Istri baruku ngamuk saat tahu kalau aku bangkrut. Sikap manisnya berubah murka, terlebih pada anak-anakku. Dia tidak tahu bahwa aku hanya pura-pura bangkrut dan ternyata istri baruku itu....
*
“Kalau kamu bangkrut dan kita pindah ke rumah kontrakan di pemukiman padat penduduk begitu, lalu mobil juga dijual, itu artinya … kita jatuh miskin ya, Mas?” Tatapan mata Salsa begitu berkaca-kaca dengan suara gemetar lirih yang memilukan.
“I-iya, Sal. Bisa dibilang begitu. Kita … jatuh miskin,” sahutku terbata pelan dengan perasaan bersalah yang begitu besar di dada. Bagaimana tidak, istri yang sangat kucintai, kini malah kubohongi hanya karena mengikuti perintah Papa yang tidak masuk akal.
Kian terisak Salsa kini di dekapanku. Perempuan itu menangis meraung-raung. Tangannya kemudian mencengkeram erat dadaku yang berbungkus kemeja lengan panjang berwarna biru laut.
“Maafin Mas ya, Sal. Mas gagal menjadi suami yang baik untukmu. Mas gagal mempertahankan aset serta kekayaan kita. Semua salahnya Mas,” sahutku ikut menangis karena tak tahan melihat istriku begitu terpukul.
“Kenapa semua ini bisa terjadi, Mas? Kenapa?” cecar Salsa dalam isak tangisnya yang histeris.
“Seharusnya Mas cerita ke aku masalah keuangan perusahaan! Seharusnya dari awal Mas cerita dan curhat kalau memang ada masalah besar! Bukan malah nyuruh aku perawatan, dandan, dan masak tok di rumah! Aku tahu Mas ingin meratukanku setelah kita menikah, tapi lihat apa yang terjadi, Mas! Semuanya malah mendadak kolaps hanya dalam waktu singkat! Sebelum Mbak Alda meninggal, bukankah keuangan perusahaan kita selalu dalam kondisi yang baik? Kita bahkan bisa berinvestasi untuk usaha-usaha yang lain. Tapi, sekarang? Mas malah bilang usaha keluarga Mas bangkrut dan kita jadi jatuh miskin!” pekik Salsa makin dramatis.
Aku mengangguk berkali-kali. Kuusap puncak kepala istriku, tetapi tanganku malah ditepis. Mata Salsa kini merah menyala sambil melotot kepadaku.
“Sejak kita menikah, aku malah disuruh off oleh papamu untuk membantu operasional perusahaan kita! Papamu bilang, lebih baik aku fokus mengurusmu dan mengurus anak-anakmu ketimbang balik bekerja lagi seperti di waktu Mbak Alda masih hidup. Apa jangan-jangan ini hanya akal-akalan papamu untuk menyembunyikan bahwa perusaah kita sebenarnya sedang di ambang kehancuran? Supaya aku tetap stay di sampingmu dan terus mendampingimu, Mas?” tanya Salsa begitu emosional.
“B-bukan begitu, Sal,” tampikku dengan mulut yang awalnya sempat menganga heran. Kenapa Salsa harus menuduh Papa yang bukan-bukan?
“Padahal, kalau aku tahu lebih awal, bahkan di saat kita beberapa hari menikah, aku bisa melakukan banyak hal untuk perusahaan keluargamu, Mas! Aku akan bekerja maksimal menggunakan skill serta pengalamanku yang kumiliki selama ini. Menjadi personal asisstant untuk Mbak Alda selama empat tahun sudah lebih dari cukup bagiku untuk menjalankan perusahaan itu agar jauh dari kata bangkrut. Tapi, apa? Aku malah disuruh jadi IRT yang baik oleh orangtuamu dan mendadak malah dikasih kabar seperti ini! Rasanya aku sakit banget, Mas!” seru Salsa menggebu-gebu.
“Tapi, Sal, ini nggak segampang yang kamu bayangkan. Empat tahun kamu kerja dengan Alda kan, kebanyakan hanya mengurusi keperluan sehari-hari istriku, bukan menjalankan roda perusahaan kita secara menyeluruh. Kupikir kebangkrutan ini bukan karena kamu tidak ikut andil dalam mengelola perusahaan,” tampikku membantah pernyataan Salsa.
“Alah! Kamu jangan ngeremehin aku, Mas! Aku memang cuma jadi PA dulunya di perusahaan itu! Tapi, selama Mbak Alda bekerja, emangnya aku nggak ngeliatin caranya Almarhummah dalam mengelola perusahaan? Dulu aku udah bilang sama kamu, maunya aku, aku tuh dikasih jabatan lagi di perusahaan itu setelah kita menikah. Nyatanya? Jangankan dapat jabatan sebagai dirut, dapat jabatan seperti Mbak Alda dulu aja, aku nggak bisa! Nggak dikasih sama kamu dan orangtuamu!”
Keningku jadi mengkerut saat ini. Air mata yang semula banjir di pipi, kini surut tak mau keluar lagi. Kuhapus jejak air mata, lalu kutarik napas perlahan. Sabar, Karel. Mungkin reaksi Salsa yang meledak-ledak begini dikarenakan dia sedang syok berat.
“Sudah, Sal. Yang berlalu biarlah berlalu. Kita hadapi semua ini sama-sama, ya?” pintaku sambil menggenggam tangan Salsa.
“Aku minta dukunganmu, Sal. Biar aku sementara waktu ini cari kerja, supaya kita bisa dapet pemasukan. Perusahaan itu udah pailit dan jatuh ke tangan orang lain. Terpaksa aku harus kerja ikut orang,” kataku lagi mencoba untuk menenangkan amuk kecewa di dadanya Salsa.
“Kamu di rumah aja ya, Sal? Masak dan urus rumah tangga sama urusin keperluannya Cassia sama Chery. Oke?” Aku menawarkan sebuah opsi pada Salsa, berharap perempuan lemah lembut itu mau menyetujuinya.
“Nggak!” sentaknya penuh marah. “Nggak bisa aku lanjutin jadi IRT dalam kondisi ekonomimu yang carut marut, Mas!” sambungnya lagi.
“Lho? Terus gimana?” tanyaku resah. Aku tak mau Salsa yang cantik jelita, muda dan energik itu malah bekerja di luar rumah! Bayangkan saja, akan ada berapa ratus pasang mata yang bakalan menikmati kemolekan tubuh serta keindahan wajah istriku jika dia bekerja di luaran sana? Astaga, rasanya aku langsung dirundung cemburu yang luar biasa walau hanya dengan membayangkan belaka!
“Aku mau kerja! Biarkan aku jadi wanita karier seperti dulu di saat aku masih gadis, Mas!” seru Salsa tegas.
“Tapi, Sal—” Ucapanku malah dipotong cepat olehnya.
“Nggak ada tapi-tapian, Mas! Ini yang terbaik! Emangnya kamu mau, aku stres karena ngedekem di rumah tok, sementara keuangan kita sedang morat marit? Nggak bisa! Perawatan wajahku harganya jutaan! Kalau stop seketika, mukaku bakalan ancur kaya modelan pembantu. Kamu mau itu kejadian, Mas?”
Demi Tuhan aku tidak mau, Salsa! Tapi, aku juga lebih tidak ingin kamu bekerja di luaran sana sehingga membuatku cemburu karena pergaulan di dunia kerja untuk perempuan secantik kamu pastinya sangat berisiko! Ya Tuhan, mau sampai kapan sih, aku jadi bodoh begini? Apa aku jujur saja ya, kalau kondisi kebangkrutan ini hanya pura-pura semata?
“Udah syukur aku masih mau bertahan denganmu, Mas, meski kamu jatuh miskin! Daripada aku lari darimu dan cerein kamu? Kamu pilih yang mana?”
Deg!
Mendengar kata cerai, seketika bahuku melorot lemas. Tidak! Aku tidak mau bercerai dengan Salsa. Kusadari ternyata rasa cintaku begitu besar pada Salsa, bahkan lebih besar bila dibandingkan rasa cintaku yang dahulu untuk Almarhummah Emeralda!
“Jangan, Sal! Aku mohon, jangan tinggalkan aku! Aku janji, dalam waktu satu bulan ke depan, ekonomi kita akan membaik.”
Kutarik pergelangan tangan Salsa dan kugenggam jemarinya erat. Jujur, aku tak mau kehilangan wanita ini. Dia adalah perempuan sempurna satu-satunya yang pernah hadir dalam hidupku. Bahkan kecantikannya ini sanggup mengalahkan pesona Emeralda yang dulu adalah bintang kampus di tempat kami kuliah dulu.
“Semisal ternyata dalam satu bulan ke depan kamu masih jatuh miskin dan nggak ada progres sama sekali, gimana dong?” tanya Salsa sambil menatapku lekat.
Aku menggelengkan kepala. “Tolong tetap bersamaku, Salsa. Aku janji, aku akan membalikkan keadaan, bahkan aku bisa membuat perusahaan besar seperti perusahaannya Papa!”
“Terimalah kondisiku ini, Sal, sebagaimana dua bulan lalu aku menerima kondisimu yang tidak perawan di saat malam pertama kita,” lirihku memohon habis-habisan, berharap Salsa mau mengerti.
Plak!
Sebuah tamparan malah mendarat di pipi kananku. Salsa terlihat begitu emosional saat masalah itu kubahas. Napasnya tampak tersengal dengan dada yang naik turun.
“Lancang kamu, Mas!” desisnya. “Sudah kujelaskan ribuan kali! Aku tidak perawan bukan karena pergaulan bebas atau sama pacarku yang terdahulu! Ini karena kecelakaan di masa remaja!”
“Tapi, bukankah kamu menolak untuk memberi tahuku di mana kamu dirawat pasca kecelakaan dulu. Siapa dokter yang mengobatimu pun, aku juga tidak dikasih tahu. Kamu cuma bilang kalau kamu jatoh dari sepeda pas umur sebelas tahun, terus kamu luka di bagian privatmu itu. Jadi, kamu bisa kasih tahu aku, di mana kamu diperiksa dan diobati saat sakit dulu, Sal?” cecarku berusaha untuk memberanikan diri bertanya pada Salsa, supaya dia sadar bahwa aku sudah se-effort ini untuk menerima kekurangannya dan jangan sampai dia tak mau menerima kekuranganku yang sekarang.
“Aku dirawat di rumah sakit Citra Medika dan dokter Didi yang merawatku! Kenapa? Kamu masih nggak percaya? Udah puas?” Salsa melotot lalu bangkit dari duduknya.
Perempuan bertubuh ramping dengan rambut panjang itu lalu pergi meninggalkanku dengan langkah yang tergesa. Aku hanya bisa memperhatikan punggungnya dari sini hingga tubuh semampai itu menghilang dari pandangan.
“Salsa, maafin aku. Aku janji, setelah aku menjadi dirut nanti, kamu akan kubahagiakan bahkan kedua orangtuamu akan kubuatkan rumah besar serta mobil seharga miliaran supaya kamu tahu kalau aku benar-benar mencintaimu, Sal,” lirihku sambil menghela napas panjang.
Setelah menenangkan diri, aku pun langsung merogoh saku celanaku. Kuambil ponsel dari dalam sana, lalu kuhubungi Randy—orang kepercayaannya Papa yang akan mengantarkan kunci rumah kontrakan untuk kutempati bersama Salsa.
“Randy, kapan mau ke sini? Bisa sekalian minta bantuannya buat beres-beres barangku sama barang anak dan istriku juga?” tanyaku pada Randy dengan suara pelan.
“Sebentar lagi kami otw ke sana, Bos. Tapi, maaf. Tuan Besar melarang kami untuk membantu Bos beres-beres,” sahut Randy membuatku makin gontai.
“Oke, Ran. Tidak apa-apa.” Apa mau dikata.
Terpaksa aku harus beres-beres sendirian dengan dibantu oleh Bi Jum—pembantu rumah tanggaku—dan Pak Sabri—sopir pribadiku. “Tapi, aku boleh minta tolong hal lain nggak sama kamu? Ini … berkaitan dengan Salsa, istriku.” Aku berbisik sangat pelan, berharap tak ada yang bisa mendengar percakapan ini termasuk pembantu rumah tanggaku.
“Apa itu, Bos?” tanya Randy.
“Bisa hubungi RS Citra Medika? Cari rekam medis atas nama Salsabila Almathea di sana dan tolong selidiki, apakah sebelas tahun yang lalu istriku pernah dirawat atas indikasi robek selaput dara karena kecelakaan atau tidak? Terus, tanyakan, apakah benar-benar ada yang namanya dokter Didit di rumah sakit tersebut atau tidak. Tolong segera kabari kalau kamu sudah mendapatkan informasi itu ya, Ran. Aku mohon,” pintaku dengan nada rendah.
“Apa ada imbalan, Bos?” tanya Randy membuatku mendadak kesal.
“Kamu meragukanku? Serius, kamu meragukan pewaris tunggal dari Darmakusuma Grup?”
Seringai tajamku kini tergurat jelas di bibir. Jangan pernah ragukan diriku. Sekadar memberi uang miliaran rupiah, tentunya bukan hal yang sulit bagiku. Tapi, tentu saja setelah aku menyelesaikan misi dari Papa yakni berpura-pura bangkrut di depan Salsa!
“Oke, Bos. Akan kulakukan. Informasinya akan kusampaikan secepat mungkin pada Bos.”
Tenang, Karel. Seorang Salsa yang baik hati itu tidak mungkin berbohong. Aku yakin 100% bahwa istriku memang kehilangan selaput daranya murni karena kecelakaan, bukan karena perbuatan yang menyalahi aturan agama!
Bersambung
Baca cerita lengkapnya di aplikasi KBM App
Judul: Dikira Bangkrut Ternyata Dirut
Penulis: Meisya Jasmine
Link:
https://read.kbm.id/book/detail/3116fc4b-2299-4a67-a54c-af70026fd34b?af=d110e4c3-3c5d-0d57-bfeb-f66aeab07710
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Dikira Bangkrut Ternyata Dirut"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker