"Bapak!" Lentera secara spontan memanggil sosok bertopi yang berada di sekitar makam dengan sebutan bapak. Lastri terperangah, pun lelaki bertopi yang Lentera panggil.
"Lentera!" tegur Lastri.
"Kalian habis nyekar di makam almarhum mas Damar? Memang siapanya almarhum?" tanya pria bertopi dengan posisi berdiri di dekat Lastri.
Sama seperti bu Ane, dia juga tak kenal dengan tetangga lamanya. Penampilan Lastri sekarang terlihat sangat jauh berbeda dengan yang dulu.
"Pak Nurdin tak kenal saya?" ucap Lastri. Sosok di hadapannya tertegun. Dia kebingungan dan merasa tahu siapa sosok yang diajaknya bicara, tapi lupa jika itu Lastri.
"Apa kita saling kenal?"
"Saya Lastri, Pak. Istri mas Damar."
"Lastri? Ya ampun. Yang bener? Kamu Lastri?"
"Iya, Pak." Lastri menunduk, karena khawatir pak Nurdin akan menunjukkan sikap yang sama dengan bu Ane. Ternyata tidak. Lelaki paruh baya itu bersikap jauh lebih manusiawi.
"Terus ini siapa? A-nak kamu?"
"Ini Lentera, a-nak saya sama mas Damar."
"Ya Allah! Jadi kamu sempet hamil oleh mas Damar?"
"Iya, Pak."
"Kamu mirip sekali dengan almarhum ayah kamu, Nak!" Pak Nurdin usap kepala Lentera. Bocah kecil itu mengingatkan dia kepada Damar, sahabatnya.
"Kalian sengaja datang ke sini untuk nyekar?"
"Iya, Pak. Lentera memaksa ingin tahu makam ayahnya."
"Bagus itu. Saya dengar kamu tinggal di daerah Cibaok ya Lastri?"
"Betul Pak."
"Jauh, dong. Habis ini mau ke mana?"
"Saya belum tahu. Kemungkinan akan langsung pulang lagi ke Cibaok."
"Lho? Masa baru datang jauh-jauh langsung pulang lagi? Mampir dulu ke rumah! Ayo!" Pak Nurdin ternyata sangat baik. Dia mengajak Lastri dan putranya mampir. Lastri sempat menolak, tapi kata pak Nurdin kasihan Lentera. Dia kelihatan pucat dan lemas.
"Saya tak enak sama yang lain, Pak Nurdin. Sebaiknya kami langsung pulang saja."
"Tak enak sama siapa? Kasihan anak kamu kelihatan pucet. Istirahat dulu barang sebentar di rumah!"
Dengan perasaan cemas, Lastri mengikuti saran pak Nurdin untuk ikut ke rumahnya. Lastri sangat takut setelah sampai di kediaman tetangga lamanya nanti, huja-tan dan ejekan akan kembali dia dengar.
Di satu sisi dia senang masih ada tetangga lama yang memperlakukannya dengan baik. Sedari dulu pak Nurdin memang dikenal lebih manusiawi dari yang lain. Tapi entah dengan istrinya. Itu yang Lastri khawatirkan.
Setelah tiba, ternyata apa yang dikhawatirkan Lastri tidak terjadi. Bu Minar istri pak Nurdin cukup ramah memperlakukan dia dan Lentera. Terlebih setelah suaminya bercerita jika Lentera adalah a-nak dari almarhum Damar.
"Bu! Lihat siapa yang Bapak bawa?" seru pak Nurdin di depan warung serba ada miliknya. Bu Minar segera ke luar, menengok siapa yang datang bersama suaminya.
"Siapa? Lastri?" Tanpa diduga, Bu Minar malah langsung mengenali wajah Lastri. Ketika namanya disebut, Lastri sempat khawatir dia akan ditanya-tanya lagi tentang masa lalunya, ternyata tidak. Bu Minar sama baiknya dengan pak Nurdin.
"Betul, Bu."
"Lho? Kok Ibu bisa langsung kenal?" kata pak Nurdin.
"Ya iya lah, Pak. Mata Ibu kan masih normal. Ini siapa?" Pandangan Bu Minar beralih kepada Lentera.
"Ini a-nak saya Bu. Salim Lentera!"
"A-nak?"
"Dia a-nak almarhum mas Damar, Bu." Pak Nurdin membantu menjelaskan bahwa Lentera putranya Damar. Dia khawatir istrinya salah paham dan menduga jika bocah tersebut hasil hubungan Lastri dengan Saris.
"A-nak mas Damar? Ya Allah! Alhamdulillah!"
"Ajak mereka masuk, Bu. Bapak mau naruh rumput dulu ke kandang kelinci."
"Iya, Pak. Ayo kita ke belakang saja, Lastri!"
"Biar kami di sini saja, Bu. Ibu pasti lagi sibuk jaga warung."
"Gak apa. Ada si Syahrul yang jaga warung. Yuk! Di sini panas." Bu Minar mengajak Lastri dan Lentera pergi ke kediamannya yang berlokasi beberapa meter di belakang warung.
Setelah berada di dalam rumah, Bu Minar menyuguhi Lastri dan Lentera makan. Bu Minar tahu mereka lapar. Terlihat dari wajah keduanya yang pucat dan tampak lesu. Lastri sempat menolak, tapi demi putranya dia bersedia. Terlebih pak Nurdin dan bu Minar mem4ksa.
Pasangan suami istri itu dibuat iba oleh penampilan Lastri yang lusuh, kurus dan tak terurus, padahal dulu begitu cantik. Mereka juga kasihan kepada Lentera. Dia harus kehilangan ayahnya sedari dalam kandungan dan harus rela hidup serba kekurangan.
"Kami sudah dengar kisah hidup kamu selama di Cibaok, Lastri." Pak Nurdin membuka percakapan. Lastri yang baru selesai makan mendongak.
"Kami ikut prihatin," timpal bu Minar.
Lastri lalu menunduk tak tahu harus berkata apa. Perempuan itu malu. Malu pada diri sendiri, juga malu pada bu Minar dan pak Nurdin yang sangat hapal tentang masa lalunya.
"Semua berlalu sudah sangat lama. Kamu tak ada keinginan untuk tinggal di sini lagi?" tanya pak Nurdin.
Beberapa waktu ke belakang dia sempat mendapat kabar dari salah seorang warga mengenai kondisi kehidupan Lastri di kampung Cibaok. Tentang bagaimana cara perempuan itu menjalani hidup yang sulit, juga tentang rumah panggungnya yang hampir roboh.
Sebagai tetangga lama, pak Nurdin merasa iba, terlebih sekarang dia tahu Lastri mempunyai a-nak kecil. Dia berinisiatif menawarkan Lastri tinggal lagi di kediaman lamanya.
Toh rumah tersebut kosong sedari lama. Jika dilihat dari kondisi bangunan, rumah berukuran cukup besar itu masih sangat layak untuk dihuni. Bahkan perabotan Lastri masih tertata rapi dan lengkap.
"Bagaimana mungkin saya punya keberanian untuk tinggal di sini lagi, Pak?" tutur Lastri.
"Rumah lama kamu bersama mas Damar sudah lama kosong, Lastri. Sayang lho. Bangunannya masih bagus dan perabotannya lengkap," kata pak Nurdin, yang ketika Lastri diusir dari kampung dulu menjabat sebagai ketua RT.
"Bener, Las! Bangun rumah sebesar itu sekarang susah lho! Sayang kalau terus dibiarkan kosong!" timpal bu Minar.
"Saya merasa tak berhak menempati rumah itu. Saya malu, Pak, Bu."
"Kami mengerti. Kami hanya menyampaikan pendapat kami saja."
"Mungkin nanti saya mau mengajak Lentera mampir. Mumpung ke sini, dia pasti ingin tahu ayah ibunya dulu tinggal di mana."
"Bagus itu. Bentar, biar saya ambil kuncinya!" Pak Nurdin bangkit dari kursi, berniat pergi menuju laci tempat dia menyimpan kunci rumah Lastri.
"Jadi kuncinya ada di pak Nurdin? Kebetulan sekali."
"Iya. Dulu ketika rumah itu kosong, kan saya lagi menjabat sebagai RT. Jadi kuncinya saya yang simpan."
"Alhamdulillah!"
"Lentera sudah sekolah, Lastri?" tanya Minar.
"Sudah, Bu. Sebentar lagi mau naik kelas tiga."
"Kecil-kecil sudah mau kelas tiga ya."
Selesai makan dan berbincang, dengan diantar oleh pak Nurdin, Lastri diantar ke kediaman lamanya. Rumah berhalaman luas itu terlihat seram dari luar, tapi Lentera kelihatan sangat senang. Apalagi di bagian luar terdapat ayunan juga pohon jambu biji yang kebetulan sedang berbuah.
"Di sini dulu ayah dan Ibu tinggal, Lentera." Dengan mata berkaca, Lastri perkenalkan rumah lamanya.
"Ini rumah Ibu? Bagus sekali. Itu ada buah jambu banyak. Wahh! Ada ayunan juga."
"Kalau tinggal di sini, kamu bisa main ayunan setiap hari," ucap pak Nurdin. Lentera spontan mengajak ibunya agar tinggal di sana saja.
"Kalau ini rumah Ibu, kita pindah ke sini saja Bu!"
"Tak bisa, Lentera."
"Kenapa?"
"Pokoknya tak bisa."
Krekk! Lastri buka kunci pintu rumahnya. Jujur dia gemetaran. Di rumah peninggalan Damar itu banyak sekali kenangan yang tersimpan. Dari kenangan yang termanis sampai yang terpahit.
Kenangan terpahit Lastri adalah ketika dia gan-cet dengan Saris di salah satu kamar, sehari setelah Damar dimakamkan. Selama lebih dari dua puluh empat jam mereka tak bisa melepaskan diri satu sama lain, hingga akhirnya didatangkan pemadam kebakaran.
Pada saat itu semua warga berkumpul di kediamannya. Lastri dihujat dan dikatai habis-habisan. Setelah dilakukan segala upaya, Lastri dan Saris berhasil lepas. Mereka lalu diusir dari kampung, dan memutuskan tinggal di daerah yang bernama Cibaok. Kampung yang Lastri tempati hingga sekarang.
Yang penasaran dengan kisah Lastri dan selingkuhannya, bisa dicari tahu di cerita berjudul Suamiku Hantu. Atau cari nama Perempuan Pendongeng.
Selanjutnya bisa dibaca di aplikasi KBM dengan judul Lentera Anak Titipan.
Baca selengkapnya di;
https://read.kbm.id/book/detail/67055d0c-6d4b-45a0-a512-6805713653b6.
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Lentera Anak Titipan. "
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker