sesekali pun kulihat tatapan iba dari para ibu di lingkungan sini terhadapku. Betapa aku bekerja dengan keras menghidupi adik dan kedua anakku.
Meskipun dengan kejadian ini, tatapan iba itu tak langsung serta merta berubah menjadi kasihan kepadaku. Kadang kala kesakitan kita menjadi topik pembicaraan yang mengasyikkan dan menarik untuk dibahas, dibumbui, dan dilebih-lebihkan dengan berbagai sudut pandang.
Hingga tak jarang para pembenci justru menikmati kesusahan yang tengah dialami diri. Mengetahui ada bahan untuk menjelek-jelekkan korban, menjadi terasa begitu sedap di lisan mereka. Begitulah dunia sering memperlakukan orang dengan tidak adil.
“Kalau begitu, kenapa kamu nggak minta izin saya?” tanya Mas Dewo. “Berapa gaji yang kamu dapat dari dia?”
“Uang kakak saya selalu diambilnya, Pak!” ucap adikku dengan dada naik turun karena emosi. “Kalau tahu kakak saya ada kerjaan lain selain nyuci, pasti uangnya nggak akan sampai ke tangan kami!”
“Diam kamu bocah t e n g i k!” bentak Mas Dewo.
“Saya dengar sendiri Mas Dewo mau menjual kakak saya, tadi!” teriak Adam dengan suara khas remajanya.
Terdengar dengungan dari orang-orang yang hadir di sini.
“Halah! Bisa-bisaan kalian saja semua itu! Di mana-mana, istri itu kalau mau kerja harus izin suami! Itu baru namanya istri yang bener!”
“Terus suami yang bener yang kayak apa? Kayak kamu?” bentakku tak tahan lagi. “Pernah kamu nafkahi anakmu?” Dadaku hendak meledak saat mengatakan itu.
“Kamu pikir rumah itu bukan nafkah? Kalau nggak nikah denganku paling kamu jadi gelandangan! Paling apes l o n t e!”
“Cukup, Pak!” ucap Pak Dimas yang terlihat geram.
“Nggak usah ikut campur,” balas suamiku. “Sekarang saya sudah tahu pekerjaan istri saya, jadi saya mau minta bayaran yang tinggi!”
“Kita bisa bicarakan itu nanti, tidak di sini,” ucap Pak Dimas.
“Saya juga minta waktu untuk bicara sama suami saya, Pak RT,” ucapku kalut.
“Iya, iya, baik, Mbak Dini. Jadi masalahnya sudah clear, ya warga semua. Mbak Dini ini tidak selingkuh.” Pak RT berdiri dan berbicara pada warganya yang mengintip di cela jendela dan berdiri di pintu. “Mbak Dini ini bekerja sebagai ibu susuan dari bayi Pak Dimas.”
“Ooo ....” Suara tetanggaku berdengung serupa kelompok koor.
“Jadi, diskusi ini saya akhiri, saya hanya berpesan pada Mbak Dini, agar siapa-siapa yang sudah disusui itu, dicatat dan beritahu juga pada suami Mbak.”
“Iya, Pak RT.”
“Kalau begitu, silakan bubar, ya. Bu ... bar ....” Pak RT menyelesaikan himbauannya.
*
Setibanya di rumah, aku hanya mengingat satu hal. Bahwa aku harus pergi untuk menghindari pria yang terus-terusan menjadikan diriku sapi perahnya.
“Pintar kamu, Dini, sekarang mintalah upah besar untuk air susumu itu!” ucap Mas Dewo dengan seringai penuh hawa nafsu dunia.
“Nggak, Mas, aku sudah berhenti bekerja sama Pak Dimas!”
“Apa?!” Mas Dewo melempar puntung rokoknya. “B o d o h kamu!”
“Aku nggak peduli, dari pada harga diriku diinjak-injak istrinya lebih baik aku berhenti!” Aku berbicara sambil memilih pakaian yang memang hanya beberapa helai dalam lemari plastik.
“Kalau begitu goda lelaki itu dengan tubuhmu!”
“Astagfirullah! Tega kamu mau menjualku? Dasar lelaki b e j a t! Aku sudah nggak tahan lagi hidup sama kamu!”
“Terus apa maumu?!”
“Ceraikan aku!”
“Tidak akan pernah!”
“Ceraikaaan ...!”
“Tidak!”
Tok tok tok. “Wo! Dewo!”
Suara ketukan pintu dan panggilan teman-teman berjudi Mas Dewo mengakhiri pertengkaran kami.
Suamiku pun antara rela dan tidak meninggalkan aku di kamar. “Awas! Jangan ke mana-mana kamu, Dini!”
Pria itu keluar menemui teman-temannya, lalu tak lama kudengar suara langkah kaki menjauhi rumah kami diiringi tawa membahana bersahut-sahutan dari mereka. Barangkali karena Mas Dewo memberitahu bahwa ia berhasil merampas uang dariku.
Ingin menangis rasanya, tapi ini bukan saat yang tepat. Karena aku harus bergerak cepat. Jika tidak, entah apa yang akan dilakukan Mas Dewo esok dan esoknya lagi.
“Kak?” Adam terlihat menatapku dengan wajah tegang. Apakah yang ada dalam pikirannya sama denganku?
Kupeluk dia erat-erat sekedar memberikan kekuatan. “Kamu nggak apa-apa bolos sekolah sementara, Dek?”
Adam mengangguk cepat.
Aku menarik napas dalam untuk meredakan detak jantung yang terasa sangat cepat. Marah, kalut, sedih, dan kecewa seakan menjadi satu. Rasa gugup pun hadir karena kengerian akan sikap berangasan Mas Dewo. Namun, demi adik dan anak-anakku, aku harus kuat. Dengan gemetar aku berucap: “Dek, ayo, jemput keponakan-keponakanmu, kita pergi dari sini malam ini juga!”
Bersambung.
Baca di KBM App
Air Susu Ibu Seharga Lima Ribu
By. Rika Yenita
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Air Susu Ibu Seharga Lima Ribu"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker