DENDAMKU UNTUK AYAH
Part 9
"Siapa, Sayang?" teriak Mas Amran dari dalam kamar. Sedang perempuan itu kini masih menatapku sambil memakai sehelai handuk.
Hatiku mencelos mendengar bagaimana Mas Amran memanggil perempuan itu dengan kata 'sayang'. Bahkan, seumur pernikahanku dengan Mas Amran, lelaki itu tak pernah sekalipun memanggilku dengan sebutan yang sama. Miris bukan?
Niat hati untuk segera kabur pun, kini kuurungkan. Aku berbalik dengan dada bergemuruh hebat dan emosi yang seakan ingin tumpah memuncak di ubun-ubun.
Kutatap nyalang pada perempuan yang kini menatapku dengan kening yang berkerut. Berulang kali dia menengok ke arah belakang tubuhnya seakan menunggu Mas Amran keluar.
Benar saja, lelaki yang juga memakai handuk dengan rambut yang sama basahnya dengan perempuan itu pun akhirnya keluar dari kamar. Tangannya sibuk mengusap-usap rambut dengan handuk kecil.
Saat netranya menatapku, ia langsung terpaku di tempat. Bahkan, handuk yang ia pegang untuk mengeringkan rambutnya itu kini terjatuh terkulai bersamaan dengan tangannya di samping tubuh.
"Harum ...," kulihat mulutnya berucap, tapi suaranya sama sekali tak terdengar.
Aku tersenyum sinis sambil mendengkus, lalu melipat tangan di depan dada menatap remeh ke arah dua manusia tak tahu malu yang saat ini berdiri di hadapanku.
Cih! Kukira, selama ini suamiku itu pria alim. Meski dzolim terhadap istri, tapi aku bertahan dengannya karena dia tak pernah meninggalkan shalat lima waktunya. Kupikir dia juga setia dan tak pernah bermain perempuan di luar sana. Namun nyatanya, sekarang ... setelah menyaksikan dengan mata dan kepalaku sendiri apa yang sudah ia lakukan dengan perempuan lain, rasa kagumku padanya seketika langsung menghilang dan menguap, berganti menjadi rasa ji jik dan muak.
Aku bertepuk tangan ringan sambil menatapnya sinis.
"Wah, hebat sekali kamu, Mas. Kamu yang kukira alim selama ini, ternyata dengan terang-terangan membawa perempuan lain ke rumah dan bermain kuda-kudaan di kamar tamu. Apa kamu lupa, saat ini, aku ini masih sah menjadi istrimu."
"I-Istri?" Suara perempuan itu membuatku menoleh ke arahnya.
"Ya, aku istri sah dari lelaki yang baru saja tidur denganmu," ucapku blak-blakan.
Ia kini terlihat terkejut dan bingung. Bergantian menatapku kemudian menatap Mas Amran seakan meminta penjelasan. "Ka-Kamu bilang, istrimu udah meninggal setahun yang lalu, Mas? Terus, maksud Mbak ini apa?!" pekiknya keras.
Mas Amran melengos, ia terlihat serba salah sekarang.
"Jawab, Mas! Bener kalau Mbak ini istri kamu?" desaknya lagi.
"Hebat. Aku masih sehat pun kau bilang sudah mati, Mas?" cibirku.
Mas Amran menarik napas dan menghela dengan kasar.
"Ya, dia Harum, istriku."
"Hah?!" Perempuan itu menganga. "Kamu becanda, Mas?"
"Aku gak becanda. Dia memang masih istriku, tapi dia sudah kuanggap mati sejak setahun yang lalu," ucap Mas Amran dengan tanpa rasa bersalah. Kata-kata yang tak pernah kusangka akan ia ucapkan itu, kini ibarat belati yang menusuk tepat di jantungku dan membuatku terasa sulit untuk bernapas.
"Mas! Kamu ...."
"Maaf, Sayang." Lagi-lagi Mas Amran memanggilnya dengan panggilan itu, tapi kini ia mengatakannya tepat di hadapanku dengan wajah yang terlihat tanpa rasa bersalah.
Dia tersenyum miring padaku sebelum melanjutkan ucapannya.
"Tapi, lihat saja isi rumah ini. Bahkan tak ada satupun barang atau fotonya yang terpasang di sini," ucapnya sambil menarik pinggang perempuan itu dan mengecup keningnya perlahan.
Ah, ya. Aku juga baru sadar kalau memang sudah tak ada lagi foto-foto keluarga kami di rumah ini. Bahkan barang-barang kami pun tak ada yang tersisa.
"Oh, ya. Asal kamu tau. Aku juga udah gak cinta sama perempuan itu. Dia itu udah tua, keriput, udah gak bisa puasin aku di ran jang seperti kamu."
"Mas! Kamu!" Aku berteriak geram mendengar ucapannya.
"Apa? Kenapa, hah? Gak terima? Sana ngaca. Kamu punya cermin, kan? Kamu itu udah gak menarik lagi di mataku, Rum. Punyamu itu sudah kendor. Wajahmu juga kusam. Apalagi ... kamu dan anak-anakmu itu hanya bisanya menyusahkanku saja setiap hari. Kalian itu udah kayak parasit yang terus menempel, tapi gak ada gunanya sama sekali buatku."
Aku memalingkan wajah mendengar kata-kata menyakitkan itu meluncur bebas dari mulut suamiku sendiri.
Setelah menarik napas, aku membalas ucapannya. "Bagus, Mas. Lagi pula, aku juga sudah muak hidup dengan laki-laki dzalim sepertimu yang tak tau cara menghargai anak dan istri. Dan kamu," tunjukku pada perempuan yang kini wajahnya masih terlihat bingung, "silakan ambil suami—ah, maksudku MANTAN SUAMIKU itu. Aku benar-benar tak butuh laki-laki seperti dia. Semoga saja dia tak memperlakukanmu sama seperti dia memperlakukanku selama ini! Permisi! " ucapku tegas lalu berbalik hendak pergi. Tapi, suara Mas Amran kembali menghentikan langkahku.
"Tunggu!"
"Apa lagi, Mas?!" ketusku.
"Apa yang kau ambil dari rumah ini? Kau ke sini pasti mengambil sesuatu, kan?"
Aku tersenyum miring. "Ya, aku datang mengambil ini." Aku mengeluarkan semua yang kubawa di hadapannya.
"Cih! Kukira kau ke sini mau bawa apa. Benar kau hanya butuh itu? Atau ... kau butuh aku membagi harta gono gini denganmu? Haha, jangan mimpi!" ucapnya sambil tersenyum meremehkan.
Aku balas tersenyum sinis.
"Maaf, tapi aku juga gak butuh hartamu, Mas! Yang penting bagiku sekarang adalah bisa lepas dari suami sepertimu, karena aku benar-benar sudah muak!"
"Sombong sekali kamu, Rum! Lihat saja, kamu pasti gak bisa apa-apa tanpaku. Aku yakin, suatu saat kamu pasti akan menyesal!" ucapnya pongah.
"Kita lihat saja, Mas. Siapa yang akan menyesal dikemudian hari!"
Setelah mengatakan hal itu, aku berbalik dan pergi dari sana secepatnya.
Kini, keinginanku untuk bercerai dari Mas Amran semakin kuat setelah kejadian ini. Aku takkan ragu lagi melepas ikatan pernikahan yang memang sudah tak layak untuk kupertahankan lagi.
Kini, saatnya aku bangkit. Aku akan bekerja untuk anak-anakku dengan giat. Akan kubuktikan bahwa aku bisa hidup layak tanpa lelaki itu.
Aku juga akan mencari Raka dan membawanya pulang.
*
Beberapa bulan berlalu, akhirnya aku dan Mas Amran resmi bercerai.
Rasanya hati ini lega. Satu beban di hidupku terasa terlepas begitu saja.
Aku juga sudah mendapatkan pekerjaan meski hanya sekedar berjualan gorengan di pinggir jalan raya. Itu pun menggunakan modal dari ibu dan bapakku.
Raina dan Raiza kini juga sudah pindah sekolah di dekat sini.
Kehidupan kami perlahan mulai membaik, tak seperti saat masih bersama Mas Amran.
"Apa kamu gak mau cari anakmu, Rum? Udah berbulan-bulan anakmu tak juga memberi kabar. Ibu khawatir," ucap ibuku suatu sore saat aku baru saja sampai ke rumah.
"Harum juga bukannya gak kepikiran, Bu. Tapi, Harum butuh biaya buat cari Raka.. Lagi pula, aku bingung harus cari dia ke kota mana. Gak ada petunjuk sama sekali."
"Ibu sangat khawatir dengan Raka, Rum. Ibu takut dia kenapa-kenapa."
"Kita berdoa saja, Bu. Mudah-mudahan Raka baik-baik aja dan udah dapet kerja."
Ibu sama sekali tak tahu kalau sebenarnya, setiap malam aku selalu menangisi kepergian anak sulungku itu. Tapi, aku tak mau membuat ibu, bapak dan kedua anakku ikut sedih. Jadi, aku berusaha bersikap setenang mungkin meski sebenarnya hati ini begitu kalut dan sedih memikirkan keadaan Raka.
Malam harinya, seperti biasa aku merebahkan diri setelah aktifitas yang melelahkan seharian. Setelah shalat isya dan mendoakan keberadaan Raka, tiba-tiba aku mendengar sebuah ketukan di depan pintu ruang tamu. Dengan malas aku bangkit dan membukanya karena semua pasti sudah terlelap.
"Siapa?" tanyaku sambil membuka pintu.
Tak ada siapa-siapa.
Saat akan berbalik, netraku tak sengaja menatap sebuah amplop coklat yang teronggok di lantai.
Kuambil amplop itu. Ternyata ada tulisan di bagian luarnya.
"Untuk Ibu."
"Dari Raka."
DENDAMKU UNTUK AYAH (9)
Penulis: Hima_Runa
Selengkapnya baca di KBM app
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "DENDAMKU UNTUK AYAH"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker