Setelah Dia Kuceraikan

Setelah Dia Kuceraikan


 Part 6


Sejenak aku diam, mencoba mencerna semua ucapan Azalea.


Dia masih kecil dan tidak mungkin berbohong sampai sedetile itu. Pasti apa yang dilihatnya adalah kenyataan.


Tapi, masa iya umi bisa berbuat seculas itu? Selama ini dia terlihat baik dan perhatian sama Milianti. Selama kami tinggal di rumahnya pun umi tidak pernah mengizinkan dia untuk menginjakkan kaki di dapur dengan alasan agar bisa fokus mengurus dua buah hati kami.


"Mas, bisa nggak sebelum kamu ke toko beliin aku makanan, tapi jangan bilang sama Umi. Soalnya Umi kalau masak suka diumpetin. Aku nggak boleh makan, katanya aku nggak berhak menikmati apa pun yang kamu berikan. Aku sering kelaparan, Mas," keluh Milianti hampir setiap hari saat kami masih tinggal bersama Umi.


"Kamu ngomong apa sih, Mil? Umi nggak mungkin begitu. Buktinya setiap Mas pulang kerja ada banyak makanan di atas meja dan Umi nggak pernah larang kamu buat makan kan? Jadi tolonglah, Mili. Jangan menjelekkan Umi terus. Aku tuh capek, hampir setiap hari dengerin kamu ngeluh tentang Umi. Ngadu ini itu, seolah Umi itu mertua paling jahat yang ada di muka bumi!" responsku tidak terima sebab apa yang diceritakan Milianti tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di depan mata.


"Kenapa sih Mas itu nggak pernah percaya sama aku? Demi Allah aku nggak pernah mengarang cerita apalagi mengada-ada. Umi memang seperti itu kalau Mas lagi nggak di rumah. Dia baiknya kalau ada Mas doang, kalau Mas kerja ya keluar sifat aslinya. Aku yang tiap hari ngadepin, jadi aku yang paham!" Milianti mulai terlihat emosi.


"Oke, kalau begitu kita bicarakan masalah ini di depan Umi. Tabayun, biar tau kejelasannya."


Aku pun membawa Milianti ke hadapan Umi, menyampaikan keluh kesah wanita itu namun Umi malah menangis meraung-raung bahkan sampai bersumpah atas nama Allah kalau dia tidak pernah melakukan itu kepada istriku.


"Memangnya Umi salah apa sama kamu, Mili? Kenapa kamu selalu jelekin Umi di depan Fadil, padahal selama ini Umi selalu baik sama kamu. Umi itu selalu menganggap kamu seperti anak Umi sendiri, bukan kaya mantu. Umi sudah tua tapi mau masak sendiri karena apa? Karena Umi nggak mau kamu capek. Umi itu paham banget seperti apa rasanya urus dua anak, makanya Umi nggak mau bebanin kamu dengan pekerjaan rumah biar bisa jadi ladang padahala Umi juga," ungkap Umi dengan wajah sudah bersimbah air mata.


Sementara Milianti, aku lihat perempuan tersebut terus menatap tajam serta penuh kebencian. Tidak mau mengakui semua kebaikan yang sudah Umi lakukan.


Aku menghela napas panjang lalu menggenggam tangan Milianti, terus bertanya apa maksudnya dia terus menjelekkan Umi di depanku.


"Aku nggak bohong. Kalau Mas nggak percaya ya sudah. Terserah!" Bukannya luluh dia malah mengurai genggamanku lalu pergi begitu saja meninggalkan aku dan Umi.


Esok harinya setelah kejadian itu aku lihat sudut bibir Milianti memar, dan ketika ditanya lagi-lagi dia mengatakan bahwa Umi yang melakukannya, padahal menurut keterangan Umi dan Farida dia jatuh karena kurang fokus sebab setiap jalan matanya selalu menatap layar ponsel.


Aku semakin bingung dengan sikap dia yang terus saja menjelekkan Umi, entah apa yang sudah merasuki hatinya sampai dia tega mengatakan hal sedemikian rupa. Mengadu domba, berusaha memisahkan anak dengan ibunya.


Sekarang, hari ini, mendadak aku berfikir jangan-jangan semua yang Milianti katakan itu benar. Bisa saja kan Umi hanya berpura-pura baik di depanku tegapi selalu menyakiti Milianti ketika aku sedang tidak ada?


Ya Allah, jika semuanya benar maka aku sangat berdosa karena lebih mendengarkan omongan Umi tanpa mau mencari tahu kebenarannya.


Jujur aku sangat mencintai Milianti bahkan hingga sampai saat ini meski katanya dia sudah mengkhianati cinta kami. Dan kalau ternyata apa yang aku lihat hanya rekayasa aku tidak akan bisa lagi memiliki dia karena sudah menjatuhkan talak tiga.


Aku terlalu gegabah. Pikiranku terlalu sempit.


"Ayah, ayo kita pulang. Aku capek. Kaki aku sakit, soalnya tadi kelamaan berdiri!"


Azalea mengguncang lengan ini perlahan, membuat aku tersadar dari lamunan.


Sebisa mungkin tetap berusaha tersenyum di depan dia untuk menutupi luka yang kian menganga.


"Ish, Ayah bengong terus. Ayo kita pulang. Aza capek!" ulangnya sambil merengut.


"Iya, Nak. Ayah bayar esnya dulu." Merogoh saku celana, mengambil dompet lalu membayar minuman yang tadi Azalea pesan kemudian kembali melanjutkan perjalanan pulang.


Kaki rasanya mau patah karena berjalan kaki lumayan cukup jauh, ditambah sambil menggendong Adelia.


"Biasanya Mama kalau pulang jemput Aza ngapain?" Mendadak aku ingin sekali tahu tentang keseharian Milianti ketika aku tidak ada di rumah.


"Biasanya langsung ke rumah Bu Ustazah," jawab Azalea sambil melepas sepatunya.


"Ngapain?"


"Bantuin Bu Ustazah, biar Mama punya uang buat beli buku sama jajan Aza."


"Memangnya nenek suka datang minta uang ke Mama?"


Azalea kembali mengangguk


Deg!


Jadi apa yang dikatan orang-orang kalau Milianti bekerja itu benar, bukan karangan?


"Mama kerja di rumah Bu Fatimah?"


Azalea mengangguk, "Nenek selalu marahin mama. Toyor kepala Mama juga. Kata nenek Mama itu bodoh, murahan. Padahal mama itu pinter loh, Yah. Aza aja selalu dapat seratus kalau kerjain PR dibantuin sama mama."


Aku menyibak rambut ke belakang, mendadak rongga dada dipenuhi rasa sesal.


Bagaimana ini, ya Allah. Sepertinya semua memang hanya kesalahpahaman tapi aku langsung menghakimi Milianti bahkan tanpa ampun mengusir dia, tidak memberi pembelaan sama sekali saat ia diarak warga bahkan sampai dibotaki.


"Ayah mau ke mana?" Azalea bertanya ketika aku beranjak dari sofa dan menyambar kunci motor yang ada di atas meja.


"Ayah pergi sebentar. Aza jagain adek," ucapku sambil mengayunkan kaki keluar dari rumah.


Tujuanku kali ini ke rumah Ibu Fatimah, barangkali dia tahu ke mana Milianti pergi setelah diusir dari sini.


Wanita berhijab panjang menjuntai itu sedang duduk sambil membaca buku ketika aku sampai, dan ekspresinya terlihat kurang ramah, mungkin karena kemarin sudah mencoba memperingatkan tetapi tidak diindahkan.


"Assalamualaikum, Bu," sapaku ragu.


Dia menjawab salam sambil menutup buku di tangan lalu mempersilakan aku untuk duduk.


"Ada apa, Mas Fadil? Tumben berkenan mampir ke rumah saya?" tanyanya kemudian.


"Maaf mengganggu waktunya, Bu. Saya datang ke sini mau nanya apa Ibu tau di mana Milianti sekarang?" Ragu aku menanyakan itu, meski tidak yakin kalau Bu Fatimah akan memberitahu.


"Yang seharusnya nanya di mana Milianti itu saya, bukan Mas. Saya dari kemarin nunggu dia tapi nggak datang-datang juga!" sahutnya sedikit ketus.


"Sa--saya sudah mengusir Milianti dari rumah, Bu."


"Loh, yasudah kalau begitu. Kalau sudah diusir kenapa dicari-cari lagi, to, Mas?"


"Ada yang ingin saya bicarakan sama dia, Bu. Saya mau mengajak dia buat klarifikasi masalah ini, agar tidak ada lagi kesalahpahaman di antara kami berdua."


Bu Fatimah malah tertawa. Memangnya ada yang lucu dengan ucapanku tadi?


"Klarifikasi? Buat apa? Ngapain? Kalau mau klarifikasi itu haruse yo kemarin pas Mili diarak warga, dipermalukan, bukan sekarang. Nek sekarang yo wes terlambat. Milianti wes lugo. Ibu yo gak reti dia pergi ke mana."


Aku menghela napas panjang. Benar apa yang Bu Fatimah katakan. Seharusnya jika mau mengklarifikasi itu kemarin saat dia masih di sini, mendengarkan dia, jangan hanya percaya pada ucapan sepihak saja.


"Serius Ibu nggak tau di mana Milianti sekarang?" Aku terus memastikan.


"Ya serius. Moso saya bohong."


"Kira-kira Milianti ke mana ya, Bu?"


Kini giliran dia yang menghela napas panjang sambil menatapku dengan mimik kesal.


"Samean itu suaminya, harusnya samean yang tau ke mana dia pergi, bukan malah samean nanya ke saya ke mana?" Lagi-lagi dia mengatakan itu.


"Yasudah kalau begitu saya permisi, Bu." Memilih pamit daripada terus melihat wajahnya yang menyebalkan itu.


"Besok-besok kalau samean dapat jodoh lagi tolong perhatikan kesejahteraaan pasangane samean, Mas. Berbakti sama orang tua boleh, tetapi jangan sampai lalai dan abai sama kewajiban samean sama pasangan. Dosa loh zalim sama anak istri. Di akhirat kelak juga samean akan dimintai pertanggungjawaban."


Aku menghentikan langkah mendengar ucapan Bu Fatimah. Pasti selama ini Milianti sudah menjelekkan aku di depan dia sehingga wanita itu langsung memberikan ultimatum kepadaku. Kalau Milianti nggak cerita mana mungkin Bu Fatimah tahu.


Tapi kalau dipikir-pikir salahku juga karena dari dulu tidak mau mendengarkan curahan hati Milianti. Aku terlalu terbuai dengan sikap manis Umi sampai abai kepada wanita yang sudah kunikahi.


Menyalakan mesin motor. Aku mencari-cari Milianti di sekitaran kampung berharap Tuhan masih mempertemukan kami berdua. Aku ingin meminta maaf dan mengajak dia bicara baik-baik. Di depan Umi, bila perlu membawa lelaki itu.


Ngomong-ngomong soal si lelaki, kenapa nggak kepikiran buat temui dia dan menginterogasinya? Siapa tau dia tahu di mana Milianti sekarang, paling tidak jika menemui dia aku sedikit menemukan titik terang.


Aku pun memutuskan untuk segera ke puskesmas tempat lelaki tersebut ditawat, semoga saja dia mau mengatakan kejadian yang sebenar-benarnya dan Milianti bisa kembali. Kasihan anak-anak kalau terus menerus mencari ibunya.


"Permisi, maaf saya mau nanya, pasien dari kampung Jeruk yang mengalami patah tulang karena penggerebekan dirawat di mana ya, Sus?" tanyaku pada petugas yang ada di depan.


"Beliau ada di ruang Melati kamar nomor lima belas, Pak. Silakan Bapak naik ke lantai dua, dari tangga belok kanan, lurus terus, kamarnya ada di sebelah kiri," jawab perawat dengan ramah.


Aku mengangguk sambil berterima kasih lalu segera naik ke atas tidak sabar ingin menemui dia.


Umi terlihat keluar dari ruangan yang disebutkan oleh perawat, membuat dahi ini berkerut-kerut apalagi dia terlihat memberikan sejumlah uang kepada wanita tua yang sedang bersamanya.


Ada apa ini? Ada konspirasi apa antara dia dan lelaki yang kemarin kepergok sedang bersama Milianti?


Next?


Selengkapnya bisa dibaca di aplikasi Fizzo.

Judul: Setelah Dia Kuceraikan

Penulis: Ida Saidah

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Setelah Dia Kuceraikan"

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel