Aku Belum Mati
#cerbung Arfi Zon
Sekelompok pemuda kampung yang sedang asik main gaple di pos ronda tiba-tiba berhamburan melihat kedatanganku.
Padahal aku sengaja mampir untuk sekedar menyapa mereka, karena dulu kami sepermainan.
Tapi, entah kenapa, bukannya membalas salamku, mereka malah terlihat terkejut luar biasa. Panik, ketakutan, lalu lari pontang-panting ke sembarang arah.
Aku garuk-garuk kepala heran sembari melihat mereka satu persatu hilang di kegelapan malam.
"Kenapa mereka seperti melihat hantu begitu?"
Masih dalam kebingungan, aku lanjutkan langkah menuju pusat keramaian kampung.
Pos ronda tempat pemuda-pemuda kampung main gaple tadi memang berada di pinggir desa. Persis di sisi gapura batas desa. Menjadi tempat kongkow para pemuda sambil menjaga keamanan. Mengawasi orang yang lalu-lalang keluar masuk desa.
Setelah melewati jalanan yang kiri kanannya sawah, di kejauhan kulihat warung kopi Pak Sudin yang terang benderang. Sepertinya sedang ramai pengunjung.
Sejak dulu warung orang tua berwajah ramah itu memang menjadi semacam tempat lepas penat kaum pria di desaku ini. Tiap malam selalu ramai pengunjung. Mulai dari remaja tanggung sampai para tetua.
Lokasinya strategis. Kopi seduhan Pak Sudin atau istrinya juga terkenal sedap. Suami istri itu selalu pas menakar gula sesuai pesanan pelanggan yang berbeda-beda. Makanan ringan yang dijual juga selalu baru. Goreng pisang pasti terhidang dalam kondisi panas karena baru digoreng jika ada yang memesan.
Pasti di sana sekarang ada beberapa orang yang sedang bermain domino. Suara batu domino yang dibanting ke meja kayu ditingkah gelak tawa para pria yang memainkannya terdengar sampai ke sini.
Ya, berbeda dengan di pos ronda, di warung Pak Sudin main domino lebih seru ketimbang main kartu gaple atau ceki. Menghempas batu domino sambil saling ledek dengan lawan main, sungguh mampu menjadi hiburan seru yang menyegarkan otak pria-pria yang lelah seharian bekerja di sawah atau ladang.
Di warung itu pasti juga ada beberapa orang yang sedang ngobrol seru. Membahas politik negara atau memperdebatkan pertandingan bola semalam.
Kupercepat langkah. Kangen pula rasanya ikut duduk di warung itu. Kuputuskan mampir dulu untuk ngopi dan menyantap satu dua potong pisang goreng sebelum menuju rumah.
"Assalammualaikum," ucapku lantang di depan pintu warung.
Sontak semua wajah menoleh padaku. Mata mereka terbelalak. Tapi sesaat kemudian kejadian seperti di pos ronda tadi kembali terulang.
Terjadi kepanikan. Semua berhamburan. Seolah berebut mencari selamat dari amuk jagal pencabut nyawa.
"Ada apa dengan mereka?"
Dalam sekejap warung kosong. Sekilas tadi kulihat Pak Sudin masuk ke rumahnya yang bersambungan dengan bagian belakang warung. Sekarang dia keluar dengan langkah waspada dan sorot mata ragu. Di tangan kanannya yang gemetar terhunus sebilah golok panjang yang berkilat-kilat oleh bias cahaya lampu warung. Wajahnya yang ramah berubah tegang.
Bibirnya komat-kamit seperti sedang merapalkan sesuatu.
Aku diam mematung. Menunggu mau apa pemilik warung itu.
"Demi Tuhan ... pergi lah kau ... pergi ..."
Suaranya terdengar berat dan bergetar. Nada ketakutan bercampur ancaman.
Ia tempelkan golok ke kening, mata terpejam, lalu bibirnya kembali komat kamit.
Sesaat kemudian, tiba-tiba ia memasang ancang-ancang hendak melemparkan golok itu ke arahku.
Jarak kami hanya beberapa meter. Jelas, aku akan mati terbunuh jika golok panjang dan tajam seperti itu dilempar sepenuh tenaga ke tubuhku.
Sebelum itu terjadi, tanpa pikir panjang, aku balik badan lalu mengambil langkah seribu.
Sambil berlari, sekilas aku masih sempat mendengar Pak Sudin meracau. Entah apa yang disebutnya. Tak jelas di pendengaranku.
Merasa sudah cukup jauh berlari, aku berhenti di bawah sebuah pohon medang yang rindang. Ada pondok kosong tak jauh dari situ.
Aku tahu, ini gubuk Nek Romlah yang sudah meninggal. Ia sebatang kara. Setelah ia tiada, gubuk itu kosong begitu saja. Dulu beberapa preman kampung sering sembunyi-sembunyi berjudi di sini.
Aku duduk di bale-bale reyot di beranda pondok. Otakku kembali mencerna dua kejadian aneh di dua tempat berbeda tadi. Ada apa dengan mereka? Kenapa mereka begitu? Terutama Pak Sudin tadi. Aku kenal baik dengannya. Dia juga kenal aku, bahkan seluruh keluargaku. Lantas kenapa tadi dia seperti hendak membacokku?
Atau, barangkali hal sebaliknya yang harus kupertanyakan. Ada apa dengan diriku, sehingga mereka begitu?
Entahlah. Sungguh aku tak menemukan jawabannya.
Aku putuskan langsung saja pulang ke rumah. Ingin segera bertemu bapak, ibu dan adikku, Puspa.
Rumah keluargaku masih tiga ratus meter lagi dari sini. Aku percepat langkah.
Tiba di depan rumah, aku bergegas masuk pekarangan, melewati pintu pagar bambu yang terawat dengan baik.
Di ambang rumah, aku ketuk daun pintu seraya mengucapkan salam dengan lantang.
Beberapa detik aku menunggu, tapi tidak ada yang menjawab salam. Juga tak ada yang datang membukakan pintu.
Kuulangi mengetuk dan mengucap salam lebih keras. Ditambah teriakan, "Bapak! Ibu! Puspa! Buka pintu!"
Masih tidak ada yang menjawab. Tapi samar-samar bisa kudengar suara kasak kusuk dari dalam. Bapak, Ibu, dan Puspa, seperti berdebat. Entah apa yang mereka perdebatkan.
Tak sabar, kembali kuketuk pintu dan memanggil mereka jauh lebih keras.
Kali ini pintu dikuak perlahan dari dalam. Lalu menyembul separuh wajah Puspa mengintip dari celah pintu yang terbuka sedikit.
Sedetik kemudian, wajah itu terlihat kaget alang kepalang. Lalu pintu dibanting dengan kuat.
"Puspa! Puspa!" ujarku sambi mendorong pintu. Tapi sia-sia, pintu kembali digerendel dari dalam.
Aku makin bingung.
"Bapak! Ibu! Buka pintu! Ini aku. Aku mau masuk!"
Kali ini aku berteriak sangat keras. Mungkin tedengar sampai surau desa yang berjarak seratus meter.
Kembali kudengar perdebatan di dalam.
Sebelum aku kembali berteriak, terdengar suara Ibu sangat lantang.
"Kenapa Kau gentayangan begini, Nak!? Kembalilah ke alammu! Kami sudah mengikhlaskanmu seikhlas-ikhlasnya!"
Link lanjutannya:
https://www.facebook.com/share/p/16c8TkJiMd/
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk " "
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker