""Luka di Balik Dinding Rumah""
Malam mulai larut. Lampu minyak kecil satu-satunya di ruang tengah rumah itu nyaris padam. Winda duduk di lantai dapur, memeluk lututnya, menahan air mata. Perutnya perih, bukan hanya karena lapar, tapi karena beban hidup yang semakin hari makin menghimpit. Sudah seminggu Heri, suaminya, tidak memberi uang belanja. Untuk makan, ia terpaksa berutang di warung sebelah.
Tiba-tiba, pintu kayu rumah yang sudah rapuh itu terbanting terbuka.
Heri:
"Win, mana duit yang kemarin aku suruh simpenin? Kasih sini!"
Winda mengangkat wajahnya pelan, suaranya lirih.
Winda:
"Mas... ngga ada duit. Semua udah kepake. Kita makan aja ngutang ke Bu Leni..."
Heri mendengus. Wajahnya memerah. Matanya seperti api.
Heri:
"Ngomong apa kamu?! Jangan bohong sama aku! Pasti kamu sembunyiin duit itu, ya?!"
Winda (memohon):
"Demi Allah, Mas. Aku ngga bohong. Aku nggak punya apa-apa lagi..."
Dengan amarah yang tak terkendali, Heri mengayunkan tangannya, menampar pipi Winda. Suara tamparan itu menggema di ruang sempit rumah mereka. Yoga, anak semata wayang mereka yang baru berusia delapan tahun, tersentak dari tidurnya. Ia bangkit dan melihat kedua orang tuanya bertengkar.
Yoga:
"Papa! Jangan pukul Mama!!"
Winda mencoba berdiri dan menahan Heri.
Winda (berteriak):
"Mas, jangan di depan anak kita! Udah cukup!"
Namun Heri semakin brutal. Ia menjambak rambut Winda, dan ketika Winda berusaha melepaskan diri, ia mendorong tubuh istrinya keras. Winda jatuh ke belakang, kepalanya membentur tembok. Darah mengalir dari pelipisnya.
Yoga (menjerit):
"Mamaaaaaa!!!! Tolong!! Tolong!!"
Ia berlari menghampiri Winda yang tergeletak tak berdaya.
Yoga (menangis):
"Mama bangun... Mama jangan mati... Tolong... Tolong!!!"
Jeritan itu terdengar oleh tetangga. Dalam hitungan menit, orang-orang berbondong-bondong masuk ke rumah itu. Beberapa langsung mengangkat Winda dan membawanya ke rumah sakit. Heri? Ia melarikan diri begitu melihat banyak orang datang.
Di rumah sakit, Winda harus dirawat intensif. Yoga duduk di sisi ranjang ibunya, menggenggam tangan lembut yang kini dingin dan lemah. Matanya sembab. Ia tidak bicara apa-apa, hanya diam, menatap ibunya yang tertidur dengan selang di hidung.
Sejak malam itu, ada yang berubah dalam diri Yoga. Anak kecil itu tak lagi menyebut kata "Papa".
Dua minggu setelah kejadian itu, polisi berhasil menangkap Heri di sebuah gudang kosong di pinggiran kota. Ia tak melawan saat digelandang. Tatapannya kosong. Namun di balik kosong itu, ia tahu... ia sudah kehilangan segalanya.
Winda tak ingin melihat wajah Heri lagi. Luka di kepalanya mungkin akan sembuh, tapi luka di hatinya—dan di hati anak mereka—tidak akan pernah sama lagi.
Yoga masih sering terbangun di malam hari, memeluk ibunya erat-erat, dan bertanya:
Yoga:
"Ma, kenapa Papa jahat banget?"
Winda hanya bisa memeluk anaknya dan menjawab lirih:
Winda:
"Maafkan Mama belum bisa melindungi kamu sepenuhnya, Nak. Tapi mulai sekarang, Mama janji... kita akan kuat berdua."
Sudah hampir dua bulan sejak malam kelam itu. Luka di pelipis Winda mulai mengering, tapi bekasnya tetap terlihat. Sama seperti hatinya—tak lagi berdarah, namun tak akan pernah sama.
Mereka kini tinggal di rumah kontrakan kecil di pinggiran kota, bantuan dari seorang kerabat jauh yang iba setelah mendengar kisah Winda dari berita yang sempat viral. Banyak yang simpati, bahkan ada tetangga dan komunitas lokal yang turut membantu biaya rumah sakit serta biaya hidup sementara.
Winda memulai usaha kecil-kecilan: menjual gorengan di depan rumah kontrakannya.
Setiap pagi, ia bangun sebelum subuh, menyiapkan adonan, lalu menggoreng tempe, tahu, pisang, dan bakwan dengan tangan yang masih kadang gemetar. Tapi ia tetap tersenyum, meski sering air mata mengalir di tengah aroma minyak panas.
Yoga:
"Ma, aku bantu bungkusin ya?"
Winda:
"Iya, Nak... Tapi jangan dekat-dekat penggorengan, panas."
Yoga duduk di samping meja, membantu memasukkan gorengan ke plastik. Meski masih kecil, ia seperti cepat dewasa. Tatapannya tenang, gerak-geriknya hati-hati.
Di sekolah, Yoga sempat murung. Tapi ada satu guru wali kelas, Bu Rika, yang sangat perhatian. Ia sering mengajak Yoga bicara sepulang sekolah.
Bu Rika:
"Yoga... kalau kamu sedih, boleh cerita sama Bu Rika ya. Kamu anak hebat. Mama kamu juga luar biasa."
Yoga mengangguk pelan, lalu memeluk gurunya.
Suatu sore, saat Winda sedang menghitung uang hasil jualan hari itu, Yoga menghampirinya sambil membawa secarik kertas.
Yoga:
"Ma, aku gambar ini tadi di sekolah."
Winda mengambil gambar itu. Di atas kertas polos, tampak gambar sederhana—seorang ibu memegang tangan anak kecil di bawah matahari cerah. Ada tulisan kecil di bawahnya:
"Aku akan selalu jaga Mama, kayak Mama jaga aku."
Winda tak kuasa menahan tangis. Ia peluk Yoga erat-erat.
Winda (terisak):
"Maaf ya, Nak... Kamu harus lihat semua itu. Maaf karena Mama pernah lemah..."
Yoga (pelan):
"Yoga enggak marah kok, Ma. Yoga cuma enggak mau lihat Mama sedih lagi. Kita berdua aja udah cukup."
Beberapa bulan kemudian, kabar datang dari pengadilan: Heri divonis lima tahun penjara karena kekerasan dalam rumah tangga.
Saat surat pemberitahuan itu sampai, Winda hanya diam. Ia tak menangis, tak tertawa. Hanya memandangi nama yang dulu ia cintai, kini terasa asing.
Winda (dalam hati):
"Mungkin aku tidak akan pernah bisa memaafkanmu, Heri. Tapi demi anak kita, aku akan tetap berdiri."
Hari demi hari berlalu. Usaha Winda semakin ramai. Yoga tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berprestasi. Mereka tak punya banyak, tapi mereka punya satu sama lain.
Dan bagi Winda, itu lebih dari cukup.
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Luka di Balik Dinding Ruma"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker