Aku harus menggantikan kakak tiriku menikah dengan seorang du-da pa-ruh ba ya. Tak kusangka, hari pernikahan itu justru mem b a wa kejutan tak terduga. Calon suamiku tiba-tiba berubah menjadi …
---
"Emm ... apa harus beli baju model begini, Pak?" tanyaku canggung.
Bayangin aku pakai ba ju yang cuma lilitan tali sana-sini, rasanya geli sendiri. Apalagi harus dilihat oleh... ah, sudahlah. Aku takut kalau terlalu banyak komentar tentang Pak Burhan.
"Sebagai istri, kamu harus bisa menyenangkan suami," jawab Pak Burhan sambil tersenyum lebar, alisnya terangkat-angkat.
Aku hanya bisa tersenyum canggung. Meski usianya tak lagi muda, semangatnya masih menyala rupanya. Baru jalan aja kadang susah, tapi sudah memikirkan malam pertama. Duh, bulu kudukku merinding.
"Ayo, coba-coba dulu aja. Siapa tahu ada yang cocok."
Gimana mau milih baju kalau yang terbayang malah suasana malam hari di ka-mar bersama Pak Burhan—yang bahkan lebih tua dari mendi4ng ayahku. Ya Allah, tolong aku!
Kulihat Kak Laras mendekat dengan wajah cemberut. Tapi… mana belanjaannya yang tadi banyak banget?
"Kak!" Aku memanggilnya, lumayan bisa jadi penyelamat dari situasi canggung ini.
"Mana barang belanjaanmu?" tanyaku sambil melihat ke sekeliling.
"Gak u-sah banyak tanya. Ayo pulang aja. Aku malas di sini," kata Kak Laras sambil menyilangkan tangan.
Ah, ini peluang bagus!
"Oh iya, ayo." Aku segera menoleh ke Pak Burhan. "Pak, kita pulang aja, ya. Belanja perlengkapan lainnya nanti aja."
"Baik. Tapi kita mampir dulu ke toko perhiasan. Pilih cincin pernikahan, ya."
Aku mengangguk pelan. Kami berjalan mengikuti Pak Burhan ke toko perhiasan.
"Kak, pacarmu nggak jadi datang? Katanya mau ba-yarin?" tanyaku. Kak Laras mendelik, wajahnya tidak senang.
"Pacarku lagi tugas ke Batam, makanya nggak bisa ke sini. Kamu tuh harusnya belain aku tadi, malah diam saja."
"Lah, kan bukan aku yang pegang u a ng. Lagipula zaman sekarang, walau orangnya nggak datang, u4ng kan bisa ditra-nsfer."
"Udah deh, jangan banyak ngomong!" Kak Laras tampak kesal. Sepertinya dia kecewa karena belanjaannya harus dikembalikan. Ma lu, pasti.
"Daripada ribet, gimana kalau kita tukeran posisi? Kan tadinya yang dilamar Pak Burhan itu Kakak. Jadi Kakak bisa belanja sesuka hati."
"Ogah! Masa depanku sudah terencana bersama calon suamiku yang berdinas di negara. Meski Pak Burhan kaya, aku juga punya pilihan."
Aku menatapnya t4 jam. Egois sekali.
"Dek Rani, kamu suka yang mana?" tanya Pak Burhan sambil menunjuk beberapa pilihan cincin di hadapan kami.
Dek? Astaga, rasanya geli mendengarnya.
"Sa-saya yang mana aja, Pak."
"Saya boleh pilih juga, Pak?" tanya Kak Laras. Wajahnya penuh harap.
"Tidak," jawab Pak Burhan singkat, tanpa menoleh.
Rasain, batinku.
Aku menahan senyum. Kak Laras benar-benar seperti tertimpa tangga setelah terj4tuh.
Setelah cincin dipilih dan ukuranku diten-tukan, Pak Burhan masuk ke ruangan khusus bersama sta f to ko. Entah apa yang mereka diskusikan.
"Kamu mintain dong buat aku. Masa aku tampil polos di acara kalian nanti."
"Minta aja langsung, Kak," kataku malas menanggapi.
"Awas ya kalau kamu minta maharnya sedikit. Pikirin aku sama Ibu juga. Kalau kamu udah nikah, pasti ikut suami. Nanti siapa yang bantu kirim u a ng?"
Duh, ada-ada aja.
"Ayo, Ran. Besok pagi saya jemput lagi ya. Kita cari gaun pengantin."
Aku menelan lu-dah. Ya Allah, benarkah aku akan menikah dengan pria seusia ayah?
Pak Burhan mengh4mpiri. Aku ref leks mun-dur beberapa langkah. Jujur, aku masih canggung. Tapi tiba-tiba ...
"Aduh!"
Punggungku did o rong oleh Kak Laras hingga aku terjatuh ke p-e lukan Pak Burhan. Astaga, kayak adegan di sinetron.
"Rasain!" Kak Laras berlalu sambil tertawa.
Aku men dongak, dan mata kami saling bertemu. Pak Burhan tersenyum.
"Kamu nggak sabar, ya?"
Aku buru-buru menj4uh. Ya Tu han ...
Kami keluar dari toko perhiasan dan menuju lobby. Kak Laras masih saja cemberut.
"Kak, coba pikirkan lagi. Mending Kakak yang nikah sama Pak Burhan. Kakak bisa hidup nyaman," kataku berusaha membujuk.
"O gah 4h! Jangan remehkan pacarku. Dia cuma lagi tugas keluar kota."
"Jangan-jangan bukan tugas, tapi memang belum mapan."
"Mulut kamu tuh ya!" Kak Laras mencubit kepalaku pelan.
Aku manyun. Bagaimana caranya supaya aku bisa lolos dari pernikahan ini?
"Kamu iri ya karena aku bakal hidup nyaman? Yang penting, suamiku masih muda!"
Aku melirik sinis. Diminta belanja aja nggak bisa, masa dibilang hidup nyaman?
Kalau bukan karena tekanan dari Ibu, aku juga ogah nikah muda—apalagi dengan pria seusia kakek.
Tak lama, mobil menjemput kami. Pak Burhan duduk di depan, sibuk dengan ponselnya. Sesekali mengarahkan kamera ke arahku. Cahaya flash-nya membuat silau.
Kalau mau foto diam-diam, setidaknya m4tikan flash-nya dulu.
Saat melewati sebuah minimarket, aku melihat sosok yang familiar. Wajah yang selama ini dibangga-banggakan Kak Laras dan Ibu. Yang jadi alasan mereka menolak lamaran Pak Burhan dan justru menyerahkannya padaku.
"Lho, Kak. Itu pacarmu, kan?"
"Mana?" Kak Laras ikut melihat ke luar jendela.
"Itu yang pakai rompi hijau. Kok kayak tu-ka ng par-kir? Apa se karang ten tara bisa rangkap kerja juga?"
BERSAMBUNG
SELENGKAPNYA DI KBM APP
JUDUL: LAMARAN DUDA T U A KAYA RA YA
PENULIS: ACHA07
---
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "LAMARAN DUDA T U A KAYA RA YA"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker