MERTUAKU MISKIN (13)
"Kutu ... kutu ...." Asma terus bergumam mengingat kejadian semalam.
Rasa bahagia serta bingung berbaur menjadi satu, Asma merasa seperti mimpi tatkala wajah Ridho berada begitu dekat dengan wajahnya.
"Memangnya di dahi suka asa kutu? Aneh." Asma mengusap dahinya sendiri.
"Kutu apa, Neng?" Wanita bertubuh seratus lima puluh lima sentimeter itu langsung membalikkan badan.
"Hehe, Ibu." Dia malah tersenyum, merasa bingung harus menjawab apa.
"Boleh lihatin rambut Asma nggak, Bu?" tanyanya seraya masih memegang sapu.
"Memangnya kenapa dengan rambutnya, Neng?" Zainab berujar heran.
"Emm, semalam kata Mas Ridho, di dahi Asma ada kutu. Takutnya di rambut Asma beneran ada kutunya." Mertuanya langsung terkekeh, entah kenapa Zainab selalu merasa gemas sekaligus terhibur dengan sikap menantunya itu.
"Ya sudah, ayo." Asma langsung tersenyum, cepat dia mengekori Zainab yang masuk ke dalam kamar.
"Nggak bakalan jijik 'kan, Bu?" tanya Asma merasa ragu.
"Nggak bakalan atuh, Sayang. Masa sama yang cantik begini jijik." Seraya mengusap rambut Asma, Zainab menyahut.
Asma tersenyum lagi, entah kenapa dia berdebar saat hendak membuka kerudungnya di hadapan sang mertua.
Sejenak Zainab tertegun tatkala melihat Asma meluruhkan jilbabnya, apa lagi saat dia menguraikan rambutnya yang sebahu.
"Masyaallah." Zainab berujar spontan.
"Ridho sangat beruntung memiliki istri seperti kamu, Nak." Zainab membelai rambut Asma, wanita di hadapannya hanya tersenyum menahan malu.
"Bagaimana, Bu? Ada kutunya, tidak?" tanya Asma terdengar polos.
"Oh, iya. Sini, sini." Zainab membawa menantunya ke dekat jendela, didudukkannya Asma di depan tubuhnya.
Dengan telaten Zainab membuka setiap helai rambut Asma. Dia begitu bahagia, karena selama ini Zainab menginginkan anak perempuan, dan sekarang Allah mengabulkannya dengan cara memberikan menantu yang amat baik budi pekerti juga melimpah kasih sayangnya.
"Nggak ada, Neng. Nggak ada kutunya."
"Masa sih, Bu?" kata Asma bingung.
"Iya, malah setitik ketombe pun nggak ada. Rambutnya malah wangi banget, kutunya pasti minder, Neng."
"Ah, Ibu. Bisa saja. Terus, semalam Mas Ridho bilang di dahi Asma ada kutu, Bu."
"Mungkin dia sedang menggodamu, Nak," jawab Zainab sambil tersenyum, tangannya kini mengikat rambut Asma dengan lihai.
Asma tak menjawab lagi, dia membiarkan Zainab mengikat rambutnya. Sementara pikirannya sudah hanyut ke tempat yang begitu jauh.
Ridho Afrizal, lelaki itu benar-benar berhasil membuat hatinya diwarnai banyak rasa.
***
"Kiai datang! Neng Asma ... Neng Asma!" Maesaroh tergopoh-gopoh menuju kamar yang dihuni menantu sepupunya itu.
"Neng, Kiai sudah tiba."
"Oh, iya kah, Bi?" Asma menggerakkan jemarinya lebih cepat, agar bedak di wajahnya bisa segera menempel.
"Ibu di mana, Bi?"
"Sudah di depan, Neng." Asma mengangguk, lantas dia bergegas keluar bersama Maesaroh sambil membenarkan bagian bawah gamisnya.
"Nak ...." Suara lembut itu langsung terdengar, Asma langsung meluruskan pandangan, matanya bahkan berkaca-kaca saat melihat sosok wanita bergamis hitam dan dipadukan kerudung motif bergambar bunga.
"Umi ...." ucapnya sambil berjalan cepat, rasa rindunya sudah menggunung.
Keduanya langsung menyatu dalam sebuah pelukan, saking rindunya, Asma tak bisa menahan tangis.
"Sehat kamu, Neng?" tanya Halimah seraya terus memeluk anak sulungnya, sedangkan Asma hanya menjawab dengan sebuah anggukkan.
Halimah merenggangkan tubuh, dia ingin menatap putrinya lebih lama.
"Kamu semakin cantik, Sayang." Halimah terharu melihat anaknya memakai kerudung, apa lagi tubuhnya dibalut gamis.
Sesuatu yang langka sekaligus sebuah mimpi terbesar bagi Halimah agar bisa melihat Asma dengan penampilan demikian.
"Abi." Asma langsung terduduk, dia mencium punggung tangan lelaki itu kemudian memeluknya cukup lama.
Setelah melepas pelukan, sekilas Asma bisa melihat Ridho yang tengah duduk di samping ayahnya.
Demi menyambut kedatangan sang mertua dan keluarga, Ridho rela mengambil cuti satu hari.
Kedua keluarga itu pun larut dalam sebuah obrolan, teras kecil milik rumah Maesaroh penuh dengan santri sekaligus tetangga yang ingin melihat kedatangan Kiai beserta keluarga besarnya.
"Hah? Sudah datang?" ucap Mayang sambil berdiri saat menerima telepon dari Julaeha, sang sahabat yang hobi sekali bergosip mau pun merendahkan orang lain.
"Iya, Bu. Sudah sampai rumah si Maesaroh!" tutur Julaeha sambil mengintip ke arah rumah Maesaroh yang tak jauh darinya.
"Eh, sekarang pada keluar. Kayaknya mau lihat lokasi bekas kebakaran."
"Oh, oke-oke. Aku langsung ke sana ya, Ceu."
"Siap, ditunggu!" katanya lalu mematikan sambungan telepon.
***
Dengan penuh percaya diri, Mayang berlenggang ke luar rumah menuju tempat Zainab berada.
Padahal, jarak rumah mereka terbilang cukup jauh. Namun demi sebuah info dan rasa penasaran, Mayang rela berjalan kaki lebih lama.
Bahkan hanya karena ingin diakui orang berada, Mayang sampai bersolek dengan sangat menor. Bibir tebalnya sangat merah, eye shadownya berwarna keunguan, tak lupa dia mengenakan berbagai macam perhiasan dari mulai yang kecil sampai besar.
Setelah sampai di tempat tujuan, Mayang langsung menghampiri karibnya, Julaeha. Keduanya pun berjalan mendekat menuju lokasi bekas kebakaran.
"Yang itu Kiainya, May." Julaeha menunjuk Kiai Abdurrahim yang berdiri sejajar dengan istri, anak, menantu juga besannya.
"Kiai gadungan? Ckckck." Mayang masih kukuh dengan pemikirannya terhadap orang berilmu tersebut.
"Assalamualaikum, Mih Mayang."
"Loh, Muis? Waalaikumussalam. Kamu sedang ngapain di sini?"
"Muis lagi antar Kiai, Mih Mayang."
"K-Kiai? Maksudmu?"
"Iya, Pak Kiai mertuanya A Ridho." Tubuh Mayang mendadak sempoyongan mendengar ucapan anak saudaranya, Muis.
Saat itu pula Asma beserta keluarganya berjalan hendak kembali.
"Siapa, Muis?" tanya Kiai Abdurrahim saat langkahnya mendekat pada santri kepercayaannya itu.
"Pekenalkan, Pak Kiai. Ini Mimih saya, Mih Mayang."
"Oh, kamu punya saudara di sini?"
"Muhun, Pak Kiai. Mih Mayang, ini guru sekaligus Kiai yang selalu Muis ceritakan. Pak Kiai Abdurrahim, ayahanda Teh Asmarani sekaligus mertua A Ridho." Mendengar pernyataan itu, tubuh Mayang langsung banjir keringat dingin, bahkan sudut bibirnya nampak gemetar.
Sedangkan Asma, di hadapannya hanya bisa tersenyum puas sambil memandang Mayang tanpa henti.
----
Mertuaku Miskin
Penulis Azu Ra
Part terakhir yang aku post di FB selanjutnya bisa langsung ke kbm app.
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App
Sampai jumpa di cerita yang lain ❤️
#pengikut
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Mertuaku Miskin"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker