Lari, Nak!

Lari, Nak!


 Di petang itu aku memukuli putriku untuk mengajarinya, tapi istriku justru menyuruh dia lari jauh. Saat dewasa aku pikir ia akan mencariku, tapi ternyata ia tak mau mengakui aku sebagai ayahnya dan malahan ...


***


“Ayah … ibu sakit, adik rewel terus sejak semalaman karena demam, terus ini aku mau sekolah. Ayah mau gak antarkan Jia? Hari ini aku ada ujian, aku takut telat, Yah.”


Melalui sambungan telepon, aku meminta ayah untuk mengantarku ke sekolah. Sudah hampir dua minggu dia tidak datang berkunjung, katanya dia sangat sibuk menyambut keluarga baru dari Mama Yayuk, istri pertamanya.


“Gak bisa, Ji. Ayah hari ini harus antarkan Mama Yayuk dulu, setelah itu pergi kerja. Kamu berangkatlah sendiri, pakai angkot kan bisa.”


Jawaban Ayah perlahan membuat hatiku perih karena kecewa.


“Ibu gak ada uang, Yah. Sudah habis buat beli obat semalam.”


Dan hari ini justru aku berencana memulung selepas sekolah demi mendapatkan sesuap nasi. Kata ibu, Ayah selalu mengirimkan banyak uang untuk kami, anak-anaknya. Padahal aku sangat tau, itu semua bohong! Hanya demi menjaga citra baik ayah, ibu rela menahan banyak kekecewaan.


“Kalau gitu jalan kaki aja, Ji! Kamu sudah besar, harus mandiri. Jangan bergantung terus sama ayah. Dulu ayah ke sekolah juga jalan kaki, jangan dibiasakan manja. Nanti keterusan bisa jadi anak bodoh. Sudah, ayah tutup dulu.”


“Tapi, Yah, jaraknya kan sangat jauh. Aku pasti …”


“Capek? Lelah?” Ayah memotong ucapanku. “Ayah dulu biasa naik turun gunung buat sekolah. Gak pernah sekalipun ngeluh apalagi ngrengek minta diantar. Kamu kan anak bungsu, harus tahan banting, Jia.”


“Yah, tapi kakiku sakit sekarang, kemarin berdarah terus …”


“Jangan bantah, Jia! atau mau ayah pukul nanti!”


“Ayah …”


Tuttt ….


Kuseka air mata bersamaan sambungan telepon yang dimatikan ayah. Padahal aku belum selesai bicara. Hemmm.   dan aku menelan pil pahit kecewa mentah-mentah.


Ayah … sesibuk apa kamu sampai mengabulkan permintaan remehku saja tidak bisa? Ayah … kapan kamu berkunjung? Aku lelah terus ditanyai teman-teman dimana ayahku sekarang. Sebenarnya aku punya ayah tidak?


Lesu, aku kembali ke kamar membereskan beberapa alat tulis lalu memasukkan ke dalam tas.


“Ayah bisa kan, Nak? uhukkk … uhukkkk.” Tanya ibu, setelahnya batuk panjang menghentikan ucapannya.


Aku menghapus air mata cepat-cepat agar ibu tak tau tangisku.


“Bisa, Bu. Jia disuruh nunggu di lapangan depan pos kamling supaya gak perlu repot-repot masuk gang.”


Raut wajah ibu pucat, aku tak tega mengatakan sejujurnya. Jika karena kebohongan ini Allah murka, maka aku rela menerima hukumannya, asal ibu tak merasakan kekecewaan yang kurasakan sekarang. Sangat sakit sekali, kan?


“Kamu gak sedang bohongkan, Nak?”


Ah, ibuku! Sangat pandai dirimu membaca isi pikiran Putrimu ini. Tahan, Jia. Kamu gak boleh menangis di depan ibu. Harus kuat dan mandiri seperti yang ayahmu katakan.


“Enggak kok, Bu …” Lekasku menjabat tangan ibu, tak lupa mencium kening hangat adik.


“Cepat sembuh ya adik, kak Jia berangkat dulu.”


Derap langkahku diatas tanah, pas sekali detik itu air mata yang sempat ku tahan akhirnya jatuh juga. Berkali-kali ku usap, tapi lagi-lagi air mata itu datang layaknya bah. 


“Dadaku sakit sekali, Yah! Sakittt …”


Di samping lapangan …


“Ayo naik.” Seru ibuku tiba-tiba sambil menggendong adik, dia juga menuntun sepeda.


“Ibu kenapa di sini? Ibu harusnya istirahat di rumah.”


“Dah sehat kok, Nak. Tuh, ibu kuat susul kamu ke sini. Maafin ibu, Jia. Gara-gara ibu sakit, kamu ikut menderita. Ibu ini orang tua yang sangat buruk, gak becus jadi ibu. Membirarkan anaknya …”


“Ibu …” kupeluk erat tubuh gemetaran itu. Aku sangat paham dan tidak bodoh, ibu masih sakit, bahkan mungkin sakitnya makin parah. Walaupun seperti itu, dia tetap berdiri kuat di sampingku. Tidak seperti ayah …


Ayah … kenapa kamu sejahat ini sama kami?


“Ayo, naik, Jia. Nanti telat loh.”


“I-iya Bu.”


Di perjalanan, adik sempat merengek, entah sebab laju ibu yang goyang-goyang tak seimbang atau karena tubuh dia sendiripun juga sudah sakit sebelum kejadian pagi ini.


“Cup sayang … cup, Nak.” Ibu memutuskan menepi, menenangkan adik yang makin kencang tangisnya.


“Cup anakku, putriku yang cantik.”


Oekkk …


Oekk …


Oekkk …


Kulit putih bersih adikku perlahan memerah sebab sengatan matahari pagi. Kasihan sekali adik. Nanti jika aku dah dewasa dan bekerja, tak akan kubiarkan dua orang yang kucintai ini kepanasan. Apalagi sampai menangis sambil mengayuh sepeda sangat butut itu.


“Ibu … aku jalan kaki aja gak apa. Kasihan adek, Bu.”


“Enggak apa, Nak. Tunggu bentar, ya.” Tolak Ibu.


Saat itu aku tak sengaja melihat ayah keluar dari dalam mobil hitam yang berhenti di samping jalan. Tak lama juga Mama Yuyun serta anak perempuan seusiaku keluar mengekor.


“Ayah … Ayah!” Lantangku berteriak. Tapi sepertinya ayah tak mendengar sebab suara jalanan yang bising.


“Ayah … Ayah …” Aku akan menghampiri dia, ayahku.


“Jia mau kemana kamu?!” Ibu tak sempat menyusulku, dia sibuk dengan adik yang terus-menerus menangis.


“Ayah … ayah!”


Tinnnnnn …


Tinnnn …


Tinnnnn …


“Heh anak kecil! Ngapain main di jalan! Suhhhh … sana sekolah! Dasar bocah!” Umpat seorang supir yang hampir menabrak tubuh kurusku.


“Maaf, Pak. Saya tidak sengaja …”


“Maap-Maap! Huhhh, dasar bocah gendeng?!” Umpatnya lagi dengan kata lebih kasar.


“Ayah … Ayah …”


Itu dia, ayahku berjalan keluar dari sebuah restoran siap saji. Ditangan kanannya membawa beberapa bungkusan, sedangkan tangan kiri memegang pundak Mama Yuyun.


Ayah begitu perhatian pada istri pertamanya yang sedang hamil itu. Mengapa sikap seperti itu tak kutemukan di saat perut ibu juga sama besarnya dengan Mama Yayuk


“Ayah, adek sakit, Yah. Badanya panas sekali, dia nangis terus, Yah. Kita bawa ini sama adek berobat yuk, Ayah. Kasihan adek ama ibu ayah.”


Celotehku sangat polos. Percayalah ketika mengatakan itu, air mataku mengalir deras. 


“Jia! Kan sudah Ayah bilang, ayah sibuk.”


“Tapi ibu sama adek sakit, Yah …”


Diam sebentar, Ayah menengok ke istri pertamanya yang berulang kali menggelengkan kepala.


“Ini uang untuk kamu!” Ayah memasukkan beberapa lembar uang ke dalam sakuku.


“Ini apa?”


“Beli obat di warung, pakai nanya lagi! Sudah sana jangan ganggu lagi keluarga kita. Cukup dulu-dulu kalian kuasai suamiku, sekarang tidak akan pernah. Tunggu saja, sebentar lagi Ibumu akan diceraikan. Kalian bakal jadi gembel selamanya.” Mama Yuyun menjawab sinis.


“Ayo pergi, Ma … Lita gak kuat bau Jia. Kek sampah.” Timpal anak cantik itu jahat.


“Ayah … ayo, Yah. Adek sakit sudah tiga hari, kasian dia Yah.”


“Minggir sana!”


Aku didorong cukup keras hingga membentur lantai, tapi rasa sakit itu hanya sebentar sebab tiba-tiba saja perhatianku tertuju pada segerombolan orang dimana aku meninggalkan adek dan Ibu.


“Tolong! Tolong ada anak pingsan!”


“Tolong?!”


Samar kudengar, tapi aku yakin bayi yang diteriaki itu adalah adikku.


“Ayah, adek pingsan Yah!” Aku memohon-mohon sambil bergelantungan di tangannya.


Ya Allah… semoga usahaku tidak sia-sia.


Wajah ayah datar-datar saja, dia justru mengibaskan tanganku kasar. 


“Kamu anak sulung, harus mandiri dan tanggung jawab. Itu ibu dan adikmu, sudah sepatutnya kau yang jaga. Jangan suka merepotkan. Ayah sangat sibuk, Jia.”


“Ayah …”


“Tolong …” Sekencang mungkin aku lari ke arah kerumunan orang, tak perduli dengan wajah penuh tangis serta hidung penuh ingus, kuterabas semua orang disana.


“Adekkk …”


“Nira anakku, bangun sayang. jangan tinggalin ibu …”


“Nira kenapa, Bu? Adek kenapa bobok gak mau buka matanya?”


“Nira … mati, Jia.”


Selengkapnya:

Judul Lari, Nak!

Sebuah kisah yang bikin dada sesak, mata basah, dan hati remuk!

Karya: Liyyaketchils

Sudah banyak bab di KBM App!

Baca sekarang sebelum nangisnya telat!


#CeritaSedih #DramaKeluarga #NovelIndonesia #LariNak #Liyyaketchils #FYP #BacaanViral #AyahKejam #IbuHebat #KBMApp

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Lari, Nak!"

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel